Tautan-tautan Akses

Empat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Ubah Lansekap Politik Indonesia


Tim mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dari kiri Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, Enika Maya Octavia, dan Faisal Nasirul Haq. (foto: Humas UIN Suka)
Tim mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dari kiri Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, Enika Maya Octavia, dan Faisal Nasirul Haq. (foto: Humas UIN Suka)

Empat mahasiswa dari Yogyakarta mengubah laksekap politik Indonesia ke depan dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Pemilu lima tahun ke depan berpotensi diikuti lebih banyak calon pasangan, yang sekaligus memberi rakyat lebih banyak pilihan.

Secara mengejutkan, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Ambang batas yang terlalu tinggi membuat beberapa kali pemilihan presiden hanya diikuti segelintir calon, dan berpusat pada nama-nama yang sama. Dengan menghapus ambang batas, MK memberi kesempatan kepada partai politik untuk leluasa mengajukan calon, dan pada gilirannya pemilih menerima tawaran yang beragam.

Rizki Maulana Syafei, mahasiswa program studi Hukum Tata Negara, UIN Sunan Kalijaga yang menjadi salah satu pihak pengaju, menyebut upaya mereka sebagai Langkah untuk membuka kran bagi rakyat terkait preferensi politiknya.

“Karena selama ini, kita sebagai rakyat atau pemilih hanya dijadikan sebagai obyek yang pasif, bukan subyek yang aktif. Padahal kalau kita berada di sebuah negara demokrasi, tentunya rakyat ataupun pemilih itu harus ikut andil dalam berbangsa dan bernegara, sebagai subyek yang aktif,” kata Rizky kepada VOA, Senin petang.

Keberhasilan empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini termasuk luar biasa. Sebelumnya, MK telah menerima 32 pengajuan perkara terkait ambang batas pencalonan presiden. Pihak yang mengajukan juga bukan nama-nama asing dalam ranah hukum atau politik di Indonesia. Mereka yang pernah berperkara di MK terkait ketentuan ini antara lain Yusril Ihza Mahendra, yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Dia mengajukan perkara sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang.

Ketua DPD La Nyalla Mattalitti pada 2022 juga pernah melakukan Langkah serupa. Pada 2018, beberapa tokoh seperti Effendi Gazali, Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Batubara, Hadar Nafis Gumay. Wodjojanto, hingga Rocky Gerung, dan Titi Anggraini juga pernah mengajukan gugatan serupa, tetapi juga gagal. Partai politik dan berbagai kelompok basyarakat silih berganti mengajukan permohonan serupa, tetapi selalu kandas.

Dalam sidang putusan pada Kamis, 2 Januari 2025, MK kali ini mengambil keputusan yang berbeda. Ketika membacakan putusan, Hakim Saldi Isra menyebut, ada berbagai alasan kuat sehingga MK mengalami pergeseran sikap dalam putusan, terkait perkara yang sama, di masa lalu dan pada gugatan terakhir ini.

Hakim MK Saldi Isra dan sejumlah hakim lain yang turut menyidangkan perkara ini. (foto dok. Humas MK)
Hakim MK Saldi Isra dan sejumlah hakim lain yang turut menyidangkan perkara ini. (foto dok. Humas MK)

MK memutuskan, ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold, yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

MK juga menegaskan, ambang batas pencalonan presiden tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo.

Ketua MK Suhartoyo dalam sidang perkara terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden di MK, Kamis (2/1) (foto: Humas MK).
Ketua MK Suhartoyo dalam sidang perkara terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden di MK, Kamis (2/1) (foto: Humas MK).

Pilpres Lebih Inklusif

Salah satu alasan empat mahasiswa mengajukan perkara ke MK adalah keinginan mereka untuk proses politik, khususnya pemilihan presiden, yang lebih inklusif. Riski menilai, selama ini latar belakang calon presiden dan calon wakil presiden selalu seragam, karena kesempatan mengajukan calon yang sangat terbatas oleh partai politik.

