Perunding Rusia dan AS akan mengadakan pembicaraan pada bulan Januari untuk mendiskusikan permintaan Moskow agar NATO menghentikan ekspansi ke timur Eropa – ke negara-negara bekas Uni Soviet – termasuk Ukraina, kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, hari Rabu (22/12).
“Kami tidak ingin berperang,” kata Lavrov. “Kami tidak ingin mengambil jalur konfrontasi, tapi kami akan dengan tegas memastikan keamanan kami dengan menggunakan cara-cara yang kami anggap perlu,” katanya dalam wawancara dengan stasiun TV Rusia RT.
Pernyataan menlu Rusia itu disampaikan ketika raksasa energi Rusia, Gazprom, terus membatasi pasokan gas alam ke Eropa, memicu tuduhan baru bahwa Kremlin menggunakan ekspor energi sebagai senjata politik.
Lavrov juga mengatakan, Rusia akan mengadakan diskusi terpisah dengan NATO, namun pembicaraan itu tidak boleh ditunda. “Saya berharap mereka akan menganggap kami serius, mengingat langkah yang kami ambil untuk memastikan kemampuan pertahanan kami,” tambahnya.
Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik di Ukraina, pekan lalu Rusia memberikan rancangan perjanjian yang menguraikan serangkaian “jaminan keamanan” yang dituntut Kremlin kepada AS, termasuk penghentian pengembangan NATO dan komitmen aliansi tersebut untuk tidak menerjunkan pasukan tambahan ke negara-negara yang belum memiliki kehadiran pasukan darat NATO sebelum tahun 1997, termasuk Polandia, Hungaria, Republik Ceko dan negara-negara Baltik, yang kesemuanya anggota NATO.
Pejabat AS dan negara-negara Barat khawatir Presiden Rusia Vladimir Putin tengah mempertimbangkan terulangnya kembali kejadian tahun 2014, ketika Moskow mencaplok Krimea dan Rusia menggunakan proksi bersenjata untuk merebut sebagian besar wilayah Donbass di Ukraina timur. Gedung Putih meyakini pihaknya hanya punya waktu empat minggu untuk mencegah potensi invasi Rusia ke Ukraina.
Sergei Ryabkov, wakil menteri luar negeri Rusia, hari Senin (20/12) membantah klaim yang menyebut Moskow berencana menyerang Ukraina. Namun pejabat Rusia menjadi terdengar semakin agresif.
Pada hari Selasa (21/12), Putin menyampaikan salah satu tanggapannya yang paling tajam sejauh ini terkait meningkatnya kebuntuan situasi di Ukraina dengan AS dan NATO, dengan mengatakan kepada para perwira tinggi militer di Moskow bahwa jika NATO tidak menghentikan apa yang ia sebut sebagai perilaku agresif di Ukraina, Rusia akan membalas secara militer.
“Jika perilaku agresif rekan-rekan di Barat terus berlanjut, kami akan mengambil langkah-langkah teknis militer balasan yang memadai dan bereaksi keras terhadap langkah-langkah yang tidak bersahabat,” kata Putin dalam pernyataannya yang disiarkan media Rusia.
Meskipun AS dan sekutunya di NATO telah mengatakan bahwa mereka bersedia untuk berunding dengan Rusia, diplomat negara-negara Barat memperingatkan bahwa proposal Rusia tidak dapat diterima mentah-mentah. Dalam konferensi pers virtual dengan wartawan hari Selasa (21/12), Asisten Menlu AS Karen Donfried mengatakan perundingan itu akan memiliki prospek yang lebih baik jika Rusia mengurangi penumpukan pasukan di sepanjang perbatasannya dengan Ukraina.
“Dialog dengan Rusia yang mana pun harus dapat mengatasi kekhawatiran NATO dan lainnya tentang perilaku mengancam Rusia yang terus berlanjut dan didasarkan pada prinsip-prinsip inti juga dokumen dasar keamanan Eropa. Kami tidak akan mengompromikan prinsip-prinsip utama terbangunnya keamanan Eropa, termasuk bahwa semua negara berhak memutuskan arah kebijakan luar negeri dan keamanan mereka sendiri, bebas dari campur tangan pihak luar,” ungkapnya.
Pejabat AS dan NATO bersikukuh bahwa tidak masuk akal bagi Moskow untuk memveto arah kebijakan luar negeri yang dipilih oleh Kyiv.
Pernyataan Lavrov hari Rabu muncul ketika Kremlin membantah pembatasan ekspor gas alam ke Eropa dan menggunakan pasokan energy sebagai alat diplomasi koersif.
Gedung Putih mengatakan akan membahas “jaminan keamanan” yang diusulkan Rusia dengan sekutu Eropa, tetapi menekankan bahwa Moskow tidak akan diizinkan ikut campur dalam kebijakan luar negeri dan keputusan keamanan negara-negara yang berdaulat. Para pejabat AS juga telah menekankan bahwa
tidak boleh ada kesepakatan bilateral terpisah antara Washington dan Moskow mengenai pengaturan keamanan Eropa. Sekutu NATO harus terlibat penuh, kata mereka.
Keputusan tidak biasa Menlu Rusia untuk menerbitkan rancangan perjanjian mereka segera setelah menyerahkannya kepada pejabat AS menambah keraguan terkait ketulusan Kremlin dalam bernegosiasi.
“Substansi rancangan dan cara Rusia mempublikasikannya tidak menunjukkan tawaran negosiasi yang serius,” kata Steven Pifer, mantan duta besar AS untuk Ukraina, yang kini menjadi peneliti senior Institusi Brookings, kelompok riset yang berkantor di Washington.
“Ketentuan yang tidak dapat diterima dalam dua rancangan perjanjian, cepatnya penerbitan (draf perjanjian) oleh pemerintah Rusia, dan istilah wajib yang digunakan pejabat Rusia untuk menggambarkan tuntutan Moskow menimbulkan kekhawatiran bahwa Kremlin mungkin mengharapkan penolakan. Dengan pasukan besar di dekat Ukraina, Moskow kemudian dapat mengutip itu sebagai dalih lain atas aksi militer terhadap negara tetangganya itu,” katanya dalam pernyataan Brookings.
Pifer menambahkan, jika rancangan perjanjian merupakan bagian dari “penawaran awal,” dan Moskow benar-benar mengharapkan diskusi, maka beberapa rancangan ketentuan, termasuk usulan larangan penerjunan rudal nuklir jarak menengah dan mekanisme konsultatif, dapat menjadi landasan dasar perundingan. [rd/jm]