Amerika mencapai rekor kecepatan pembunuhan massal pada 2023.Hingga akhir April ini, duka dan kengerian akibat insiden penembakan terjadi setiap minggu.
Tujuh belas pembunuhan massal dalam 111 hari ini telah merenggut 88 nyawa. Dalam setiap insiden itu, pelaku menggunakan senjata api.
Tragedi serupa dalam kurun waktu yang sama seperti tahun 2023 ini hanya pernah terjadi pada tahun 2009.
Tiga siswa dan tiga guru sekolah dasar di Nashville, Tennessee, ditembak mati pada 27 Maret lalu, ketika seorang pelaku melepaskan sedikitnya 152 butir peluru. Tujuh pekerja di Half Moon Bay, California Utara tewas ditembak pada 24 Januari karena dendam di tempat kerja. Tiga hari sebelum insiden itu, 11 orang meregang nyawa di lantai dansa saat perayaan Tahun Baru Imlek di Los Angeles, pada 21 Januari.
Sementara seminggu terakhir ini, empat remaja tewas dan 32 lainnya luka-luka ketika peluru menghujani perayaan “Sweet 16” di Dadeville, Alabama pada 15 April. Tiga hari kemudian seorang laki-laki yang baru dibebaskan dari penjara menembak mati empat orang, termasuk orang tuanya, di Bowdoin, Maine, sebelum melepaskan tembakan ke arah para pengendara mobil yang melewati jalan raya antar negara bagian yang sibuk pada 18 April.
“Tidak perlu merasa terkejut,” ujar Fred Guttenberg yang putrinya, Jaime – yang berusia 14 tahun – menjadi salah satu dari 17 siswa yang tewas ditembak di SMA Marjory Stoneman Douglas, Parkland, Florida, pada tahun 2018. “Saya menziarahi pemakaman putri saya. Kemarahan saja tidak cukup untuk menggambarkan perasaan saya,” ujarnya geram.
Database AP/USA Today Tunjukkan Fakta Mengerikan
Menurut database yang dikelola kantor berita Associated Press dan USA Today, bekerja sama dengan Northeastern University, korban penembakan di SMA Marjory Stoneman Douglas, Parkland, Florida, termasuk di antara 2.842 orang yang tewas dalam pembunuhan massal di Amerika sejak tahun 2006. Yang disebut sebagai pembunuhan massal adalah yang mengakibatkan sedikitnya empat kematian, tidak termasuk pelaku. Standar ini sama dengan yang dipergunakan Biro Penyidik Federal FBI.
Pertumpahan darah ini hanya mewakili segelintir aksi kekerasan yang menelan korban jiwa di Amerika setiap tahun. Meskipun demikian pembunuhan massal tahun 2023 ini terjadi dalam frekuensi yang sangat mengejutkan. Menurut analisa data Associated Press/USA Today, ada satu pembunuhan massal setiap 6,53 hari.
Angka pembunuhan massal pada 2023 ini bahkan lebih menonjol jika dibandingkan dengan penghitungan total setahun penuh sejak data dikumpulkan, di mana tercatat ada 30 atau lebih sedikit pembunuhan massal dalam lebih dari setengah tahun ini; atau berarti 17 insiden pembunuhan massal dalam sepertiga tahun ini saja.
Motif Pembunuhan Massal Makin Beragam, Upaya Pencegahan Jalan di Tempat
Dari satu wilayah ke wilayah lain, aksi kekerasan senjata api ini dipicu oleh berbagai motif. Mulai dari pembunuhan dengan tujuan bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pembalasan geng, penembakan di sekolah dan penembakan berlatar balas dendam di tempat kerja; semuanya merenggut nyawa empat orang atau lebih.
Namun, aksi kekerasan terus terjadi dan nyaris tidak ada perubahan yang dapat dilakukan untuk mencegah hal itu. Associated Press melaporkan kemungkinan Kongres memberlakukan kembali larangan kepemilikan senapan semi-otomatis semakin jauh, sementara Mahkamah Agung tahun lalu justru menetapkan standar baru untuk meninjau undang-undang yang mengatur kepemilikan senjata. Hal-hal ini mempertanyakan keseriusan untuk membatasi senjata api di seluruh Amerika.
Laju penembakan massal sepanjang tahun ini tidak serta merta menjadi prakiraan rekor tahunan baru. Pada 2009, pertumpaharan darah melambat dan tahun itu berakhir dengan 32 pembunuhan massal dan 172 kematian. Menurut analisa data sejak 2006, angka-angka itu hanya sedikit melampaui rata-rata 31,1 pembunuhan massal dan 162 korban meninggal per tahun.
