Belum lama ini kita mendengar sosok diaspora Indonesia, Sashya Subono Halse, yang terlibat dalam penggarapan film waralaba Hollywood terbaru, Kingdom of the Planet of the Apes.
Ia adalah Facial Motion Animator, atau animator yang bertugas menggerakkan wajah, yang bekerja untuk perusahaan WETA digital di Selandia Baru sejak tahun 2020.
“Aku dari awal memang tergila-gila dengan facial animation,” cerita Sashya Subono Halse kepada VOA belum lama ini.
Bisa menjadi animator, khusus di bagian Facial Motion untuk WETA digital adalah pekerjaan impian bagi Sashya. Ia mengaku sudah mempersiapkan diri bahkan sejak tahun 2012.
Meskipun sempat kembali ke Indonesia dan mengajar di SAE Indonesia, Sashya terus mengasah kemampuannya di bidang animasi dengan mengambil kursus daring.
Sejak bergabung dengan WETA digital, Sashya sudah banyak terlibat dalam penggarapan berbagai serial televisi dan film Hollywood terkenal, diantaranya Hawkeye, She-Hulk: Attorney at Law, Guardians of the Galaxy Vol. 3, dan Avatar: The way of Water.
Pertama kali dirilis tahun 1968, ini merupakan salah satu film waralaba legendaris yang masih terus dirilis dengan cerita yang berbeda dan dinanti oleh para pecintanya. Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para animator seperti Sashya, yang mencoba untuk menjaga kualitas yang ada.
Untuk proyek film kali ini, Sashya bertugas mengerjakan interaksi dari dua karakter utama dalam film.
“Ada satu bagian di trailer yang a close up of Noa. Aku mengerjakan itu. Tapi aku banyak mengerjakan karakter Raka. Tim aku banyak mengerjakan Raka dan Noa, interaksi antara mereka. Tapi aku kesempatan banyak untuk (menganimasi) Raka,” cerita Sashya.
Lulusan Middlesex University London jurusan animasi ini merasa cukup beruntung karena para animator yang dulu pernah terlibat dalam penggarapan trilogi film Planet of the Apes masih bekerja di departemennya.
“Untuk kita yang masih baru, mereka ajarin biar kita bisa di level yang memang seharusnya, si apes itu atau film yang kita kerjakan,” ujar Sashya.
Selain memang penggarapan film kali ini sangat seru, namun satu hal yang paling berkesan bagi Sashya adalah ketika membawa orang tuanya untuk menonton hasil karyanya ini.
“Papa jarang suka nonton bioskop. Tiba-tiba dia minta ikut,” kata Sashya.
“Mereka bangga untuk melihat hasil jerih payahnya, sudah setahun mengerjakan ini,” tambahnya.
Cari Inspirasi di Kebun Binatang
Berbeda dengan film animasi biasa, film Kingdom of the Planet of the Apes menggunakan Motion Capture Technology, atau teknologi yang merekam gerakan manusia lalu mengadaptasinya ke dalam dunia digital.
Tidak hanya menjadi tantangan bagi para aktor yang terlibat di balik layar karena harus berakting dengan menggunakan perangkat dan alat khusus yang menempel pada wajah dan badan, teknologi ini juga menjadi tantangan bagi Sashya, sebagai salah satu animatornya. Menurut Sashya, proyek filmnya kali ini memiliki kerumitan yang berbeda.
“Soalnya kita harus (menerjemahkan) gerakan manusia dari aktornya dan kita harus interprestasi gerakan itu ke ape (kera.red) yang anatominya itu amat sangat beda dari manusia. Dalam waktu itu juga kita harus bisa bikin gerakan itu tetap terlihat sesuai dengan apa yang dikerjakan dengan aktornya,” ujar lulusan S2 dari Victoria University of Wellington, Selandia baru ini.
Sebelum ikut menggarap film Kingdom of the Planet of the Apes, di bawah WETA digital Sashya juga pernah terlibat dalam film AVATAR: The Way of Water dan Godzilla x Kong: New Empire yang juga menggunakan teknologi yang sama.
