JAKARTA —
Meski ada kemajuan politik dan ekonomi dalam dekade terakhir, Indonesia masih kesulitan mengatasi angka kematian ibu yang termasuk tertinggi di antara negara berkembang.
Sebuah laporan baru-baru ini dari organisasi Save the Children mengenai kondisi ibu di seluruh dunia menempatkan Indonesia di posisi 106 dari 130 negara-negara berkembang, di bawah China dan Vietnam, namun di atas Filipina dan Timor Leste. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa angka kematian masih mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Hal ini sebagian besar karena kurangnya akses layanan kesehatan dan keluarga berencana, sesuatu yang menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sedang diupayakan dengan keras untuk diperbaiki. Ia yakin memberi perempuan kontrol lebih besar terhadap kesehatan reproduksi adalah sangat penting.
Pada Rabu (29/5), Nafsiah akan berbicara di hadapan ribuan aktivis dan pembuat kebijakan yang menghadiri sebuah konferensi global mengenai kesehatan perempuan di Kuala Lumpur.
Diskusi tersebut akan fokus pada cara-cara yang dapat dicapai oleh banyak negara untuk memenuhi salah satu Tujuan Pembangunan Milenium PBB, yaitu dengan meningkatkan akses perempuan terhadap layanan keluarga berencana.
Nafsiah mengatakan perbaikan akses perempuan terhadap layanan keluarga berencana di Indonesia sulit karena masalah geografi dan politik. Layanan kesehatan dikontrol oleh pemerintah lokal, namun Nafsiah mengatakan ia berkomitmen memenuhi kebutuhan setiap daerah.
"Kami telah menambah fasilitas kesehatan puskesmas, dan puskesmas telah dilengkapi dengan peralatan yang lebih baik, bidan-bidan yang lebih terlatih. Namun masih banyak yang harus dilakukan karena Indonesia sangat luas," ujarnya.
Nafsiah mengatakan pengaturan kelahiran adalah prioritas utama ketika kesehatan perempuan berisiko karena kelahiran yang terlalu sering. Selain itu, prioritas lain adalah pencegahan dan promosi kesehatan.
Ia juga mengatakan perbaikan akses terhadap layanan-layanan adalah penting untuk mengurangi kasus perdarahan, hipertensi dan infeksi saat kelahiran, yang merupakan sebab-sebab utama kematian ibu saat melahirkan di Indonesia.
"Saya yakin keluarga berencana terkait dengan kesehatan dan hak reproduksi," ujar Nafsiah.
Tidak semua pihak setuju. Di Filipina, misalnya, penolakan dari para pemimpin Gereja Katolik yang menunda pemberlakukan undang-undang kontroversial yang akan menyediakan akses gratis terhadap kontrasepsi dan layanan keluarga berencana.
Nafsiah sendiri telah menerima kritik keras dari pejabat konservatif dan pemimpin agama untuk upayanya meningkatkan penggunaan kondom di kalangan berisiko tinggi. Sejak menjadi menteri kesehatan tahun lalu, ia telah memperlunak advokasi beberapa jenis kontrasepsi, dan lebih fokus pada keluarga berencana sebagai cara untuk menjamin kehamilan yang sehat, aman dan diinginkan.
Meski ada kendala-kendala, ia mengatakan Indonesia perlu mengambil pendekatan yang lebih partisipatif untuk keluarga berencana yang melibatkan pemerintah daerah dan pemimpin agama. Keluarga berencana juga harus diikutsertakan dalam skema asuransi kesehatan nasional yang akan diluncurkan 2014, ujarnya.
Sebuah laporan baru-baru ini dari organisasi Save the Children mengenai kondisi ibu di seluruh dunia menempatkan Indonesia di posisi 106 dari 130 negara-negara berkembang, di bawah China dan Vietnam, namun di atas Filipina dan Timor Leste. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa angka kematian masih mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup.
Hal ini sebagian besar karena kurangnya akses layanan kesehatan dan keluarga berencana, sesuatu yang menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sedang diupayakan dengan keras untuk diperbaiki. Ia yakin memberi perempuan kontrol lebih besar terhadap kesehatan reproduksi adalah sangat penting.
Pada Rabu (29/5), Nafsiah akan berbicara di hadapan ribuan aktivis dan pembuat kebijakan yang menghadiri sebuah konferensi global mengenai kesehatan perempuan di Kuala Lumpur.
Diskusi tersebut akan fokus pada cara-cara yang dapat dicapai oleh banyak negara untuk memenuhi salah satu Tujuan Pembangunan Milenium PBB, yaitu dengan meningkatkan akses perempuan terhadap layanan keluarga berencana.
Nafsiah mengatakan perbaikan akses perempuan terhadap layanan keluarga berencana di Indonesia sulit karena masalah geografi dan politik. Layanan kesehatan dikontrol oleh pemerintah lokal, namun Nafsiah mengatakan ia berkomitmen memenuhi kebutuhan setiap daerah.
"Kami telah menambah fasilitas kesehatan puskesmas, dan puskesmas telah dilengkapi dengan peralatan yang lebih baik, bidan-bidan yang lebih terlatih. Namun masih banyak yang harus dilakukan karena Indonesia sangat luas," ujarnya.
Nafsiah mengatakan pengaturan kelahiran adalah prioritas utama ketika kesehatan perempuan berisiko karena kelahiran yang terlalu sering. Selain itu, prioritas lain adalah pencegahan dan promosi kesehatan.
Ia juga mengatakan perbaikan akses terhadap layanan-layanan adalah penting untuk mengurangi kasus perdarahan, hipertensi dan infeksi saat kelahiran, yang merupakan sebab-sebab utama kematian ibu saat melahirkan di Indonesia.
"Saya yakin keluarga berencana terkait dengan kesehatan dan hak reproduksi," ujar Nafsiah.
Tidak semua pihak setuju. Di Filipina, misalnya, penolakan dari para pemimpin Gereja Katolik yang menunda pemberlakukan undang-undang kontroversial yang akan menyediakan akses gratis terhadap kontrasepsi dan layanan keluarga berencana.
Nafsiah sendiri telah menerima kritik keras dari pejabat konservatif dan pemimpin agama untuk upayanya meningkatkan penggunaan kondom di kalangan berisiko tinggi. Sejak menjadi menteri kesehatan tahun lalu, ia telah memperlunak advokasi beberapa jenis kontrasepsi, dan lebih fokus pada keluarga berencana sebagai cara untuk menjamin kehamilan yang sehat, aman dan diinginkan.
Meski ada kendala-kendala, ia mengatakan Indonesia perlu mengambil pendekatan yang lebih partisipatif untuk keluarga berencana yang melibatkan pemerintah daerah dan pemimpin agama. Keluarga berencana juga harus diikutsertakan dalam skema asuransi kesehatan nasional yang akan diluncurkan 2014, ujarnya.