Amerika Serikat melihat pembunuhan para jurnalis di Filipina sebagai "sangat mengganggu," menurut duta besar untuk negara tersebut, menambah keprihatinan yang meningkat dari kelompok-kelompok hak asasi manusia.
"Upaya-upaya untuk membungkam jurnalis sangat mengganggu dan tidak dapat diterima," ujar Philip Goldberg, Senin (24/2).
"Demokrasi memerlukan pers yang bebas," tegasnya, sambil menekankan hubungan dekat antara Amerika Serikat dan mantan koloninya, Filipina.
Ia tidak menyebutkan langkah-langkah apa yang harus diambil pemerintah terkait situasi tersebut.
Meski Filipina memiliki demokrasi gaya Amerika yang bebas dengan pers yang vokal, para pengkritik mengatakan pemerintah kurang berusaha menyelidiki dan mengekang pembunuhan jurnalis.
Komite Perlindungan Jurnalis yang berbasis di New York mencatat ada sembilan jurnalis yang dibunuh di Filipina tahun lalu. Tiga diantaranya diketahui dibunuh sehubungan dengan pekerjaan mereka.
Organisasi tersebut menyebutkan bahwa 76 wartawan telah dibunuh di negara itu sejak 1992.
Dalam insiden terburuk, 32 jurnalis ada diantara 58 orang yang dibunuh di pulau Mindanao di bagian selatan Filipina pada 2009, oleh sebuah klan politik yang berkuasa dan mencoba menghentikan seorang rival politik dalam pemilihan umum.
Meski ada kemarahan global atas insiden tersebut, pengadilan para anggota klan tersebut dan para sekutunya masih berlangsung dan banyak tersangka yang masih bebas.
Presiden Benigno Aquino telah berulang kali mengatakan ia bertekad menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan tersebut, namun kelompok-kelompok pemantau media lokal mengatakan otak di balik pembunuhan-pembunuhan tersebut seringkali tidak dihukum.
Kejahatan tersebut seringkali dipersalahkan atas "budaya impunitas" negara tersebut, di mana orang-orang yang berkuasa merasa mereka dapat terlepas dari pidana termasuk pembunuhan. (AFP)
"Upaya-upaya untuk membungkam jurnalis sangat mengganggu dan tidak dapat diterima," ujar Philip Goldberg, Senin (24/2).
"Demokrasi memerlukan pers yang bebas," tegasnya, sambil menekankan hubungan dekat antara Amerika Serikat dan mantan koloninya, Filipina.
Ia tidak menyebutkan langkah-langkah apa yang harus diambil pemerintah terkait situasi tersebut.
Meski Filipina memiliki demokrasi gaya Amerika yang bebas dengan pers yang vokal, para pengkritik mengatakan pemerintah kurang berusaha menyelidiki dan mengekang pembunuhan jurnalis.
Komite Perlindungan Jurnalis yang berbasis di New York mencatat ada sembilan jurnalis yang dibunuh di Filipina tahun lalu. Tiga diantaranya diketahui dibunuh sehubungan dengan pekerjaan mereka.
Organisasi tersebut menyebutkan bahwa 76 wartawan telah dibunuh di negara itu sejak 1992.
Dalam insiden terburuk, 32 jurnalis ada diantara 58 orang yang dibunuh di pulau Mindanao di bagian selatan Filipina pada 2009, oleh sebuah klan politik yang berkuasa dan mencoba menghentikan seorang rival politik dalam pemilihan umum.
Meski ada kemarahan global atas insiden tersebut, pengadilan para anggota klan tersebut dan para sekutunya masih berlangsung dan banyak tersangka yang masih bebas.
Presiden Benigno Aquino telah berulang kali mengatakan ia bertekad menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan tersebut, namun kelompok-kelompok pemantau media lokal mengatakan otak di balik pembunuhan-pembunuhan tersebut seringkali tidak dihukum.
Kejahatan tersebut seringkali dipersalahkan atas "budaya impunitas" negara tersebut, di mana orang-orang yang berkuasa merasa mereka dapat terlepas dari pidana termasuk pembunuhan. (AFP)