“Aku mulai mempelajari gerakan-gerakan di muka kera itu di Godzila x Kong. Tapi beda ya, aplikasinya, kalau di Godzilla X Kong itu animalistic, kalau di kera lebih ada nuansa manusia, tapi enggak boleh jadi manusia,” jelas Sashya.
Sebagai persiapan untuk mengerjakan film Kingdom of the Planet of the Apes, Sashya mengaku bahwa ia jadi sering pergi ke kebun binatang untuk mengamati kera-kera yang ada di sana.
“Aku sering banget pergi ke zoo bawa anak-anak, jadi sekalian, antara weekend sama family, sekalian nontonin keranya gerak-gerak, sambil aku video-in,” cerita ibu dari tiga anak ini.
“Aku duduk saja di situ sambil makan siang, sambil nontonin keranya makan apel,” lanjutnya.
Dampak Kemajuan Teknologi
Melansir dari situs WETAFX, perusahaan WETA digital yang ikut dimiliki oleh sutradara pemenang piala Oscar, Peter Jackson memang memiliki peran yang penting dalam berinovasi terkait dengan penggunaan teknologi Motion Capture.
Hal ini diakui oleh Rini Sugianto, animator 3D senior untuk perusahaan NVIDIA di California, Amerika Serikat yang juga sudah banyak terlibat dalam penggarapan berbagai film Hollywood, seperti Tintin, Hobbit, dan Avengers.
“Memang sebenarnya juga teknologi motion capture ini sudah dipakai lumayan lama, malah dari film yang dulu, Tintin atau Hobbit atau Avengers semua udah pakai sistem motion capture ini, ya. Tapi di film semacam Kingdom of the Planet of the Apes, mereka heavy banget mempergunakan motion capture,” jelas Rini Sugianto kepada VOA.
“Nah, WETA, karena dulu saya pernah kerja di sana, teknologi motion capture mereka, dibandingin dengan perusahaan lain itu sangat canggih sekali. Makanya, hasilnya juga bisa kelihatan realistis sekali,” tambah Rini.
Meski beragam teknologi seperti motion capture ini, juga Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan yang kini banyak dipakai dalam film bisa membuat pengalaman menonton menjadi lebih menarik, hal ini sempat menimbulkan kegelisahan di antara para animator yang takut kehilangan pekerjaan.
“Film pertama yang pakai full motion capture itu kan Polar Express ya. Nah, sebelum itu tuh ada gembar-gembornya, ‘oh, ini kita bakalan kehilangan. Animator bakalan benar-benar digantikan.’ Karena idenya selalu ‘oh, ini bisa plug and play saja. Padahal sebenarnya enggak,” jelas Rini.
Meskipun sudah banyak teknologi canggih yang digunakan, Rini menegaskan bahwa pekerjaan animator tidak akan terhapuskan.
“Pekerjaan animator itu enggak hilang. Cuma berubah saja. Nah, sama dengan motion capture itu pertama kali mulai dipergunakan, ada ketakutan kalua ini bakal mengganti animator.’ Padahal sebenarnya enggak juga, malah membuka lowongan baru, jadi animator yang khusus mengerjakan motion capture technology,” kata Rini.
“Biarpun teknologinya setelah berkembang dan makin bagus, pun itu butuh orang dan terutama skill animator yang bisa proses ya. Dari datanya, clean up animation-nya,” tambahnya.
Namun, Rini menambahkan, sebagai animator tentu saja bisa ketinggalan, jika tidak bisa mengikuti kemajuan teknologi yang pesat. Hal ini juga diakui oleh Sashya. Ia pun berpesan untuk tidak berhenti belajar.
“Jika ketinggalan beberapa tahun saja, kita sudah ketinggalan jauh, dari segi kualitas dan teknologi. Jadi jangan setop belajar,” ujar Sashya.
“Walaupun sudah di studio besar. Untuk aku sendiri, aku enggak pernah berhenti belajar, karena pasti ada sesuatu lain hal yang kita belum tahu dan bisa membantu perkembangan karir kita,” pungkasnya. [di/dw]
Forum