Sumaiyyah Wakil, yang lahir di Inggris, baru berusia 16 tahun ketika ia menyelinap pergi ke Suriah yang sedang dikoyak perang. Pertama-tama ia terbang ke Bulgaria, lalu ke Turki, untuk bergabung dengan kelompok teroris Negara Islam atau ISIS.
Menurut dokumen-dokumen di pengadilan Inggris, ketika berada di Raqqa, yang diklaim ISIS sebagai ibukota de facto kelompok itu, Sumaiyyah membual menyaksikan hukum rajam terhadap seorang perempuan yang dilakukan di hadapan publik. Ia menggambarkan pembunuhan itu sebagai sesuatu yang “sangat keren.”
Tetapi kini keluarga Sumaiyyah mengatakan otorita berwenang di Inggris seharusnya merepatriasinya ketika ia keluar dari wilayah ISIS. Tidak saja Sumaiyyah, tetapi juga remaja-remaja Inggris yang sebelumnya bergabung bersama ISIS. Kedua orang tua Sumaiyyah dan keluarga remaja yang direkrut ISIS itu menilai anak mereka dimanipulasi oleh jihadis yang melakukan perekrutan, dan bahwa mereka terlalu muda untuk mengetahui apa yang akan dilakukan ketika pergi ke Suriah.
Kesulitan yang melilit remaja yang direkrut ISIS – khususnya remaja putri yang umumnya seperti Sumaiyyah – yang pergi tanpa sepengetahuan orang tua atau persetujuan keluarga; telah memicu perdebatan sengit tentang moral, politik dan hukum di Inggris dan negara-negara Eropa lain. Fokus utama adalah pada soal apakah mereka harus diterima kembali di tanah kelahiran mereka, dibantu dan diberi kesempatan kedua?
Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar warga Inggris menilai mereka tidak layak diijinkan kembali.
Shamima Begum Picu Perdebatan di Ingris
Di Inggris, perdebatan itu dipicu oleh laporan wartawan Anthony Loyd tentang seorang perempuan Inggris berusia 19 tahun yang hamil dan kini berada di kamp pengungsi yang dikelola pasukan Kurdi di bagian timur laut Suriah. Shamima Begum, yang melahirkan anak ketiganya hari Minggu (17/2), bergabung dengan kelompok militan itu tahun 2015 ketika ia baru berusia 15 tahun. Ia pergi ke Suriah bersama dua teman sekolahnya yang sama-sama berasal dari bagian timur London.
Salah seorang gadis itu tewas dalam serangan udara tahun 2016. Gadis lainnya, Amira Abase, hingga kini masih berada di wilayah ISIS.
Sedikitnya 900 warga Inggris, termasuk sekitar 145 perempuan dan 50 anak-anak, telah bergabung dengan ISIS. Secara keseluruhan diperkirakan ada 5.000 warga Eropa yang bergabung dengan kelompok militan itu, meskipun sejumlah analis mengatakan angka sesungguhnya bisa jadi lebih besar.
Inggris Enggan Repatriasi Mereka yang Pernah Gabung ISIS
Inggris, sebagaimana negara-negara di Eropa lainnya, enggan merepatriasi mereka yang pernah direkrut ISIS, baik para pemberontak laki-laki, maupun apa yang disebut sebagai “jihadi brides” - atau perempuan yang menikah dengan para militan ISIS – dan anak-anak mereka. Sejumlah kecil telah dibantu untuk kembali ke negara asal mereka, tetapi ratusan orang masih menunggu resolusi hukum dan politik atas kasus mereka karena sebagian besar permohonan repatriasi diabaikan negara-negara di Eropa. Ini dikarenakan negara-negara di Eropa melihat warga yang direkrut ISIS dan pergi ke Suriah itu telah mengkhianati negara mereka dan berpotensi menimbulkan risiko keamanan.
Selama lebih dari satu tahun pejabat-pejabat Amerika telah mendorong negara-negara Eropa untuk menerima kembali warga negara mereka yang ingin kembali ke tanah air, dan meminta pertanggungjawaban mereka di muka hukum. Sebagian pejabat mengatakan jika tidak diterima kembali, mereka dapat menyelinap dari kamp-kamp pengungsi dan tahanan di bagian timur laut Suriah tanpa pengawasan, dan malah menimbulkan ancaman yang lebih besar.
Trump Serukan Eropa Terima Kembali Warga yang Pernah Direkrut ISIS
Presiden Amerika Donald Trump Sabtu lalu (16/2) menyerukan kepada negara-negara Eropa untuk menerima kembali warga mereka yang sebelumnya direkrut ISIS, dengan mengatakan alternatif lainnya adalah pasukan Kurdi akan terpaksa membebaskan mereka.
Pejabat-pejabat Eropa mengatakan sebagian besar tidak dapat diadili karena sulitnya mengumpulkan bukti kesalahan mereka, dan kekhawatiran bahwa kehadiran mereka akan semakin membebani operasi atau layanan keamanan. Lebih dari 900 jihadis asing dan 3.200 istri serta anak-anak mereka kini ditahan oleh pasukan Kurdi.
Shamima Begum Tak Tunjukkan Penyesalan Pernah Gabung ISIS
Shamima Begum, yang dua anak sebelumnya meninggal karena kekurangan gizi dan sakit, mengatakan ingin kembali ke Inggris terutama karena khawatir dengan kesehatan bayinya.
