Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis, yang dikenal sebagai START yang Baru, mulai diberlakukan pada 5 Februari 2011, setelah ditandatangani presiden Amerika ketika itu, Barack Obama, dan presiden Rusia ketika itu, Dmitry Medvedev, di Praha pada 8 April 2010.
Tanggal 5 Februari ini juga menandai tenggat bagi kedua pihak untuk mematuhi batasan-batasan dalam perjanjian itu mengenai senjata strategis, termasuk hulu ledak nuklir dan rudal-rudal balistik antarbenua yang digelar.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Heather Nauert menyatakan ada kabar baik mengenai hal ini.
“Amerika Serikat telah memenuhi batas-batas pokok dalam perjanjian START yang Baru pada Agustus 2017. Kami perkirakan sekarang ini Rusia juga telah mencapai kemajuan ke arah pemenuhan batas-batas tersebut. Kami tidak punya alasan untuk percaya bahwa pemerintah Rusia tidak akan memenuhi batasan tersebut,” kata Nauert.
Berdasarkan perjanjian bilateral itu, kedua pihak akan bertukar informasi dua kali dalam setahun mengenai jumlah hulu ledak serta wahana peluncurnya, dan akan diizinkan melakukan inspeksi di lapangan untuk memverifikasi kepatuhan pihak lain.
Dalam rilis Minggu (4/2) malam, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan kedua pihak akan bertukar data mengenai arsenal nuklir masing-masing dalam jangka waktu sebulan, sebagaimana yang telah dilakukan dalam tujuh tahun ini sesuai dengan perjanjian tersebut.
Berdasarkan perjanjian itu, Amerika dan Rusia tidak boleh memiliki lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir. Pembatasan lain juga diberlakukan terhadap kepemilikan rudal balistik antarbenua baik yang digelar maupun tidak, pesawat-pesawat pembom besar dan rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam.
Para pakar menyatakan kemampuan mengirim anggota militer aktif ke lapangan untuk melakukan inspeksi tersebut membantu membangun perasaan saling percaya.
“Ini membatasi insentif untuk mencoba berbuat curang, dan ini juga memberi setiap pihak kesempatan untuk saling bertemu dan untuk benar-benar membangun hubungan yang didasarkan pada verifikasi kepatuhan terhadap perjanjian yang disepakati semua pihak,” kata Olga Oliker, dari lembaga kajian Center for Strategic International Studies di Washington DC.
Dalam pidato kenegaraannya baru-baru ini, Presiden Donald Trump membeberkan pendekatannya terhadap senjata nuklir.
“Kita harus memodernisasi dan membangun kembali arsenal nuklir kita, semoga kita tidak pernah menggunakannya, tetapi membuatnya begitu kuat akan mencegah setiap tindakan agresi apapun. Mungkin suatu hari pada masa mendatang akan ada momen magis di mana negara-negara di dunia akan bersama-sama menyingkirkan senjata nuklir mereka. Sayangnya, kita belum sampai ke sana,” kata Presiden Trump.
Para pakar menyatakan meskipun ada hubungan baik antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, kedua pihak berbeda pendapat mengenai sejumlah isu.
“Saya pikir Amerika Serikat dan Rusia berbeda pendapat mengenai banyak hal besar dan memiliki beberapa kepentingan yang sama sekali berbeda. Ini artinya kita semakin perlu berupaya memastikan bahwa perbedaan pendapat ini tidak bertambah besar dan bahwa apabila perbedaan itu memburuk, kita tidakmelakukan tindakan yang merusak dunia,” kata Olga Oliker.
Oliker mengatakan perjanjian START yang Baru sangat penting bagi keamanan global karena Amerika dan Rusia memiliki sekitar 95 persen senjata nuklir dunia. [uh/ab]