Pembunuhan Massal 2017 Capai Korban Terbesar dalam Sejarah AS
Rekor mengerikan justru terjadi dalam dekade terakhir ini. Data menunjukkan tingginya angka pembunuhan massal pada 2019, yaitu 45 insiden. Sementara jumlah orang yang tewas dalam tragedi semacam itu mencapai rekor tertinggi pada 2017, yaitu 230 orang. Pada tahun itu juga terjadi insiden penembakan massal yang paling banyak menelan korban jiwa dalam sejarah Amerika, yaitu ketika seorang laki-laki berusia 64 tahun memuntahkan lebih dari 1.000 peluru dari kamar hotelnya di lantai 32 Mandalay Bay Hotel ke arah kerumunan penonton konser di Las Vegas Strip, menewaskan 60 orang dan melukai lebih dari 867 orang.
Direktur Eksekutif Konsorsium Riset Kekerasan Senjata Regional di Institute Rockefeller, Jaclyn Schildkraut, mengatakan “Inilah faktanya. Jika seseorang berniat melakukan kekerasan massal, mereka akan melakukannya… dan di sini peran kita sebagai masyarakat untuk mencoba dan membuat rintangan dan penghalang untuk mempersulit pelaku.”
Sedikit Kemajuan di Tingkat Pemerintah Negara Bagian
Meskipun demikian mulai ada sedikit indikasi perbaikan di tingkat negara bagian dan federal, dengan beberapa pengecualian, yang menunjukkan banyak perubahan kebijakan besar akan segera terjadi.
Beberapa negara bagian berupaya memaksakan pengendalian senjata api yang lebih ketat. Gubernur Michigan Gretchen Whitmer pada pekan lalu menandatangani undang-undang baru yang mengamanatkan pemeriksaan latar belakang kriminal untuk membeli senapan dan senjata api. Sebelumnya negara bagian itu hanya mewajibkan pemeriksaan semacam itu bagi mereka yang ingin membeli pistol.
Badan legislatif negara bagian Washington pada 19 April menyetujui larangan kepemilikan puluhan jenis senapan semi-otomatis, dan dokumen tersebut kini sedang dikirim ke kantor gubernur.
Negara bagian lain juga sedang mengalami tekanan baru dari publik. Di Tennessee, yang konservatif, demonstran mengelilingi kantor parlemen untuk menuntut lebih banyak peraturan soal kepemilikan senjata api setelah penembakan di sebuah sekolah swasta di Nashville pada akhir Maret lalu.
Pemerintah Biden Berupaya Perkuat Pemeriksaan Latar Belakang
Sementara di tingkat pemerintah federal, Presiden Joe Biden pada tahun lalu menandatangani undang-undang kekerasan senjata api, yang memperkuat pemeriksaan latar belakang untuk pembeli senjata api berusia muda, mengkaji lebih intensif permohonan memiliki senjata api oleh pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan membantu negara menggunakan “red flag laws” yang memungkinkan polisi meminta pengadilan untuk menyita senjata api dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda berpotensi melakukan aksi kekerasan.
Terlepas dari menggelegarnya berita utama soal berbagai insiden pembunuhan massal itu, secara statistik jenis pembunuhan ini hanya dilakukan oleh segelintir orang. Di negara berpenduduk 335 juta jiwa ini belum ada cara untuk memprediksi apakah laju pembunuhan massal tahun ini akan berlanjut.
Pembunuhan massal dapat terjadi berturut-turut, sebagaimana yang terjadi pada bulan Januari lalu ketika penembakan di California Utara terjadi hanya tiga hari setelah penembakan di Los Angeles. Namun, bulan-bulan berikutnya berlalu tanpa pertumpahan darah.
Kriminolog di Universitas Northeastern James Alan Fox yang mengawasi database AP/USA Today mengatakan “kita sedianya tidak berharap bahwa satu pembunuhan massal setiap kurang dari tujuh hari ini akan berlanjut. Mudah-mudahan tidak.”
Meskipun demikian para pakar dan aktivis mengutuk proliferasi senjata api di Amerika beberapa tahun terakhir ini, termasuk rekor penjualan senjata api pada tahun pertama pandemi COVID-19.
Presiden Everytown for Gun Safety, John Feinblatt, mengatakan “Kita harus tahu bahwa ini bukan cara untuk hidup. Kita tidak harus hidup seperti ini. Kita tidak bisa hidup di negara di mana ada agenda senjata di mana pun, dan kapan pun.”
NRA Belum Berkomentar
The National Riffle Association belum menanggapi permohonan komentar dari Associated Press.
Jaime Guttenberg, korban penembakan di SMA Marjory Stoneman Douglas, Parkland, Florida pada 2018, sedianya saat ini berusia 19 tahun. Ayahnya, Fred Guttenberg, kini menghabiskan hari-harinya sebagai aktivis pengendalian senjata api.
“Amerika seharusnya tidak lagi terkejut dengan kondisi kita saat ini,” ujar Fred seraya menambahkan “itu semua ada dalam angka. Angka tidak berbohong. Kita harus segera melakukan sesuatu untuk memperbaiki hal ini.” [em/jm]
Forum