Situasi itu membawa risiko besar. Meski memilih persoalan di sektor lingkungan yang besar, isu ini tidak pernah mengemuka dalam pilpres. Begitu juga, kata Riski, isu-isu terkait hak perempuan yang sangat minim dibicarakan. Secara demografis, calon yang muncul juga dari kelompok yang relatif sama dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya.

“Kan kita berada di negara yang majemuk, heterogen, dari berbagai suku, ras, agama. Tentunya ketika presidential threshold itu dihapus nanti bakal banyak calon presiden dan wakil presiden itu dari berbagai latar belakang agama, latar belakang ras,” ujar dia.

Riski memberi contoh, selama ini calon presiden atau wakil presiden hampir selalu datang dari pulau Jawa. “Nah mungkin ketika presidential threshold ini dihapus, nanti calon presiden ataupun wakilnya tidak lagi hanya dari jawa. Mungkin bisa dari Sumatera, Kalimantan,” ujarnya.

Bersama Riski, ada Enika Maya Oktavia, Tsalis Khoirul Fatna, dan Faisal Nasirul Haq yang berhasil memenangkan gugatan tersebut. Keempat mahasiswa itu berasal dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK). Mereka mengajukan gugatan tanpa menggunakan kuasa hukum, karena keterbatasan dana. Keempatnya juga mengajukan permohonan untuk sidang secara daring di MK, dan hanya sekali sidang luring, yang kemudian diterima, setelah 7 kali persidangan.

Tim mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berhasil menggeser keputusan MK terkait presidential threshold, bersama dosen pembimbing dan dekan mereka. (foto: Humas UIN Suka)
Tim mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berhasil menggeser keputusan MK terkait presidential threshold, bersama dosen pembimbing dan dekan mereka. (foto: Humas UIN Suka)

Enika Maya Oktavia, rekan Rizki dalam gugatan ini, menyebut, hilangnya ambang batas memungkinkan munculnya tokoh-tokoh yang tidak dibayangkan sebelumnya akan tampil dalam kontentasi capres dan cawapers. Seperti juga Riski, dia meyakini, kontestasi lima tahun ke depan akan lebih inklusif, karena kesempatan yang terbuka luas.

“Tokoh yang maju akan lebih variatif dan inklusif. Bahkan dalam bayangan saya, nanti ada tokoh yang dari Timur yang bisa maju, atau mungkin ada tokoh non muslim, atau lebih luar biasanya lagi, ada tokoh perempuan yang bisa maju jadi capres atau cawapres,” kata Enika.

Dia berharap, inklusifitas ini akan benar-benar mencerminkan Indonesia yang beragam. Karena itu, capres dan cawapres yang maju juga harus beragam, dan tidak hanya berfokus pada kelompok-kelompok tertentu saja.

“Itu tecermin dalam permohonan kami. Kami juga menyatakan bahwa tiga tokoh di 2024 itu merepresentasikan kelompok-kelompok apa saja, dan kelompok apa saja yang tidak terwakili,” jelas Enika.

Kualitas Pilpres Terjaga

Riski menyebut, tantangan selanjutnya adalah menjaga kualitas pilpres, ketika pintu pendaftaran calon sudah terbuka luas.

“Tentunya pada putusan MK nomor 62, MK sudah memberikan 5 rambu-rambu terkait nanti ke depanya sistem pemilu ini seperti apa,” kata dia.

Lima rambu yang disebut Riski termuat dalam apa yang disebut sebagai rekayasa konstitusional.

Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya. Dan, Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

Empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga dalam salah satu sidang daring terkait presidential threshold di MK. (foto: Humas MK)
Empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga dalam salah satu sidang daring terkait presidential threshold di MK. (foto: Humas MK)

“Tentunya, kalau nanti putusan ini diindahkan oleh pembentuk undang-undang, secara komprehensif, secara menyeluruh dan secara konsisten, sistem pemilu akan lebih baik, lebih inklusif,” kata Riski.

Ambang batas pencalonan presiden dinilai Riski membuat partai politik berfokus pada hal-hal yang bersifat administratif dalam mengajukan calon. Partai politik juga tertekan untuk mengejar ambang batas minimal suaranya sendiri.

