BANGKOK —
Media pemerintah Burma memuat penyataan Presiden Thein Sein yang mengumumkan bukti-bukti bahwa kelompok-kelompok bersenjata di negara bagian Rakhine memicu kekerasan antara etnis Budha Rakhine dan Muslim Rohingya.
Pernyataan di surat kabar New Light of Myanmar mengatakan pasukan keamanan telah menyita 180 senjata api dan bukti-bukti pembuatan senjata. Tapi hanya ada sedikit keterangan lain yang mendukung klaim presiden itu akan keterlibatan asing dan teroris dalam kekerasan yang telah menewaskan sekurangnya 89 orang dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Maung Zarni peneliti tamu pada London School of Economics mengatakan bahasa yang tidak jelas dan tuduhan presiden itu pada teroris menunjukkan pihak berwenang ingin mengalihkan masyarakat dari kebijakan yang salah.
"Ini merupakan alasan terbaru dari pemerintah militer Burma yang pada dasarnya mengalihkan keluar tanggung jawabnya dengan menuduh atau berusaha menggunakan bahasa Amerika atau slogan “perang melawan terror,” ujar Zarni.
Tidak jelas apa yang memicu kekerasan paling akhir tanggal 21 Oktober lalu tapi kekerasan itu menyebar dengan cepat. Angka resmi menunjukkan lebih dari 5000 rumah di satu kawasan penduduk Muslim dibakar habis.
Ratusan orang melarikan diri dari kawasan terpencil itu dengan menggunakan perahu motor. Polisi di Bangladesh mengatakan sekurangnya 120 orang yang diperkirakan orang Rohingya , hilang setelah perahu bermotor mereka ditangkap di Teluk Benggala.
Angka resmi badan pengungsi PBB menunjukkan 35 ribu orang mengungsi di negara itu sebagian besar Muslim dan 3.000 masih di laut.
Presiden Thein Sein telah beberapa kali mengubah pendiriannya mengenai kekerasan di Rakhine sejak pertempuran pecah bulan Juni. Pertama-tama ia menyarankan agar semua orang Rohingya di deportasi.
Kemudian ia mengatakan kepada VOA bahwa pemerintah akan membangun sekolah-sekolah untuk anak-anak Rohingya.
Ia juga menyalahkan ekstremis Budha setempat karena meningkatkan ketegangan. Kini ia mengatakan organisasi-organisasi asing mendukung kelompok bersenjata dalam konflik itu.
Jim Della-Giacoma Direktur Proyek Asia Tenggara untuk International Crisis Group mengatakan ancaman terhadap kestabilan Burma tampaknya akibat ketegangan antara masyarakat bukannya pihak luar.
ASEAN sudah memperingatkan kalau tidak ditanggulangi ketidak stabilan itu akan meluas ke negara-negara tetangga.
Della Giacoma membenarkan dan mengatakan arus orang Rohingya ke Malaysia, sebagian mencari suaka, juga warga Muslim Indonesia mengancam akan melakukan pembalasan terhadap warga Budha.
Orang Rohingya tidak punya kewarga negaraan, sedikit hak hukumnya, jumlahnya sekitar 800 ribu di Burma dan 300 ribu di Bangladesh.
Sebagian besar orang Burma menganggap orang Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh meskipun banyak yang sudah tinggal di Burma selama beberapa generasi.
Pernyataan di surat kabar New Light of Myanmar mengatakan pasukan keamanan telah menyita 180 senjata api dan bukti-bukti pembuatan senjata. Tapi hanya ada sedikit keterangan lain yang mendukung klaim presiden itu akan keterlibatan asing dan teroris dalam kekerasan yang telah menewaskan sekurangnya 89 orang dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Maung Zarni peneliti tamu pada London School of Economics mengatakan bahasa yang tidak jelas dan tuduhan presiden itu pada teroris menunjukkan pihak berwenang ingin mengalihkan masyarakat dari kebijakan yang salah.
"Ini merupakan alasan terbaru dari pemerintah militer Burma yang pada dasarnya mengalihkan keluar tanggung jawabnya dengan menuduh atau berusaha menggunakan bahasa Amerika atau slogan “perang melawan terror,” ujar Zarni.
Tidak jelas apa yang memicu kekerasan paling akhir tanggal 21 Oktober lalu tapi kekerasan itu menyebar dengan cepat. Angka resmi menunjukkan lebih dari 5000 rumah di satu kawasan penduduk Muslim dibakar habis.
Ratusan orang melarikan diri dari kawasan terpencil itu dengan menggunakan perahu motor. Polisi di Bangladesh mengatakan sekurangnya 120 orang yang diperkirakan orang Rohingya , hilang setelah perahu bermotor mereka ditangkap di Teluk Benggala.
Angka resmi badan pengungsi PBB menunjukkan 35 ribu orang mengungsi di negara itu sebagian besar Muslim dan 3.000 masih di laut.
Presiden Thein Sein telah beberapa kali mengubah pendiriannya mengenai kekerasan di Rakhine sejak pertempuran pecah bulan Juni. Pertama-tama ia menyarankan agar semua orang Rohingya di deportasi.
Kemudian ia mengatakan kepada VOA bahwa pemerintah akan membangun sekolah-sekolah untuk anak-anak Rohingya.
Ia juga menyalahkan ekstremis Budha setempat karena meningkatkan ketegangan. Kini ia mengatakan organisasi-organisasi asing mendukung kelompok bersenjata dalam konflik itu.
Jim Della-Giacoma Direktur Proyek Asia Tenggara untuk International Crisis Group mengatakan ancaman terhadap kestabilan Burma tampaknya akibat ketegangan antara masyarakat bukannya pihak luar.
ASEAN sudah memperingatkan kalau tidak ditanggulangi ketidak stabilan itu akan meluas ke negara-negara tetangga.
Della Giacoma membenarkan dan mengatakan arus orang Rohingya ke Malaysia, sebagian mencari suaka, juga warga Muslim Indonesia mengancam akan melakukan pembalasan terhadap warga Budha.
Orang Rohingya tidak punya kewarga negaraan, sedikit hak hukumnya, jumlahnya sekitar 800 ribu di Burma dan 300 ribu di Bangladesh.
Sebagian besar orang Burma menganggap orang Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh meskipun banyak yang sudah tinggal di Burma selama beberapa generasi.