MEULABOH, ACEH —
Pengadilan di Meulaboh, Aceh, telah memerintahkan sebuah perusahaan kelapa sawit untuk membayar sekitar Rp 366 miliar kepada negara karena membabat lahan gambut secara ilegal dalam sebuah keputusan "bersejarah", menurut para pengacara pada Kamis (9/1).
Pengadilan Meulaboh pada Rabu mendakwa perusahaan Indonesia, Kallista Alam, telah membakar tumbuhan di atas 1.000 hektar lahan gambut secara ilegal untuk membuka perkebunan kelapa sawit.
Dalam kasus perdata yang diajukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, pengadilan memerintahkan perusahaan tersebut untuk membayar Rp 114,3 miliar untuk kerugian negara dan Rp 252 miliar untuk merehabilitasi lahan yang dihancurkannya.
Hutan tersebut dilindungi oleh beberapa aturan, termasuk keputusan presiden yang menghentikan pengeluaran izin baru untuk menebang lahan gambut dan beberapa jenis hutan lainnya di seluruh Indonesia.
Menggunakan api untuk membuka lahan juga merupakan praktik ilegal karena menyebabkan kabut asap yang meluas ke negara-negara tetangga pada beberapa tahun terakhir.
"Ini momen bersejarah bagi penegakan hukum dalam isu lingkungan di Indonesia. Kami harap hal ini akan membuat perusahaan-perusahaan perkebunan enggan merusak lingkungan, ujar pengacara Kementerian Lingkungan Syafruddin pada kantor berita AFP.
Kasus ini dilihat sebagai ujian atas moratorium pengeluaran izin penebangan dan reformasi dalam sektor kehutanan yang sangat korup dan tidak dikelola dengan baik, yang telah menyebabkan kerusakan pesat dari habitat-habitat lingkungan hidup untuk menanam kelapa sawit dan kayu.
Kelompok-kelompok lingkungan hidup menyambut keputusan tersebut, mengatakan hal tersebut menandai perbaikan penegakan hukum dan akan memberikan preseden.
"Ini pesan yang jelas untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Aceh yang berpikir mereka dapat menghancurkan hutan-hutan yang dilindungi dan bebas darinya," ujar ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhammad Nur, dalam pernyataan tertulis.
Pengacara perusahaan, Alfian Sarumaha, mengatakan Kallista Alam kemungkinan besar akan naik banding.
"Keputusan ini ancaman untuk bisnis kelapa sawit nasional. Indonesia memiliki wilayah lahan gambut yang besar. Jika dibiarkan begitu saja, potensi ekonominya akan hilang," ujarnya.
Beberapa kasus pidana dan perdata atas hutan yang sama, disebut Tripa, telah diajukan menyusul kasus Kallista Alam, dengan empat perusahaan lain dituduh melakukan kerusakan ilegal.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan moratorium atau penghentian pemberian izin menebang beberapa jenis hutan pada 2011, dalam perjanjian konservasi senilai US$1 miliar dengan Norwegia yang masih berlaku.
Lahan gambut di Indonesia menyimpan persediaan karbon yang besar, yang akan lepas ke atmosfer jika dibersihkan, dan merupakan tempat tinggal banyak spesies langka dunia.
Pemberian izin menebang hutan bagi Kallista Alam dikritik secara luas sebagai bukti bahwa moratorium itu tidak efektif. (AFP)
Pengadilan Meulaboh pada Rabu mendakwa perusahaan Indonesia, Kallista Alam, telah membakar tumbuhan di atas 1.000 hektar lahan gambut secara ilegal untuk membuka perkebunan kelapa sawit.
Dalam kasus perdata yang diajukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, pengadilan memerintahkan perusahaan tersebut untuk membayar Rp 114,3 miliar untuk kerugian negara dan Rp 252 miliar untuk merehabilitasi lahan yang dihancurkannya.
Hutan tersebut dilindungi oleh beberapa aturan, termasuk keputusan presiden yang menghentikan pengeluaran izin baru untuk menebang lahan gambut dan beberapa jenis hutan lainnya di seluruh Indonesia.
Menggunakan api untuk membuka lahan juga merupakan praktik ilegal karena menyebabkan kabut asap yang meluas ke negara-negara tetangga pada beberapa tahun terakhir.
"Ini momen bersejarah bagi penegakan hukum dalam isu lingkungan di Indonesia. Kami harap hal ini akan membuat perusahaan-perusahaan perkebunan enggan merusak lingkungan, ujar pengacara Kementerian Lingkungan Syafruddin pada kantor berita AFP.
Kasus ini dilihat sebagai ujian atas moratorium pengeluaran izin penebangan dan reformasi dalam sektor kehutanan yang sangat korup dan tidak dikelola dengan baik, yang telah menyebabkan kerusakan pesat dari habitat-habitat lingkungan hidup untuk menanam kelapa sawit dan kayu.
Kelompok-kelompok lingkungan hidup menyambut keputusan tersebut, mengatakan hal tersebut menandai perbaikan penegakan hukum dan akan memberikan preseden.
"Ini pesan yang jelas untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Aceh yang berpikir mereka dapat menghancurkan hutan-hutan yang dilindungi dan bebas darinya," ujar ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhammad Nur, dalam pernyataan tertulis.
Pengacara perusahaan, Alfian Sarumaha, mengatakan Kallista Alam kemungkinan besar akan naik banding.
"Keputusan ini ancaman untuk bisnis kelapa sawit nasional. Indonesia memiliki wilayah lahan gambut yang besar. Jika dibiarkan begitu saja, potensi ekonominya akan hilang," ujarnya.
Beberapa kasus pidana dan perdata atas hutan yang sama, disebut Tripa, telah diajukan menyusul kasus Kallista Alam, dengan empat perusahaan lain dituduh melakukan kerusakan ilegal.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan moratorium atau penghentian pemberian izin menebang beberapa jenis hutan pada 2011, dalam perjanjian konservasi senilai US$1 miliar dengan Norwegia yang masih berlaku.
Lahan gambut di Indonesia menyimpan persediaan karbon yang besar, yang akan lepas ke atmosfer jika dibersihkan, dan merupakan tempat tinggal banyak spesies langka dunia.
Pemberian izin menebang hutan bagi Kallista Alam dikritik secara luas sebagai bukti bahwa moratorium itu tidak efektif. (AFP)