Negara-negara berkembang bisa menghadapi gangguan dari gelombang kejutan saat Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan, kata para analis.
Brexit tidak hanya mempengaruhi hubungan Inggris dengan Uni Eropa, tetapi juga dengan ratusan negara lain yang saat ini melakukan perdagangan dengan Inggris berdasarkan persyaratan Uni Eropa, karena Brussels menetapkan kebijakan perdagangan bagi seluruh blok Uni Eropa.
London telah merundingkan pengaturan perdagangan pasca-Brexit baru dengan beberapa negara, termasuk negara-negara Amerika Tengah, Swiss dan Korea Selatan. Ini menyisakan ratusan negara dengan perekonomian yang lebih kecil hingga negara besar seperti Jepang dan Kanada yang perdagangannya akan mengacu pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia setelah Brexit tanpa kesepakatan.
Mencapai kesepakatan dagang baru tidak akan mudah, kata Profesor Anand Menon pada program "Eropa yang Berubah " di Kings College London.
Banyak negara dengan siapa Inggris berupaya melakukan transaksi dagang akan mengatakan kepada Inggris bahwa mereka ingin mengetahui seperti apa hubungan Inggris dengan Uni Eropa nantinya sebelum mereka menandatangani apa pun dengan Inggris.
“Jadi, semua mengarah pada Brussels,” kata Menon.
Ketidakpastian seperti itu tidak membantu negara yang mengekspor produknya ke Inggris. Misalnya, ekspor bunga potong Kenya, buah dan sayuran, dengan total nilai ekspor ke Inggris diperkirakan $400 juta per tahun.
Bangladesh mengekspor barang-barang senilai hampir $4 miliar ke Inggris, yang saat ini diperdagangkan berdasarkan aturan asal preferensial Uni Eropa yang mengalokasikan tarif nol atau tarif rendah untuk barang-barang dari negara-negara berkembang. Brexit tanpa kesepakatan kemungkinan bisa berarti gangguan, kata Max Mendez-Parra, pakar perdagangan di Overseas Development Institute.[my/pp]