“Saya datang dari keluarga yang sederhana,” cerita Paskalis Kaipman kepada VOA, saat mengenang kehidupannya.
Terlahir sebagai anak petani di kabupaten Boven Digoel, Papua, sejak kecil Paskalis sudah dilatih untuk hidup keras dan penuh dengan perjuangan. Ia tinggal di kamp pengungsian yang jauh dari perkotaan, dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Tanggung jawabnya sebagai putra pertama dari lima bersaudara bertambah ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 2006, ketika ia masih duduk di bangku SMP kelas 3. Bersama adik-adiknya, ia harus bekerja “luar biasa keras,” membantu sang ibu dari pagi hingga malam, hanya untuk satu kali makan.
“Mama juga kebetulan dia cacat, tidak bisa kerja yang keras-keras untuk menghasilkan uang,” ujarnya.
Memikul peran dan tanggung jawab sebagai pengganti ayah, keluarganya lalu memutuskan untuk meneruskan pendidikannya, namun terpaksa memberhentikan pendidikan adik-adiknya, mengingat keterbatasan ekonomi pada waktu itu.
“Kakak aja yang sekolah. Kemudian kalau kakak bisa berhasil nanti, bisa bantu orang tua lihat adik-adik,” kata Paskalis mengingat pesan keluarganya.
Pendidikan di kampungnya pada waktu itu memang juga sangat terbatas. Sekolah dasar di kampungnya bergantung kepada hanya satu guru yang mengajar kelas 1-6, yang juga merangkap sebagai kepala sekolah.
“Bisa kadang masuk dari Senin sampai Rabu. Kamis, Jumat nggak. Jadi kami tahu, kalau dikasih informasi ya. Kami punya waktu misalnya dua hari untuk full day bantu orang tua.”
Tekadnya untuk mengubah kehidupan kondisi ekonomi keluarganya, menjadi penyemangat bagi Paskalis untuk terus berusaha meraih pendidikan setinggi mungkin.
Sepuluh Tahun Tak Jumpa Keluarga
Lulus SMP, Paskalis lalu pindah ke Distrik Minditanah, untuk melanjutkan pendidikan SMK selama tiga tahun. Pada waktu itu ia tinggal bersama seorang kakak asuh. Komunikasi dengan keluarganya pun terputus.
“Nggak ada komunikasi lagi sama ibu, karena mereka tinggal di kampung yang jauh kan, di kamp pengungsian. Jauh sekali, pas di perbatasan, jadi susah komunikasi,” jelas mahasiswa kelahiran tahun 1989 ini.
Selama tiga bulan pertama, kakak asuhnya membantu pembayaran uang sekolahnya. Namun, setelah itu ia harus mencari jalan sendiri, untuk bisa melanjutkan pembayaran uang sekolah.
“Kita sekolah cuma setengah hari, dari jam 8 sampai jam 1. Jadi, biasa sore hari itu saya angkat pasir, angkat batu pasir di salah satu sungai, untuk cari uang. Simpan untuk bayar setiap SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan.red). Kalau makan, biasa saya makan setiap hari dengan kakak asuh, di mana saya tinggal,” ceritanya.
Berhasil tamat SMK, Paskalis lalu bekerja sebagai guru Bahasa Inggris murid kelas 3-6 di SD Negeri 2, di kabupaten Boven Digoel, selama satu setengah tahun. Ia pun kembali termotivasi untuk terus melanjutkan pendidikan, untuk mengubah nasib hidupnya. “Tidak boleh sama seperti orang tua lagi,” begitu katanya.
Tahun 2011, Paskalis memutuskan untuk merantau ke Merauke dan kuliah di Universitas Musamus Merauke, jurusan pendidikan bahasa Inggris. Ia memilih jurusan ini, mengingat belum banyak guru Bahasa Inggris di daerah raya Boven Digoel, juga Papua Selatan.
“Bahasa Inggris sangat penting dan termasuk dalam Ujian Nasional. Maka harus SDM-nya cukup, untuk menjawab persoalan kekurangan tenaga guru bahasa Inggris,” jelas pria yang hobi berburu ini.
“Puji Tuhan dapat berkat,” Paskal berhasil meraih beasiswa Bidikmisi. Ini merupakan beasiswa di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang diberikan kepada calon mahasiswa yang kurang mampu, namun memiliki potensi baik di bidang akademik.
Karena tidak ada keluarga di Merauke, ia lalu menumpang tinggal di pastoran Katolik di Merauke, yang jaraknya sekitar 1-2 jam jalan kaki dari kampus, selama tiga bulan. Sampai suatu hari, saat sedang berjalan kaki, Paskalis bertemu seorang dosen. Merasa kasihan melihat Paskalis yang selalu berjalan jauh, ia lalu menawarkan tempat tinggal yang lebih dekat.
“Jadi dia berikan tempat yang dulu itu gudang salah satu SMA Negeri 3 Merauke. Kebetulan SMA itu berdekatan dengan kampus yang saya kuliah. Jadi Puji Tuhan, saya bisa tinggal di situ, jarak dekat dan saya bisa selesai.”
