DENPASAR —
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mengatakan kebijakan moratorium atau penghentian sementara pembangunan hotel di provinsi itu gagal, karena pembangunan hotel-hotel baru terus terjadi meski jumlah kamar hotel dan vila telah mencapai lebih dari 90.000 kamar.
Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dalam keteranganya di sela-sela acara Selasa Pariwisata di Denpasar mengatakan data badan perizinan di kabupaten/kota di Bali pada tahun ini jumlah kamar hotel akan terus bertambah, mengingat masih ada izin pembangunan yang sudah keluar, tetapi hotelnya belum di bangun.
Menurut Tjok Sukawati, jika diamati motivasi investor untuk membangun hotel di Bali bukan semata-mata untuk kepentingan bisnis
“(Motivasi lain adalah) pencucian uang. Ini yang paling susah kita prediksi karena dia tidak mengejar tingkat hunian hotel,” ujarnya.
Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali I Wayan Gendo Suardana mengatakan, kebijakan moratorium selama ini hanya sebatas wacana. Padahal sebagai pulau kecil, pembangunan di Bali harus mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, ujarnya.
“Moratorium akomodasi itu sebenarnya titik tolak untuk mengembalikan posisi industri pariwisata di Bali, dengan menyetop dulu, melakukan kajian. Ini kan mengukur daya dukung dan daya tampung lingkungan Bali. Tetapi ini tidak dilakukan, dilanggar terus dan terakhir malah ada wacana ini akan dicabut, artinya dijalankan belum pernah, ditinjau iya,” ujarnya.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan akan kembali mengirimkan surat kepada para bupati dan walikota di Bali untuk menghentikan pemberian izin pembangunan hotel, khususnya untuk wilayah Bali Selatan.
“Stop mengeluarkan IMB (izin mendirikan bangunan) terutama untuk hotel di wilayah Badung, Denpasar, Gianyar. Mau nggak bupatinya? Itu persoalanya, saya tidak bisa perintahkan, tapi saya akan buat lagi surat,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Bali Ketut Ardana menyatakan banyaknya jumlah kamar hotel di Bali telah menyebabkan terjadinya perang tarif.
“Jangan heran ada hotel bintang tiga hanya menjual Rp 250.000 atau Rp. 275.000 (semalam). Itu realita yang terjadi. Apakah kita akan membiarkan hal ini terus berlangsung ke depan?” ujarnya.
Menurut Ardana, apa yang terjadi selama ini menjadi bukti bahwa penegakan hukum masih sangat lemah dan izin sangat mudah dikeluarkan oleh pemerintah.
Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dalam keteranganya di sela-sela acara Selasa Pariwisata di Denpasar mengatakan data badan perizinan di kabupaten/kota di Bali pada tahun ini jumlah kamar hotel akan terus bertambah, mengingat masih ada izin pembangunan yang sudah keluar, tetapi hotelnya belum di bangun.
Menurut Tjok Sukawati, jika diamati motivasi investor untuk membangun hotel di Bali bukan semata-mata untuk kepentingan bisnis
“(Motivasi lain adalah) pencucian uang. Ini yang paling susah kita prediksi karena dia tidak mengejar tingkat hunian hotel,” ujarnya.
Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali I Wayan Gendo Suardana mengatakan, kebijakan moratorium selama ini hanya sebatas wacana. Padahal sebagai pulau kecil, pembangunan di Bali harus mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, ujarnya.
“Moratorium akomodasi itu sebenarnya titik tolak untuk mengembalikan posisi industri pariwisata di Bali, dengan menyetop dulu, melakukan kajian. Ini kan mengukur daya dukung dan daya tampung lingkungan Bali. Tetapi ini tidak dilakukan, dilanggar terus dan terakhir malah ada wacana ini akan dicabut, artinya dijalankan belum pernah, ditinjau iya,” ujarnya.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan akan kembali mengirimkan surat kepada para bupati dan walikota di Bali untuk menghentikan pemberian izin pembangunan hotel, khususnya untuk wilayah Bali Selatan.
“Stop mengeluarkan IMB (izin mendirikan bangunan) terutama untuk hotel di wilayah Badung, Denpasar, Gianyar. Mau nggak bupatinya? Itu persoalanya, saya tidak bisa perintahkan, tapi saya akan buat lagi surat,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Bali Ketut Ardana menyatakan banyaknya jumlah kamar hotel di Bali telah menyebabkan terjadinya perang tarif.
“Jangan heran ada hotel bintang tiga hanya menjual Rp 250.000 atau Rp. 275.000 (semalam). Itu realita yang terjadi. Apakah kita akan membiarkan hal ini terus berlangsung ke depan?” ujarnya.
Menurut Ardana, apa yang terjadi selama ini menjadi bukti bahwa penegakan hukum masih sangat lemah dan izin sangat mudah dikeluarkan oleh pemerintah.