Departemen Luar Negeri AS mengatakan hari Rabu (13/4) bahwa kerja paksa di atas kapal-kapal penangkap ikan Thailand terus berlangsung dalam setahun terakhir, meski ada reformasi hukum dan penangkapan menyusul investigasi kantor berita Associated Press ke dalam industri makanan laut negara itu.
Penilaian tersebut ada dalam kajian global tahunan Deplu AS mengenai praktik-praktik hak asasi manusia, yang dirilis di Washington oleh Menteri Luar Negeri John Kerry. Laporan tersebut mencakup tahun kalender 2015.
Laporan itu menunjukkan bahwa pemerintah Thailand telah menegaskan kembali kebijakan "toleransi nol" untuk perdagangan manusia dan memperbarui banyak aturan yang memperkuat kekuatan perundangan dan meningkatkan hukuman bagi para pelanggar.
Sebuah aturan anti-perdagangan manusia yang telah diamandemen memberikan perlindungan bagi 'whistleblowers' dan memberikan otoritas kekuatan untuk menghentikan operasi secara sementara atau menangguhkan izin usaha-usaha dan kendaraan yang terlibat dalam perdagangan manusia.
Namun laporan itu mengatakan, "kurangnya kejelasan dalam undang-undang dan praktik mengenai apa itu kerja paksa dan ikatan utang mengecilkan upaya pemerintah untuk mengidentifikasi korban-korban perdagangan manusia dan menghukum kerja paksa."
Laporan-laporan mengenai lingkungan pekerjaan yang kasar, termasuk kerja paksa, terus berlanjut di banyak sektor, termasuk kapal-kapal pukat Thailand dan industri-industri padat karya seperti fasilitas-fasilitas pemroses makanan dan makanan laut, menurut Deplu AS.
Sampai 90 persen pekerja dalam industri pemroses makanan laut adalah pekerja migran, menurut laporan tersebut.
Lembaga itu mengutip rangkaian investigasi AP mengenai perbudakan dalam industri makanan laut yang mengakibatkan penyelamatan 2.000 pria, selusin penahanan, penyitaan barang bernilai jutaan dolar, penutupan beberapa tempat pengupasan udang, dan proposal-proposal undang-undang nasional yang baru.
Para pria tersebut, sebagian besar dari Myanmar, Kamboja dan Laos, direkrut di Thailand dan dibawa ke Indonesia menggunakan dokumen perjalanan palsu dimana mereka menghadapi kekerasan dalam pekerjaan yang brutal. Beberapa bahkan menjadi budak selama bertahun-tahun atau berdekade lamanya.
Departemen Luar Negeri AS akan mengeluarkan laporan terpisah yang fokus pada perdagangan manusia dan buruh eksploitatif dan membuat urutan pemerintah berdasarkan kinerja dalam memberantas kekerasan dan penyalahgunaan tersebut. Thailand, bersama Iran, Suriah dan Zimbabwe, tahun lalu termasuk dalam 23 negara yang menerima peringkat terendah dalam penilaian AS. [hd]