Bertemu Ibu, Paskalis: “Saya Tidak Kenal Beliau”
Tahun 2016, Paskalis akhirnya lulus kuliah dan bekerja selama satu tahun di sebuah LSM. Di tahun yang sama, ia memutuskan untuk pulang kampung dan menemui keluarganya. Perjalanan dari Merauke menuju kampungnya di Boven Digoel ditempuhnya dalam total waktu tiga hari.
“Itu jalan darat jalan darat semua. Tapi nanti sampai di kabupaten, dari kabupaten ke distrik. Nanti dari distrik ke kampung itu yang kita biasa berjalan kaki. Itu jalan setapak, jalan hutan,” kata Paskalis.
Satu-satunya cara menuju ke kampungnya adalah dengan berjalan kaki melalui hutan belantara, yang biasanya memakan waktu kurang lebih satu hari. Tidak ada yang tahu kalau Paskalis akan kembali pada waktu itu, karena sulitnya untuk berkomunikasi langsung dengan keluarga.
“Jadi ketika saya sudah sampai di dekat perbatasan, baru sempat kirim berita lewat orang yang mau duluan ke kampung. Jadi orang sudah kasih tahu. Jadi ibu, dari kampung, dia sudah datang lewat hutan. Sudah tunggu saya di ujung distrik,” ujarnya.
Sepuluh tahun tidak bertemu membuatnya sama sekali tidak mengenal sang ibu.
“Saya tidak kenal beliau, karena ibu semakin…apa yah…sedih sih melihat ibu. Dulu saya melihat ibu masih pakai baju bagus, masih pakai celana bagus, waktu masih ada Bapak. Sekarang ibu bajunya robek, sampai bagian dada, susunya keluar. Terus pikul noken, terus dengan kayu bakar, pegang parang, sebelah pegang bambu air,” ceritanya.
“Sampai saya bilang, ‘ah bukan Ibu.’ Sudah terlalu apa ya, kayak tambah parah begitu. Tapi, Ibu feeling-nya sudah tahu, kalau ini anaknya. Jadi langsung Ibu menangis, terus Ibu teriak, ‘anakku… anakku.’ Langsung ibu datang, peluk saya. Saya berlutut, saya menangis, cium kaki Ibu ya Setelah itu baru kami sama-sama pulang ke rumah,” kenangnya lagi.
Bukan hanya Paskalis yang awalnya tidak mengenali sosok ibunya sendiri, namun, adiknya yang paling kecil, sama sekali tidak mengenalnya, karena dulu masih berumur sekitar satu minggu sewaktu Paskalis meninggalkan kampungnya. Adik-adiknya pun sangat bangga melihat pencapaian kakaknya.
“Mereka bilang, ‘kita bisa ikut kakak pergi ndak?’ Saya bilang, ‘belum. Nanti, kakak pasti datang. Kakak pulang, nanti, kakak sudah punya rumah baru, kamu bisa ikut kakak. Dari kampung, pergi ke kota, tinggal di kita punya rumah sendiri,’” ujar Paskalis saat menceritakan harapan adik-adiknya.
Saat pulang, Paskalis lalu meminta restu sang Ibu untuk melanjutkan pendidikan S2, walau masih belum tahu bagaimana caranya. Doa ibunya pun menyertainya.
“Ibu bilang, ‘Nak, jalan. Pasti Mama berdoa. Berdoa untuk engkau. Jangan pikir kami. Engkau pergi, kejar apa yang kau sudah cita-citakan. Jadi tidak boleh pikir kami, tidak boleh pikir adik adik.’”
Mengejar Mimpi ke Amerika Demi Keluarga
Atas doa restu sang ibu dan demi mengangkat “harkat orang tua dan adik-adik,” Paskalis kembali berjuang untuk bisa meneruskan pendidikan S2. Ia lalu merantau ke Jayapura, yang ia yakini menyimpan lebih banyak lagi informasi mengenai beasiswa.
Tidak kenal siapa-siapa dan belum punya tempat tinggal, akhirnya Paskalis mencari tahu keberadaan warga Boven Digoel di Jayapura.
Ia beruntung bisa bertemu dengan mahasiswa di Universitas Cendrawasih yang berasal dari Boven Digoel, yang menawarkan tempat tinggal.
Sambil mencari beasiswa, tahun 2017, Paskalis mulai bekerja di perusahaan Agri Spice Indonesia di Sentani. Enam bulan berjalan, ia memutuskan untuk mendaftar beasiswa LPDP atau Lembaga Pengelola Dana Pendidikan di bawah Kementerian Keuangan Indonesia. Salah satu pilihannya pada waktu itu adalah beasiswa Indonesia timur, yang ditujukan salah satunya bagi penduduk asli provinsi Papua.
“Puji Tuhan, saya lulus,” kata Paskalis.
Sebagai penerima beasiswa Indonesia Timur, Paskalis diberi tiga pilihan negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ia memilih yang terakhir.
