Partai-partai lama di Prancis telah berdiri selama hampir empat dekade dan melahirkan sosok presiden seperti Francois Mitterrand, Jacques Chirac dan Nicolas Sarkozy. Namun kini, partai-partai politik tradisional sayap kiri dan kanan Prancis itu kesulitan menemukan relevansi dengan kondisi saat ini. Nasib mereka yang sudah goyah berpotensi berakhir dengan hasil Pemilihan Presiden (pilpres) Prancis 2022.
Pada putaran pertama dari dua putaran pilpres pada Minggu (10/4) lalu, para kandidat dari partai Sosialis dan Les Republicains Prancis menerima jumlah suara yang memalukan dan terendah dalam sejarah - kurang dari lima persen - sehingga menyebabkan mereka tidak memenuhi syarat untuk mengikuti putaran kedua pada 24 April mendatang.
Pemenang utama justru berasal dari partai ekstrem sayap kiri, ekstrem sayap kanan, serta partai berhaluan tengah dengan kandidat inkumben Presiden Emmanuel Macron. Ia akan menghadapi pesaing ekstrem kanan, Marine Le Pen, dalam kurang dari dua pekan.
''Sebuah pernyataan kematian,'' ''sebuah kegagalan bersejarah,'' tulis berbagai media Prancis dalam tajuk utama mereka, merujuk pada partai Sosialis dan Republicains, yang kini tengah menyusun strategi apabila salah satu dari keduanya bisa diselamatkan.
''Ia (Macron) menghancurkan (partai) tradisional sayap kiri dan kanan, tapi sejujurnya mereka juga menggali kuburan sendiri,'' kata sejarawan Nicole Bacharan saat menyinggung sosok Macron, yang melambung ke tampuk kekuasaan tahun 2017, di mana partainya, La République en Marche Party, telah mencegah label partisan.
''Kelompok sayap kiri amat terbelah, akibat kompetisi dan pertempuran. Mereka tidak relevan,'' kata Bacharan. ''Sementara untuk sayap kanan tradisional, banyak orang tidak melihat perbedaan mereka dengan Macron.'' [rd/em]