Pada 2019, ketika memulai periode kedua sebagai presiden, Jokowi menerima laporan dari Kementerian Pertahanan yang menyebutkan bahwa target Minimum Essential Force (MEF) berada pada angka 65 persen.
MEF adalah kondisi ideal yang diharapkan dimiliki Indonesia untuk membentuk kekuatan pertahanan yang efektif. Dengan angka itu, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan saat ini, memiliki beban menyelesaikan 35 persen target yang tersisa.
Hampir tiga tahun berjalan sejak periode kedua Jokowi dimulai, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Andi Widjajanto, mengakui bahwa kemungkinan target yang dibebankan untuk menggenapi sektor pertahanan Indonesia tidak akan tercapai.
“Kalau secara realistis, memang tampaknya target 35 pesen ini sulit tercapai di tahun 2024. Ada beberapa kondisi ekonomi makro, yang bisa kita lihat yang menyebabkan kecenderungannya target itu tidak akan tercapai,” kata Andi, pada Kamis (12/5).
Andi berbicara pada diskusi IKN dalam Dinamika Keamanan Regional dan Refleksi Identitas Global Indonesia, yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pada 2005 lalu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merancang MEF dengan asumsi pertumbuhan ekonomi pada kisaran 7 persen. Kenyataannya, capaian pertumbuhan ekonomi saat ini berada di kisaran 4-5 persen, bahkan sempat mengalami kontraksi pada masa awal pandemi COVID-19.
Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen, asumsi yang tercipta adalah alokasi dana pemerintah untuk sektor pertahanan akan mencapai 1,5-2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan kenyataan yang ada saat ini, alokasi dana yang dapat diberikan hanya berkisar 0,7 persen dari PDB.
Pilihan kebijakan yang diambil Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memastikan Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) yang ada dapat beroperasi maksimal juga membawa konsekuensi. Anggaran yang ada kini dilarikan untuk perawatan, dan bukan pembelian alutsista baru.
“Kalau sempat melihat anggaran di Renstra (Rencana Strategis) III, 2020-2024, maka akan kelihatan signifikan naiknya anggaran untuk pemeliharaan kesiapan tempur alutsista. Bahkan untuk dua angkatan, Angkatan Udara dan Angkatan Laut, anggaran pemeliharaan kesiapan tempur alutsista itu lebih besar daripada anggaran pengadaan alutsista-nya,” tambah Andi.
Dalam laporan the Military Balance 2022 yang diterbitkan oleh International Institute for Strategic Studies disebutkan bahwa hanya sekitar 40 persen alutsista Indonesia yang siap digunakan untuk bertempur. Prabowo sendiri menargetkan angka tersebut berada pada kondisi optimal 100 persen, dengan target realistis sebesar 70 persen.
Ia menambahkan, tantangan Prabowo saat ini adalah melakukan revisi Renstra III. Revisi diperlukan karena pandemi COVID-19, perbaikan gelar organisasi TNI, dan rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Sejarah Singkat Pengadaan Alutsista Indonesia
Berbicara dalam diskusi yang sama, Dr. Ninok Leksono dari Universitas Multimedia Nusantara mengakui bahwa pertahanan membutuhkan anggaran besar.
Dalam paparannya, Ninok menjelaskan sejarah singkat pengadaan alutsista di dalam negeri. Pada tahun 50-an, Indonesia membutuhkan alutsista dalam jumlah besar untuk pembebasan Irian Barat, atau yang saat ini dikenal sebagai Papua. Presiden Soekarno meminta bantuan ke Amerika Serikat, namun gagal dan mengalihkan upayanya ke Uni Soviet.
“Kebetulan Uni Soviet yang saat itu dalam era perang dingin melihat Indonesia sebagai sekutu. Diberikan alutsista dengan kredit yang sangat besar dan itu menjadi salah satu biang kerok kesulitan ekonomi Indonesia di tahun 60-an. Karena kredit alutsista kita sangat besar,” papar Ninok.
Salah satu yang masih bisa dilihat dari program itu adalah kapal selam kelas Whiskey yang saat ini berada di Surabaya, yang merupakan satu dari 12 kapal selam Uni Soviet. Selain itu ada pula pesawat Mig 21 dan TU 16, yang kini ada di museum. Berkat hutang dari Uni Soviet itu, lanjut Ninok, Indonesia termasuk dalam negara dengan angkatan laut paling kuat di belahan bumi selatan.
Inggris bahkan merasa perlu mengirimkan pesawat pembom Vulcan ke Singapura untuk mengawasi keadaan. Dalam konfrontasi yang pernah terjadi, Malaysia juga harus meminta bantuan ke Inggris untuk menghadapi ancaman Soekarno ketika itu.
“Itulah sebabnya, ketika rezim berganti ke Orde Baru, lalu berdiri ASEAN, Indonesia di bawah Pak Harto sensitif terhadap perasaan negara ASEAN lain. Anggaran belanja militer Indonesia jangan sampai meresahkan negara-negara tetangga,” lanjut Ninok.
Hanya saja, kebijakan Soeharto itu diterapkan terlalu panjang. Sumber daya ekonomi yang terbatas di awal Orde Baru, dikonsentrasikan sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Meski harus diakui bahwa pilihan yang ada memang sulit, antara senjata atau sarana produksi, ujar Ninok.
“Dengan menempuh kebijakan seperti itu, yang korban memang TNI. Angkatan bersenjata Indonesia tidak cukup diperkuat. Selalu terbatas, alutsista-nya banyak yang ketinggalan jaman, umurnya tua, sehingga saat dioperasikan sering ada musibah,” tambahnya.
Timbulkan Reaksi Kawasan
Sementara itu, peneliti BRIN, Agus Rubianto Rahman, juga menilai bahwa langkah Indonesia untuk memperbaiki sektor pertahanan akan menimbulkan reaksi di kawasan.
“Ketika Indonesia berbenah diri, memperbaiki pertahanan keamanannya, maka tetangga-tetangga kita akan ada eksternalitas. Merasa tidak aman. Oleh karena itu, teori yang berkembang adalah perlombaan senjata,” papar Agus.
Karena itulah, tantangan bagi Indonesia adalah menjaga kendali situasi regional selama upaya berbenah itu dilakukan. Perlombaan senjata, jangan sampai menimbulkan masalah bagi negara tetangga.
“Kalau Indonesia ingin menjadi pemain regional, mau enggak mau harus menambah alutsista-nya. Bukan hanya menambah, tapi juga modernisasi,” ucap Agus lagi.
Karena Indonesia bari menetapkan MEF hingga 2024, Agus menilai ancaman yang ada masih lebih besar dari kemampuan militer yang dimiliki Indonesia. Karena itu, perbaikan kekuatan memang harus terus dilakukan hingga ada dalam kondisi lebih ideal pada 2045.
“Tantangannya, apakah anggaran pertahanan setiap term tercukupi atau tidak, untuk menambah jumlah alutsista yang modern serta meningkatkan operasi militer. Tidak semata-mata harus menambah alutsista yang modern, tetapi juga harus menambah operasi militer terutama untuk menjaga garis perbatasan eksternal dengan negara tetangga di laut,” tandasnya. [ns/rs]