Dalam perjalanan ke Bulan, awak Apollo 11 harus memutar pesawat ruang angkasa mereka terus-menerus supaya satu sisi pesawat tidak "terbakar" matahari, sementara sisi yang lain membeku - yang berarti mereka tidak dapat melihat tujuan sampai mereka hampir tiba di Bulan.
Tetapi begitu menakjubkannya dunia baru ini, Bulan berwarna pucat dibandingkan dengan apa yang mereka lihat di sisi lain: marmer biru (Bumi) yang tampak "rapuh" itu berhadapan dengan alam semesta yang hitam pekat, sebuah gambar yang telah "menghantui" astronot Michael Collins sejak saat itu.
"Ketika kami meluncur dan melihat bulan, itu adalah bola yang luar biasa," kata pria berusia 88 tahun itu kepada hadirin di Universitas George Washington, Kamis malam, menjelang peringatan 50 tahun pendaratan pertama di bulan tanggal 20 Juli.
"Matahari ada di belakangnya, jadi bulan diterangi oleh lingkaran emas yang membuat penampilan aneh dari lubang kawah, kontras antara yang lebih putih daripada yang putih dan yang lebih gelap daripada yang gelap."
Tetapi "begitu mengesankan, dan sejauh yang saya akan ingat, itu tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan jendela lain di luar sana," lanjutnya.
"Di luar sana ada bentuk seperti kacang polong kecil seukuran ujung jari sepanjang lengan: berwarna biru, putih, sangat mengkilap. Itulah laut yang biru, awan yang putih, dan benua yang bergaris-garis, kelihatan kecil dan cantik."
Sementara astronot AS Neil Armstrong dan Buzz Aldrin menjelajah permukaan bulan, mantan pilot pesawat tempur, Collins tetap berada di orbit bulan di mana ia berhubungan dengan stasiun pengendali di Bumi, untuk memberi mereka informasi terbaru mengenai posisinya. (ps/pp)