“Luar biasa sekali punya kesempatan yang baik dari pemerintah Indonesia melalui LPDP, mempercayakan saya sebagai anak Papua, untuk datang kuliah di Amerika,” tambahnya.
Jalan untuk meraih pendidikan S2 di Amerika Serikat sudah terbuka lebar. Sudah pasti senang rasanya, sebagai anak muda dari Boven Digoel, bisa meraih beasiswa hingga ke Amerika Serikat.
Namun, di saat yang sama, pencapaian ini menjadi salah satu titik terberat dalam hidup Paskalis. Ia dihadapi kenyataan bahwa ia harus kembali meninggalkan beban dan tanggung jawabnya, yaitu membantu ibu dan adik-adiknya dalam menjalani hari demi hari.
“Itu yang menjadi hal yang, ‘aduh, sudah mau putus asa, nih. Saya pulang aja sudah.’ Kasihan Ibu sendiri setengah mati. Ibu juga kurang normal. Kenapa saya harus egois, pikir saya, untuk mencapai suatu tujuan yang butuh waktu lama,” ungkapnya.
Paskalis menyadari bahwa gelar sarjana S1 yang ia miliki tidak akan membuatnya mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup adik-adiknya yang tidak bersekolah.
Tak hanya itu, ia juga memikirkan masa depan Boven Digoel, di mana sumber daya manusia di sana masih kurang. Ia pun lalu bangkit dan percaya bahwa semua ini harus ia jalani, demi membawa perubahan dalam kehidupannya dan juga Boven Digoel.
“Saya bisa menjadi aset untuk memberi perubahan di sana. Itu motivasi-motivasi saya,” tegasnya.
Selama kurang lebih satu tahun, ia melakukan berbagai persiapan, baik dalam hal bahasa maupun keberangkatan, hingga akhirnya tiba di Amerika Serikat bulan Agustus 2019.
Kini, Paskalis tengah menjalani program S2 jurusan kebijakan pendidikan dan kepemimpinan, di American University di Washington, D.C.
Alasannya memilih jurusan ini kembali berkaca pada situasi pendidikan di Papua, yang penuh dengan “ketertinggalan” dan “keterpurukan,” terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal.red) dan di perbatasan. Ia bertekad untuk meningkatkan pendidikan di Boven Digoel dan daerah lainnya yang masih tertinggal.
“Itu bisa lebih baik lagi dengan mungkin ada regulasi yang bisa mengatur tentang tenaga guru yang merata,” jelasnya.
Amerika dan Papua Jauh Berbeda
Kekhawatiran akan budaya dan pendidikan di Amerika Serikat yang menurutnya “sangat maju dan berkembang,” sempat melanda pikirannya. Jika melihat jomplangnya perbedaan Papua dan Jakarta, apalagi Amerika yang menurutnya “sangat jauh sekali” perbedaannya.
Perbedaan inilah yang membuatnya jadi banyak belajar dari Amerika.
“Dari disiplinnya, sistem pendidikannya, terus ketaatan dalam perkuliahan. Jadi tidak bisa kami nyontek. Memang strict sekali kalau di Amerika. Terus kami kumpul tugas itu tidak bisa lebih sedikit telat dari waktu yang sudah ditentukan atau hari.”
Telpon Ibu dari Amerika, “Nak, jangan tipu ibu.”
Sungguh mengharukan ketika Paskalis mengabari ibunya, bahwa ia kini sudah berada di Amerika Serikat.
“Ibu bilang, ‘Nak, jangan tipu ibu. Aku yang melahirkan kamu, nggak boleh tipu orang tua seperti itu.’ Sampai ibu tidak percaya kalau saya di Amerika. Karena Ibu tidak yakin saya bisa sampai di (Amerika). Dengan kami punya keadaan seperti itu, keterbatasan kami,” ceritanya.
“Tapi, ketika kedua kali telpon, terus kami bisa video call, setelah itu baru ibu lihat saya dengan air mata. Ibu tidak bicara. Ibu cuma diam saja, dengar. Setelah telpon selesai, baru ada saudara yang saya chat, ‘Mama bilang, mama tidak ada pesan apa-apa yang penting engkau sehat, mama selalu doa sampai kita ketemu kembali,” lanjutnya.
Tidak Boleh Putus Asa, “Saya Pasti Bisa”
Pengalaman hidupnya yang luar biasa telah membawanya ke titik hidup yang sekarang. Tak lupa Paskalis berterima kasih kepada semua orang yang telah membantunya hingga hari ini, yang satu persatu membantunya dalam meraih cita-citanya.
“Pasti Tuhan akan buka jalan dengan caranya Dia. Yang penting ada mimpi, tidak boleh ragu dengan segala kekurangan untuk meraih mimpi itu atau cita-cita itu. Yang penting ada niat, semangat, tekun dan terus belajar, berdoa dan bekerja, kemudian selalu rendah hati,” ujarnya.
Seperti moto hidupnya, “saya pasti bisa,” Paskalis berharap dapat mencapai keberhasilan, sebagai tanda terima kasihnya kepada semua yang telah berjasa dalam kehidupannya. [di/em]