Seorang arsitek lanskap Indonesia di Selandia Baru mendesain sebuah taman bermain yang inklusif, di tengah berbagai dorongan untuk menciptakan taman bermain yang bisa dinikmati semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas.
Taman bermain rancangan Ivy Soulisa Ellison di Auckland Selatan itu bahkan dinobatkan sebagai "Playground Terbaik Selandia Baru" tahun ini. Penghargaan yang diumumkan pada bulan Juni tersebut, akan diberikan secara langsung pada Jumat (7/8). Playground ini mendapat sambutan positif dari komunitas difabel.
"Keith Park Playground" yang ada di Manurewa, pinggiran Auckland Selatan, Selandia Baru baru-baru ini menjalani renovasi besar-besaran. Kini, ada trampolin dan carousel yang bisa dinikmati pengguna kursi roda, ada juga ayunan keranjang dan ayunan ganda yang bisa dinaiki orangtua dan anak. Sebagian besar permainan di taman ini bisa diakses kursi roda, demikian pula toiletnya.
Itu adalah sebagian fitur di taman bermain 'all abilities' pertama di Auckland, yang memungkinkan anak-anak, termasuk yang berkebutuhan khusus, untuk bermain dengan aman. Taman ini juga yang pertama di Selandia Baru yang menampilkan bahasa isyarat. Perancangnya adalah Ivy Soulisa Ellison, warga asal Indonesia yang berprofesi sebagai arsitek lanskap di Dewan Kota Auckland, instansi yang menjalankan proyek ini.
"Kalau proyek ini dari desain teamnya aku memang cuman aku sendiri. Aku mulai dari desain kerja sampai produksi, tender drawing dari awal sampai selesai ini aku sendiri," ujarnya kepada VOA.
Lulusan arsitektur ITB ini juga mengawasi langsung proses konstruksi sepanjang tahun 2019.
Untuk memastikan agar playground ini betul-betul ramah bagi penyandang disabilitas, sebelumnya Ivy meminta masukan dari berbagai organisasi penyandang disabilitas dan masyarakat setempat.
Salah seorang di antaranya adalah Darcelle Bell-Ataata, 48 tahun, seorang ibu tiga anak di Auckland. Anak keduanya, Israel Ataata, 6 tahun, mengidap sindrom Angelman yang menyebabkan gangguan perkembangan dan gerakan.
"Yang paling penting bagi semua keluarga yang terlibat adalah permukaan taman. Sebagian menggunakan kursi roda. Jadi permukaannya harus mudah dilalui dan tidak keras. Sehingga, apabila anak-anak jatuh, tidak akan sakit," kata Darcelle kepada VOA.
Karena itu, Ivy memilih bahan karet untuk melapis permukaan taman yang rata. Tak jarang, perempuan yang hampir 20 tahun berprofesi sebagai arsitek ini, juga harus mengubah desainnya untuk mengakomodir berbagai pihak.
"Awalnya itu yang yellow line itu sebenarnya desainnya aku itu dots and yellow. Karena kupikir lebih fun kan. Aku bilang itu untuk seperti kaya jalur jalan. Tapi mereka bilang, buat sight impaired, dots itu ngga keliatan. Mereka lebih lihat kalau continuous line," paparnya.
Setelah dibangun selama beberapa bulan dengan menghabiskan biaya sekitar 800.000 dolar Selandia Baru atau lebih dari 7 miliar rupiah, taman itu dibuka pada Desember 2019 lalu.
Enam bulan kemudian, tempat ini dinobatkan sebagai "Playground Terbaik Selandia Baru" dalam ajang Penghargaan Taman Selandia Baru 2020 yang diumumkan secara daring Juni lalu karena pandemi virus korona. Penghargaan ini diberikan untuk "mengakui keunggulan, inovasi, efektivitas, serta ruang dan tempat yang luar biasa yang mendukung aktivitas dalam sektor rekreasi," menurut situsnya.
Ivy mengaku sangat senang dengan pengakuan itu dan tidak menyangka, mengingat banyak playground lain yang lebih mewah dan lebih besar ongkos produksinya. "Aku pikir kita menang mungkin karena fokusnya beda ya, lebih ke accessibility, engagement-nya juga bagus, dengan community-nya bagus, playground-nya sukses."
Itu sesuatu yang diamini oleh komunitas penyandang disabilitas, seperti Darcelle dan puteranya. "Taman Keith adalah berkah bagi komunitas kami," ujarnya bahagia. [vm/em]