Pendanaan untuk prakarsa global yang bertujuan untuk menciptakan pertanian yang lebih ramah lingkungan dan tahan iklim telah mencapai $13 miliar (sekitar Rp191 triliun), ungkap Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab, yang secara bersama-sama memimpin prakarsa itu, hari Senin (8/5).
Dengan jumlah itu, Misi Inovasi Pertanian (AIM) untuk Iklim, yang dimulai pada 2021, kini telah melampaui target $10 miliar yang diharapkan terkumpul sampai penyelenggaraan konferensi iklim COP28 pada November dan Desember mendatang di UEA.
“Perubahan iklim terus berdampak pada praktik pertanian yang sudah lama dijalankan di setiap negara dan komitmen global yang kuat sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim ke depan,” kata Menteri Pertanian AS Tom Vilsack dalam sebuah pernyataan.
Vilsack dan menteri perubahan iklim dan lingkungan UEA, Mariam bint Mohammed Almheiri, menjadi tuan rumah KTT Misi Inovasi Pertanian untuk Iklim di Washington pekan ini.
“Saya rasa sisi positifnya yaitu dari $13 miliar dana yang terkumpul, $10 miliarnya berasal dari pemerintah dan $3 miliar lainnya berasal dari sektor swasta,” kata Almheiri.
Sekitar seperempat hingga sepertiga emisi gas rumah kaca dunia berasal dari industri pangan, dari faktor-faktor seperti penggundulan hutan demi membuka lahan pertanian, emisi metana dari hewan ternak, ongkos energi terkait rantai pasokan, serta energi yang digunakan oleh konsumen untuk menyimpan dan memasak makanan.
Pada saat bersamaan, perubahan iklim juga mengancam ketahanan pangan di seluruh dunia, seiring meningkatnya frekuensi gelombang panas, kekeringan dan peristiwa cuaca ekstrem.
Beberapa proyek yang sedang berlangsung saat ini untuk mengatasinya, di antaranya pengembangan pupuk yang lebih ramah lingkungan, yang menggunakan lebih sedikit bahan bakar fosil dalam proses pembuatannya, serta kembali pada praktik-praktik “pertanian regenerasi” yang memulihkan keanekaragaman hayati tanah, sehingga meningkatkan hasil dan penyerapan karbon sambil mengurangi kebutuhan pemupukan.
Sementara itu, alat-alat yang dilengkapi teknologi kecerdasan buatan tengah dikembangkan untuk dapat mengambil data dari berbagai sumber, termasuk satelit dan sensor tanah, untuk kemudian memperkirakan secara akurat seberapa kaya karbonkah suatu lahan. Hal itu diharapkan dapat membantu para petani meningkatkan kesehatan tanah dan memungkinkan terciptanya pasar karbon.
Selain itu, agenda lainnya termasuk upaya untuk mengadaptasi teknik pertanian yang lebih efisien dan beralih ke tanaman yang membutuhkan lebih sedikit air di sejumlah daerah yang sudah terkena dampak perubahan iklim.
“Petani kulit hitam, petani adat, petani berpenghasilan rendah, mereka membutuhkan akses ke inovasi ini juga,” kata mantan wakil presiden AS Al Gore yang juga aktivis iklim pada sesi pembukaan KTT itu.
Utusan khusus AS dalam bidang iklim, John Kerry, serta para menteri dari Inggris, Komisi Eropa, Australia, Kenya, Meksiko dan Panama rencananya juga akan menyampaikan pidato dalam pertemuan tersebut. [rd/jm]
Forum