“Saya pikir banyak orang yang seharusnya bersimpati kepada saya atas apa yang telah saya lalui,” ujarnya dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Tetapi ia tidak menunjukkan rasa penyesalan karena telah bergabung dengan ISIS atau mengutuk ideologi kelompok itu. Dalam wawancara dengan Sky News, ia mengklaim bahwa ia “hanya seorang ibu rumah tangga” ketika berada di kekhalifahan ISIS, di mana ia menikah dengan seorang jihadis berkewarganegaraan Belanda tak lama setelah tiba di sana.
Ketika ditanya apakah ia mengetahui tentang eksekusi dan pemenggalan kepala yang dilakukan ISIS, Shamima Begum tanpa basa-basi menjawab ia “OK” dengan hal itu. Ditambahkannya, “Ya saya tahu tentang hal-hal itu dan saya OK saja. Karena saya mulai menjadi lebih religius sebelum saya pergi ke Suriah. Dari apa yang saya dengar, secara Islam, semua hal itu diperbolehkan.”
Sementara dalam wawancara dengan BBC, Shamima Begum mengatakan serangan teror di konser Ariana Grande tahun 2017 yang menewaskan 22 orang, dibenarkan sebagai pembalasan.
Kurangnya rasa penyesalan Shamima Begun, memicu kemarahan publik. Mereka yang mengecamnya mengatakan ia seakan-akan merasa memiliki keistimewaan tertentu. Namun keluarganya mengatakan putri mereka telah dicuci-otak.
Keluarga Shamima Begum Menilai Putrinya Telah Dicuci-otak
Muhammad Rahman, yang menikah dengan saudara Shamima Begum yang lebih tua, mengatakan kepada wartawan, “Saya dapat memahami mengapa banyak orang di Inggris tidak ingin Shamima diperbolehkan kembali ke negara ini setelah apa yang dilakukannya... tetapi ia pergi kesana ketika berusia 15 tahun dan saya tidak tahu ada anak usia 15 tahun yang dapat membuat keputusan semacam itu dengan rasa tanggung jawab apapun. Ia masih anak-anak ketika berangkat dan tentunya ia telah dicuci-otak.”
Sebagian pakar radikalisasi telah sejak lama mengatakan bahwa remaja-remaja Barat telah disasar secara sangat cerdik oleh militan ISIS yang melakukan perekrutan, dengan cara yang hampir sama seperti pedofil menarget mangsanya, yaitu dengan narasi manipulatif yang dirancang untuk membangun rasa kekeluargaan palsu.
Mia Bloom, pakar komunikasi dan radikalisasi di Georgia State University, menyorot bagaimana ketika ISIS begitu piawai mengeksploitir kerentanan dan kebingungan para remaja Barat yang kebingungan, yang selama ini bergelut mengatasi masalah identitasnya.
Bloom mengatakan ISIS mencocokkan militan yang merekrut dengan mereka yang disasar dalam hal usia, kewarganegaraan dan jenis kelamin. Narasi pemasaran akan bergeser tergantung kerentanan target, dari soal kesetaraan dan keterbukaan hingga tawaran bersahabat dan janji lain. Ada yang diiming-imingi dengan petualangan utopis. Lainnya dimanipulasi dengan menekankan kewajiban mereka pada Islam.
Dimanipulasi atau tidak, kolumnis “The Times of London” Janice Turner, mengatakan meskipun usia sejumlah orang yang direkrut ISIS seharusnya menjadi pertimbangan, ia mempertanyakan “pada titik mana seorang anak muda tidak lagi sekedar menjadi korban yang ditipu, tetapi karena perkembangan akal dan ideologi berbahayanya, ia jadi bertanggungjawab atas perbuatannya?”
Bagaimana dengan Anak Warga yang Direkrut ISIS?
Di pemukiman Bethnal Green di timur London dimana Shamima Begum dulu tinggal, muncul perasaan beragam. Sebagian warga lokal mengatakan ia mungkin telah ditipu untuk pergi kesana, tetapi tidak adanya rasa penyesalan yang ditunjukkannya justru mengkhawatirkan, dan menunjukkan bahwa ia tetap menjadi ancaman radikal.
Penderitaan anak-anak anggota yang direkrut ISIS adalah yang paling menyedihkan. Meskipun orang bersikeras tidak akan menerima mereka yang direkrut ISIS kembali ke tanah airnya, tetapi mereka prihatin dengan nasib anak-anaknya.
Di bidang hukum, sudah ada seruan untuk menerapkan undang-undang pengkhianatan terhadap mereka yang direkrut ISIS, termasuk para “jihadis brides” atau yang menikah dengan militan ISIS, tetapi para pakar hukum mengatakan undang-undang itu mungkin tidak tepat.
Mendagri Inggris Mulai Proses Lucuti Kewarganegaraan Warga yang Pernah Direkrut ISIS
Menteri Dalam Negeri Inggris Sajid Javid menunjukkan kemarahan Inggris pekan lalu dengan mengatakan Shamima Begum dan mereka yang telah direkrut ISIS sebelumnya tidak boleh kembali ke Inggris. Namun demikian ia mengakui bahwa secara hukum ia tidak dapat terus menerus memblokir mereka untuk berupaya kembali. Tetapi Selasa lalu (19/2) ia memerintahkan para petugas Kementerian Dalam Negeri untuk memulai proses melucuti kewarganegaraan Inggris Shamima Begum. (em)