“Ketika dihapus, tentunya parpol akan berfokus terhadap fungsi partai politik itu sendiri, yaitu kaderisasi, yang mana nantinya dari kaderisasi itu, akan membuat kader-kader parpol lebih mempunyai kapabilitas atau kemampuan yang lebih bagus lagi,” tambahnya.

Dia juga meminta parpol untuk memanfaatkan terobosan ini sebaik mungkin.

“Nanti parpol lebih ke hal-hal yang substantif, seperti kemampuan yang dimiliki oleh calon presiden. Dan kami berharap nantinya lebih beragam, dan tentunya punya kapabilitas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Jadi nanti pemilihpun lebih banyak pilihan dan melihat mana yang lebih punya kapabilitas, mana yang lebih kompeten menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan,” papar Riski lagi.

Sementara dari sisi pemilih, Riski berharap ada perubahan signifikan dengan memanfaatkan beragamnya calon presiden yang muncul.

“Harapannya nanti, bagi pemilihpun nanti setelah dikasih ruang ini, semoga menjadi obat yang paling mujarab untuk sistem pemilu yang ada di Indonesia. Nanti pemilih pun harus pandai-pandai memilah dan memilih calon presiden dan cawapresnya, dengan preferensi hak pilih yang dijamin kebebasan memilihnya,” ujarnya.

Enika juga menekankan, partai politik harus menyikapi ini secara positif. Koalisi untuk mengajukan capren dan cawapres selama ini memang cenderung pragmatis atau demi kepentingan sesaat. Ke depan, kondisi itu tidak boleh terjadi lagi.

“Tidak hanya terfokus pada tokoh A, tokoh B, atau tokoh C, apalagi dengan koalisi yang pragmatis. Kami menyadari dan memahami bahwa yang namanya politik itu pragmatis. Tetapi di sini yang kami tekankan bahwa pragmatisnya itu jangan terlalu membabi buta,” kata Enika.

Setelah tujuh persidangan MK mengambil keputusan berbeda dari 32 gugatan serupa yang sebelumnya pernah diajukan. (foto: dok Humas MK)
Setelah tujuh persidangan MK mengambil keputusan berbeda dari 32 gugatan serupa yang sebelumnya pernah diajukan. (foto: dok Humas MK)

Pemerintah Hormati Putusan MK

Dalam pernyataan tertulis dari Jakarta, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menyebut keputusan MK ini final.

“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding),” tulis Yusril, Jumat (3/1).

Yusril juga menegaskan, semua pihak, termasuk pemerintah terikat dengan Putusan MK tersebut. Pemerintah memahami, permohonan uji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru kali ini dikabulkan. Pemerintah, lanjut Yusirl, melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu.

“Namun apapun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis. MK berwenang menguji norma undang-undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tambah Yusril.

Pemerintah akan membahas implikasi putusan MK ini terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres tahun 2029. Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, menurut Yusril, Pemerintah akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR, dan seluruh pihak terkait seperti KPU, Bawaslu, akademisi, pegiat Pemilu dan masyarakat.

Empat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Ubah Lansekap Politik Indonesia
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:38 0:00

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan juga menyampaikan, apresiasi tinggi atas perjuangan akademik keempat mahasiswanya itu. Dia menilai, keempatnya berhasil menerapkan kompetensi keilmuan dan keterampilan hukum yang diperoleh di kampus untuk beracara di MK, bahkan memenangkan gugatan mereka, demi memperjuangkan terwujudnya demokrasi yang lebih baik dan inklusif di Indonesia.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Prof Ali Sodiqin juga memberikan apresiasi tinggi bagi keempat mahasiswa tersebut. Langkah mereka mencerminkan kepedulian besar terhadap perkembangan demokrasi Indonesia, serta menunjukkan bahwa generasi muda saat ini memiliki kemampuan untuk menjaga marwah demokrasi di Indonesia.

“Dalam hal ini, mereka tidak didampingi oleh kuasa hukum, karena mereka memiliki pengetahuan memadai melalui tempaan selama perkuliahan ataupun ruang-ruang diskusi yang intensif, sehingga mereka cukup meyakinkan dalam membangun argumen selama persidangan,” tandasnya. [ns/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG