Daniel Ortiz tidak tahu banyak tentang Indonesia ketika lulus kuliah di Kolombia. Dia lebih dahulu mendengar tentang Thailand, dan berharap bisa melanjutkan kuliah di negara itu. Tidak banyak informasi tersedia dalam Bahasa Spanyol tentang Indonesia, kata Daniel memberi alasan.
Namun setelah mencari informasi lebih dalam, dia merasa Indonesia memiliki kualitas pendidikan lebih baik dari Thailand.
“Setelah saya selesai universitas, saya ingin belajar di Asia dan saya mencari beasiswa. Saya ingin mencoba di Thailand, tetapi Indonesia lebih bagus dan saya akhirnya mengambil kuliah di sini,” kata Daniel.
Hanya ada satu tempat untuk belajar Bahasa Indonesia di Kolombia, yaitu di Kedutaan Indonesia di Bogota. Karena itu, tidak ada pilihan lain, agar lebih mudah menguasai bahasa ini, Daniel harus datang langsung ke Indonesia.
Sebagai mahasiswa yang baru beberapa bulan belajar Bahasa Indonesia, Daniel relatif bagus dalam penguasaan kota kata dan pengucapan. Salah satu sebabnya, kata Daniel, Bahasa Indonesia memiliki sejumlah kesamaan tata bahasa dengan Bahasa Spanyol yang ia gunakan sehari-hari di Kolombia. Semester ini, dia akan mulai belajar di Program S2 Teknik Kimia UGM.
“Saya ingin fokus dalam upaya penanggulangan polusi. Saat ini, Indonesia dan Kolombia memiliki masalah yang sama dengan polusi, dan karena itu saya ingin belajar di sini,” tambahnya.
Diplomasi Melalui Bahasa
Bahasa Indonesia sudah cukup lama dijadikan alat diplomasi. Pemerintah memberi perhatian cukup serius ketika di akhir masa jabatan, Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Program Bahasa BIPA sendiri mulai populer di tahun 90-an, dan terus berkembang sampai saat ini. Program ini menjadi acuan baku pembelajaran Bahasa Indonesia bagi penutur asing, terutama di lingkungan perguruan tinggi.
Daniel Ortiz hanyalah satu dari ratusan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia, yang setiap tahun datang untuk belajar bahasa Indonesia. Selain itu, pemerintah juga mengirim ratusan dosen ke berbagai negara untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Langkah ini merupakan bagian dari upaya menjadikan Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa internasional.
Sudibyo dari Indonesian Culture and Language Learning Service (Inculs) UGM mengatakan, posisi Bahasa Indonesia kini memang sangat strategis. Banyak pihak semakin sadar, bahwa bahasa merupakan ujung tombak diplomasi kebudayaan. Di Inculs, tempat Sudibyo mengajar, setiap tahun ada sekitar seratus mahasiswa asing dari seluruh dunia datang untuk belajar bahasa Indonesia. Begitu pun di berbagai universitas lain yang memiliki pusat pengajaran serupa, khusus bagi mahasiswa asing.
Australia tercatat sebagai negara yang paling banyak mengirimkan mahasiswanya untuk belajar Bahasa Indonesia di Inculs.
“Saya tidak tahu ada kebijakan apa disana, tetapi di Inculs paling besar adalah mahasiswa Australia. Kadang-kadang ada yang datang berkelompok. Misalnya sebentar lagi ada rombongan mahasiswa dari sekolah militer disana. Mereka masih memandang Indonesia sebagai negara yang penting,” tutur Sudibyo.
Alumni Inculs dari berbagai negara kini sudah berkiprah di berbagai bidang. Sudibyo mengatakan penguasaan bahasa Indonesia ternyata tidak hanya bermanfaat bagi mereka yang berkarir sebagai diplomat asing di Indonesia. Terbukti, banyak di antara mahasiswa asing di Inculs yang kini berbisnis, menjadi anggota militer, atau ilmuwan di negara masing-masing.
Kirim Pengajar Bahasa
Selain mahasiswa asing datang, pemerintah juga aktif mengirimkan pengajar ke berbagai negara untuk menyebarkan penguasaan bahasa Indonesia. Program ini rutin dilaksanakan sejak Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK) berdiri pada 2014. Pada 2018 lalu, setidaknya ada 115 pengajar BIPA dikirim ke 19 negara untuk mengajar di 54 lembaga. Menurut data Kemendikbud, sekurangnya 10 ribu pembelajar terlibat dalam kegiatan tersebut di negara masing-masing.
Terkait hal ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pernah mengatakan, bahwa para pengajar BIPA mengemban misi setara diplomat. Menurutnya, diplomasi lunak sangat penting dalam menjalin hubungan baik sesuai posisi Indonesia sebagai bagian warga dunia.
Ari Kusmiatun, dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, adalah salah satu “diplomat” bahasa yang pernah dikirim melalui program tersebut.
“Tahun 2017 lalu saya dikirim mengajar selama tiga bulan di HTWG Konstanz, di sebuah kota perbatasan Jerman dan Swiss. Tidak hanya mengajar sebenarnya, dalam kesempatan seperti ini kita juga bisa belajar banyak dan melakukan penelitian,” kata Ari.
Secara pribadi, kata Ari, program ini memberi peluang bagi pengajar Indonesia untuk menambah pengalaman. Selain itu, ada proses saling belajar antarbudaya yang menjadikan pengajar dan mahasiswa saling memahami kekayaan budaya masing-masing.
Ada pula Sailal Arimi, dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM yang akan berangkat ke Korea Selatan pada September nanti sampai setahun ke depan. Korea Selatan adalah salah satu negara yang memiliki minat besar dalam belajar Bahasa Indonesia. Di tingkat regional, Bahasa Indonesia juga memiliki pengaruh besar.
“Bahkan di Vietnam, Bahasa Indonesia dijadikan bahasa kedua yang diajarkan secara resmi. Kenapa begitu penting? Karena di kawasan ASEAN, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar utama. Di Korea saja setidaknya ada tiga universitas yang menyelenggarakan program studi Bahasa Indonesia. Di Jepang dan Cina juga ada,” kata Sailal.
Menurut data Kemendikbud, saat ini di dalam negeri tercatat tidak kurang 45 lembaga telah mengajarkan bahasa Indonesia bagi penutur asing, baik di perguruan tinggi maupun di lembaga kursus. Sementara di luar negeri, pengajaran BIPA telah dilakukan oleh sekitar 36 negara dengan jumlah lembaga tidak kurang dari 130. Terdiri atas perguruan tinggi, pusat-pusat kebudayaan asing, KBRI, dan lembaga kursus. [ns/lt]