Keputusan untuk memajukan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) ke rapat paripurna DPR itu diputuskan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam sidang hari Rabu (6/4).
"Apakah Rancangan Undang-undang tentag Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini bisa kita setujui untuk diteruskan dalam sidang paripurna untuk pembicaraan tingkat dua? Setuju... Alhamdulillahi rabbil alamin," kata Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas.
Pengambilan keputusan itu dilakukan setelah Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya menyampaikan laporannya dan semua fraksi di DPR serta pemerintah memberikan pandangannya atas RUU itu. Dari sembilan fraksi, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tetap menolak menyetujui RUU TPKS itu.
Dalam pandangan fraksinya, Emy Esty Wijayati dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjelaskan RUU TPKS memang sangat ditunggu oleh masyarakat. Sebab beleid ini merupakan wujud keberpihakan negara terhadap masalah kekerasan seksual yang makin marak terjadi.
"Masyarakat sangat paham bahwa kekerasan seksual bukan hanya kejahatan terhadap kesusilaan semata, namun juga memiliki dampak yang amat serius dan traumatik bagi korban, serta mungkin berlangsung seumur hidup. Bahkan di beberapa kasus kekerasan seksual, dapat mendorong korban untuk melakukan bunuh diri," ujar Emy.
Emy menambahkan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan kekerasan seksual saat ini belum dapat optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan serta memenuhi rasa keadilan bagi korban. Karena itu, RUU TPKS menjadi sangat penting dalam menyelesaikan persoalan hukum atas kekerasan seksual.
Emy menegaskan fraksinya mengapresiasi penyusuan RUU TPKS yang memberi perhatian besar pada korban, termasuk memberikan hak restitusi kepada korban kekerasan seksual paling lambat 30 hari setelah pengadilan menjatuhkan vonis kepada pelaku kekerasan seksual.
Fraksi PKS Tetap Tolak RUU TPKS
Al-Muzammil Yusuf dari Fraksi PKS menegaskan fraksinya mendukung usaha-usaha penanganan, perlindungan dan pemulihan bagi korban kejahatan seksual. Fraksi PKS sangat menaruh perhatian pada upaya-upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban kejahatan seksual yang meliputi layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban serta pemulihan untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual dan sosial korban.
"Fraksi PKS mengutuk keras dan menolak segala bentuk kejahatan seksual, mendukung upaya-upaya pemberatan pidana, termasuk pemberatan hukuman mati, bagi pelaku kejahatan seksual," tegasnya.
Selain itu, lanjutnya, Fraksi PKS sangat prihatin dengan makin maraknya perzinaan, gaya hidup seks bebas dan perilaku penyimpangan seksual.
Sejak awal pembahasan rumusan RUU ini, Fraksi PKS mendorong dimasukkannya segala jenis kejahatan seksual, perzinaan dan penyimpangan seksual sehingga pembahasan RUU tidak menggunakan satu paradigma saja yakni kekerasan seksual.
Wujud Nyata Kehadiran Negara
Dalam rapat pengambilan keputusan tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang mewakili pemerintah menekankan hadirnya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual nantinya merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual.
Selain itu, lanjutnya, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hadir untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual.
"Kami menyetujui dan menyambut baik atas diselesaikannya pembahasan rancangan Undang-undang (RUU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada pembicaraan tingkat pertama untuk diteruskan pada pembicaraan tingkat kedua, tentunya guna pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPR RI" ujar I Gusti Ayu.
Aturan Rinci Soal Kejahatan Seksual
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 RUU TPKS, yang termasuk dalam kekerasan seksual adalah pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksal, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Dalam Pasal 5 disebutkan pelaku pelecehan seksual non-fisik diancam penjara paling lama sembilan bulan dan atau denda Rp 10 juta. Sedangkan pelaku pelecehan seksual fisik dalam Pasal 6 diancam penjara maksimum empat tahun dan atau denda paling tinggi Rp 50 juta.
Pasal 8 menyatakan orang yang memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan diancam penjara paling lama lima tahun dan atau denda Rp 50 juta. Dalam Pasal 10 disebutkan pelaku kawin paksa diancam hukuman penjara paling lama sembilan tahun dan denda maksimum Rp 200 juta.
Pada Pasal 13 menyatakan pelaku eksploitasi seksual diancam penjara maksimum 15 tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 miliar. [fw/em]