BANDAR SRI BEGAWAN —
Negara-negara Asia Tenggara mendesak Indonesia untuk segera meratifikasi perjanjian yang bertujuan mencegah kebakaran di hutan hujan yang secara rutin mengakibatkan kabut asap yang menyesakkan negara-negara tetangga.
Kabut asap tebal dari kebakaran di Sumatra membuat polusi udara mencapai tingkat rekor di Singapura dan Malaysia pada Juni, memaksa warga memakai masker wajah dan menutup sekolah-sekolah.
Krisis ini mendorong dua negara tersebut untuk membahas masalah tersebut dalam pertemuan tahunan menteri-menteri luar negeri Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) di Brunei, Minggu (30/6).
“Kami menekankan pentingnya negara-negara di wilayah ini untuk menegakkan kewajiban-kewajiban internasional dan bekerja sama untuk mengatasi masalah polusi kabut asap antar perbatasan,” ujar para menteri luar negeri dalam pernyataan gabungan resmi.
Mereka “menyerukan para negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi dan mengoperasikan (perjanjian) tersebut untuk melakukannya segera.
Indonesia merupakan satu-satunya anggota yang belum meratifikasi Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Antar-Perbatasan yang dibuat pada 2002.
Perjanjian tersebut bertujuan menghentikan polusi kabut asap di wilayah tersebut yang disebabkan oleh kebakaran hutan yang mewajibkan pihak-pihak untuk mencegah nyala api, mengawasi upaya-upaya pencegahan, bertukar informasi mengenai isu tersebut dan saling membantu.
Perjanjian ini juga mengikat para penandatangan untuk “segera menanggapi” permintaan-permintaan atas informasi dari negara lain yang terimbas asap dan untuk mengambil langkah-langkah untuk memberlakukan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian tersebut.
Pemerintah Indonesia selama ini menyalahkan Dewan Perwakilan Rakyat karena penundaan ratifikasi tersebut. Pemerintah telah meminta persetujuan para legislator untuk meratifikasi perjanjian kabut asap tersebut, namun proposal tersebut ditolak pada 2008.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan perjanjian tersebut telah kembali diajukan untuk proses legislasi saat ini, meskipun tidak ada jadwal yang pasti kapan ratifikasi itu akan dilakukan.
Kelompok lingkungan hidup Greenpeace International mengatakan Indonesia enggan meratifikasi perjanjian tersebut karena hal itu akan mempengaruhi rencana-rencana ekspansi perusahaan-perusahaan kelapa sawit.
Perusahaan-perusahaan kelapa sawit dipersalahkan atas sebagian besar kebakaran-kebakaran di Sumatra karena memakai metode pembersihan lahan yang murah namun ilegal dengan membakar wilayah hutan dan lahan gambut yang luas.
Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam merasa puas dengan kemajuan terkait isu-isu kabut asap dalam pertemuan tersebut.
Pernyataan ASEAN “fokus pada pentingnya memadamkan kebakaran, pengawasan dan pencegahan berulangnya peristiwa yang sama di masa depan,” ujarnya pada wartawan.
“Hal ini memberi kerangka kerja bagi kita semua untuk bergerak maju.”
Namun menurut kepala kampanye hutan Indonesia Greenpeace, Bustar Maital, ASEAN harus memperluas fokusnya untuk mencegah tingkat penebangan hutan yang pesat di Indonesia dan di wilayah tersebut, daripada hanya fokus pada kebakaran hutan.
"Deforestasi merupakan pendorong utama dari kebakaran hutan,” ujarnya. (AFP/Martin Abbugao)
Kabut asap tebal dari kebakaran di Sumatra membuat polusi udara mencapai tingkat rekor di Singapura dan Malaysia pada Juni, memaksa warga memakai masker wajah dan menutup sekolah-sekolah.
Krisis ini mendorong dua negara tersebut untuk membahas masalah tersebut dalam pertemuan tahunan menteri-menteri luar negeri Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) di Brunei, Minggu (30/6).
“Kami menekankan pentingnya negara-negara di wilayah ini untuk menegakkan kewajiban-kewajiban internasional dan bekerja sama untuk mengatasi masalah polusi kabut asap antar perbatasan,” ujar para menteri luar negeri dalam pernyataan gabungan resmi.
Mereka “menyerukan para negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi dan mengoperasikan (perjanjian) tersebut untuk melakukannya segera.
Indonesia merupakan satu-satunya anggota yang belum meratifikasi Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Antar-Perbatasan yang dibuat pada 2002.
Perjanjian tersebut bertujuan menghentikan polusi kabut asap di wilayah tersebut yang disebabkan oleh kebakaran hutan yang mewajibkan pihak-pihak untuk mencegah nyala api, mengawasi upaya-upaya pencegahan, bertukar informasi mengenai isu tersebut dan saling membantu.
Perjanjian ini juga mengikat para penandatangan untuk “segera menanggapi” permintaan-permintaan atas informasi dari negara lain yang terimbas asap dan untuk mengambil langkah-langkah untuk memberlakukan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian tersebut.
Pemerintah Indonesia selama ini menyalahkan Dewan Perwakilan Rakyat karena penundaan ratifikasi tersebut. Pemerintah telah meminta persetujuan para legislator untuk meratifikasi perjanjian kabut asap tersebut, namun proposal tersebut ditolak pada 2008.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan perjanjian tersebut telah kembali diajukan untuk proses legislasi saat ini, meskipun tidak ada jadwal yang pasti kapan ratifikasi itu akan dilakukan.
Kelompok lingkungan hidup Greenpeace International mengatakan Indonesia enggan meratifikasi perjanjian tersebut karena hal itu akan mempengaruhi rencana-rencana ekspansi perusahaan-perusahaan kelapa sawit.
Perusahaan-perusahaan kelapa sawit dipersalahkan atas sebagian besar kebakaran-kebakaran di Sumatra karena memakai metode pembersihan lahan yang murah namun ilegal dengan membakar wilayah hutan dan lahan gambut yang luas.
Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam merasa puas dengan kemajuan terkait isu-isu kabut asap dalam pertemuan tersebut.
Pernyataan ASEAN “fokus pada pentingnya memadamkan kebakaran, pengawasan dan pencegahan berulangnya peristiwa yang sama di masa depan,” ujarnya pada wartawan.
“Hal ini memberi kerangka kerja bagi kita semua untuk bergerak maju.”
Namun menurut kepala kampanye hutan Indonesia Greenpeace, Bustar Maital, ASEAN harus memperluas fokusnya untuk mencegah tingkat penebangan hutan yang pesat di Indonesia dan di wilayah tersebut, daripada hanya fokus pada kebakaran hutan.
"Deforestasi merupakan pendorong utama dari kebakaran hutan,” ujarnya. (AFP/Martin Abbugao)