Bulan Februari, kandidat presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, ditanya bagaimana ia akan menghadapi peningkatan ancaman nuklir dari Korea Utara. Jawabannya? Membunuh pemimpin negara itu, Kim Jong-un.
"Saya akan suruh China menghilangkan pria itu dalam satu bentuk atau yang lainnya dengan cepat," ujar Trump kepada stasiun televisi CBS. Saat didesak apakah yang ia maksud adalah pembunuhan, Trump menjawab, "Anda tahu, saya pernah mendengar hal-hal yang lebih buruk."
Tiga bulan kemudian, Trump memberikan jawaban baru, mengatakan bahwa ia akan mengadakan negosiasi langsung dengan pemimpin muda Korea Utara itu. Kemudian ia menambahkan, ia akan mengundang Kim ke AS untuk berbicara. "Saya akan berbicara dengan siapa saja," katanya.
Dalam waktu empat bulan, strategi Trump untuk Korea Utara telah beralih dari kemungkinan pembunuhan salah satu musuh utama AS menjadi undangan kunjungan.
Menjelang kunjungan Presiden Barack Obama ke Asia minggu ini, yang kemungkinan kunjungan resmi terakhirnya di wilayah ini, banyak yang bertanya-tanya: Seperti apa pendekatan AS untuk Asia di masa depan?
Sementara Trump kelihatannya menawarkan pergolakan radikal, pendekatan pesaingnya, calon Partai Demokrat Hillary Clinton, lebih tradisional. Selama menjadi menteri luar negeri, Clinton memperkuat alians tradisional AS dan memimpin keseimbangan baru ekonomi dan militer Amerika menuju Asia, yang sekarang ini memasuki tahun ke enam.
Namun meskipun pandangan Clinton ke Asia kontras dengan Trump, ada alasan-alasan untuk meyakini bahwa pendekatannya terhadap Asia akan berbeda dari Obama dalam beberapa hal. Yang paling nyata adalah perbedaan mengenai perjanjian perdagangan bebas Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang kali ini ditentangnya, serta kecenderungannya untuk lebih kritis kepada China.
Trump Tidak Dapat Ditebak
Pandangan kebijakan luar negeri Trump secara umum mencakup kombinasi yang tidak dapat ditebak dari pengisolasian dan agresi. Seperti yang diindikasikan dari komentarnya mengenai Korea Utara, pernyataannya mengenai Asia mencerminkan ia tidak konsisten.
Ia secara rutin meremehkan kepentingan strategis aliansi-aliansi AS di Asia, mengatakan bahwa AS "tidak mendapat imbalan" dari penempatan pasukan di sana, sebuah pernyataan yang diolok-olok secara luas oleh para asli kebijakan luar negeri.
Trump terkadang memperlihatkan rasa senang terhadap kemungkinan mundurnya AS dari Asia. Berkomentar bulan April mengenai kemungkinan perang antara Jepang dan Korea Utara, Trump berujar: "Semoga berhasil. Selamat menikmati."
Seperti Clinton, Trump menentang TPP dan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya yang menurutnya akan mengalihkan lapangan kerja ke luar negeri. Tapi Trump, yang memiliki produk-produk pakaian dan kebanyakan dibuat di China, telah mengkritik TPP lebih pedas, dengan mengatakan perjanjian itu "memperkosa" pekerja AS.
Bukannya berkompetisi dengan China lewat perjanjian perdagangan bebas, seperti strategi AS selama ini, Trump punya resep sendiri untuk bersaing dengan raksasa Asia itu: memberlakukan tarif 45 persen atas semua impor China ke AS dan menyebut Beijing manipulator mata uang. [hd]