Rapuhnya situasi keamanan di Sudan terungkap pada baku tembak mematikan di Gabra pada awal pekan ini. Pihak berwenang menangkap 11 tersangka teroris setelah pertempuran yang menewaskan lima anggota Badan Intelijen Umum Sudan.
Analis menyalahkan kekerasan itu terjadi karena kehadiran pemberontak asing di negara tersebut dan situasi transisi dari pemerintah sipil ke militer, yang telah berkuasa di Sudan sejak 2019, ketika Presiden Omar al-Bashir digulingkan oleh militer setelah demonstrasi berlangsung selama berbulan-bulan.
Khalifa Sidiq, seorang profesor di Universitas Internasional Afrika di Khartoum yang juga merupakan pakar kelompok Islam, mengatakan kepada VOA bahwa kedekatan Sudan dengan negara-negara bermasalah lainnya berkontribusi terhadap masalah tersebut.
“Insiden Gabra,” kata Sidiq, “tidak terlepas dari konteks itu. Selama masa transisi ini, Sudan mengalami krisis keamanan dengan perbatasan yang longgar terhadap wilayah-wilayah yang bergejolak di kawasan itu.” Sebagai contoh, Sidiq merujuk pada Libya dan Somalia, di mana kelompok jihad al-Shabab beroperasi.
“Perbatasan Sudan dengan Chad dan Republik Afrika Tengah juga keropos,” katanya.
Sejarah terorisme Sudan bisa ditelusuri dari tahun 1970-an, dan diperkuat selama tahun 1990-an, ketika Sudan menyembunyikan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden dan didapati telah membantu al-Qaeda dalam pemboman tahun 1998 di kedutaan AS di Kenya dan Tanzania.
AS baru-baru ini menghapus Sudan dari daftar negara yang mensponsori teror setelah al-Bashir digulingkan dan Sudan membayar ganti rugi sebesar $335 juta kepada para korban beberapa serangan teror. (my/rs)