Bambu yang disulap menjadi kerajinan tangan atau rumah tradisional mungkin sudah biasa. Tapi bagaimana kalau jadi meja kopi dan bahkan baju atau sepatu?
Itulah produk-produk inovatif yang dipamerkan dalam festival “Bambu is Wonderful” di Bandung, Sabtu (24/11) sampai Senin (26/11) kemarin. Citra bambu sebagai kayu tradisional seketika bertransformasi. Lewat ide-ide pelaku usaha bambu, bahan ini telah menjadi berbagai produk modern.
Koleksi Bamboo Studio by Parker, misalnya, memamerkan belasan baju, kaus kaki, dan sepatu yang semuanya dari serat bambu. Produk-produk ini nampak seperti busana pada umumnya karena bambu diubah jadi serat terlebih dahulu. Managing Director Bamboo Studio Taufiq Rahman menjelaskan keunggulan bahan ini.
“Daya serapnya terhadap air sangat tinggi. Kira-kira empat kali lebih kuat dibandingkan katun. Karenanya kalau dipakai sangat dingin, adem nggak panas. Nggak berbau. Kami telah menguji coba, kaus serat bambu itu bisa dipakai dalam satu bulan nggak perlu dicuci, itu tidak menimbulkan bau. Karena ada anti-bakteri alamiah yang tidak hilang setelah dicuci,” jelasnya kepada VOA.
Penelitian Deakin University, Australia, pada 2011 menemukan komponen anti-bakteri terdapat pada lignin atau sel-sel tanaman bambu. Meski studi terkait anti-bakteri bambu masih sedikit, banyak pihak yang percaya serat bambu lebih baik ketimbang serat katun. Termasuk Taufiq, yang telah memproduksi kaus kaki sejak 2002, dan mulai melirik serat bambu pada 2010.
“Awalnya kami ini usaha membuat sepatu dan kaos kaki. Setelah bertahun-tahun usaha sepatu dan kaus kaki, terpikir cari bahan yang tidak berbau. Ketemulah serat bambu,” kisahnya.
Produknya kini sudah dipasarkan di setidaknya 10 kota besar Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, dan Surabaya. Taufiq mulai menjajaki pemasaran ke luar Pulau Jawa seperti Makassar dan Flores.
Potensi Bambu Telah Dilirik Dunia
Kalangan pengusaha mulai melirik bambu karena potensinya yang besar. Perhimpunan Pelaku Usaha Bambu Indonesia (Perpubi) menyatakan, bambu bisa dijadikan ribuan produk turunan. Sekjen Perpubi, Dudi Darma Bakti, mengatakan bambu tidak lagi berupa anyaman untuk bilik namun bisa dilaminasi seperti kayu atau jadi serat pakaian.
“Produk turunan itu lebih dari 1.500, mulai dari A sampai Z. A itu airplane skin, kulit interiornya pesawat terbang. Boeing 747 itu sudah pakai bambu untuk kulit lapisnya. Sampai Z itu zither, kecapi. Sampai yang sederhananya yang seperti itu,” jelas Dudi yang juga ketua panitia ‘Bambu is Wonderful’.
Dudi menuturkan, bambu memiliki potensi ekonomi yang besar karena cepat tumbuh, mencapai 12-30 cm per hari. Sebatang bambu yang dipanen harganya 3000 Rupiah dan bisa diolah menjadi kursi dan gelas bambu senilai 300 ribu Rupiah.
Tanaman bambu juga mendorong kelestarian lingkungan. Sejumlah studi telah menunjukkan bambu menyerap karbon empat kali lebih banyak ketimbang pohon dan menghasilkan oksigen 35 persen lebih banyak dari pada pohon. Penelitian juga menemukan bahwa bambu dapat menyerap karbon sampai 12 ton per hektar per tahun, membuatnya sangat bermanfaat untuk perbaikan lingkungan.
Keunggulan ekonomi dan lingkungan tersebut membuat bambu diakui sebagai sumber kayu untuk masa depan. Hal itu disepakati masyarakat dunia lewat Global Bamboo Summit di Vietnam pada 2014 dan World Bamboo Congress di Meksiko pada 2018.
Kenapa Bambu Belum Diterima Luas?
Meski bambu punya sejumlah keunggulan dan manfaat, nyatanya produk bambu belum diterima luas. Menurut Dudi, masyarakat masih belum mengenal manfaat tanaman ini.
“Hambatan karena ketidakpahaman masyarakat kita terhadap bambu. Baik dari manfaat maupun fungsi bambu secara kepentingan biologi, ekosistem, ekonomi dan budaya. Mereka tidak paham,”
Selain itu, gambaran bambu sebagai bahan baku tradisional belum hilang.
“Dulu seluruh dunia menganggap bambu adalah the poor timber, bahan baku alam untuk orang miskin. Seperti untuk bilik bambu. Dunia sekarang sudah sepakat bambu adalah the rich timber, karena nilai ekonominya sudah berlipat ganda,” jelasnya.
Dunia memiliki lebih dari 1.000 spesies bambu yang tersebar di Asia Tenggara, Asia Timur, Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Australia. Diperkirakan setidaknya 10 persen spesies ada di Indonesia.
Namun pengusaha di Indonesia belum mampu memproduksi serat bambu di dalam negeri. Sebab untuk mengembangkan industri ini perlu lahan bambu sekira 1.500 hektar. Pengusaha Taufiq Rahman mengatakan para pengusaha ingin merintisnya.
“Masalahnya adalah harus ada lahan yang berkesinambungan. Kalau bikin industri serat bambu, berarti (suplai) yang masuk ini harus ada terus. Sekarang Indonesia terbentur dengan rantai pasoknya yang belum ada jaminan. Belum ada hutan bambu di Indonesia. Masih tanaman rakyat yang belum dapat dipastikan kesinambungannya,” terang Taufiq.
Untuk itu, Perpubi mendorong pemerintah menaruh perhatian lebih serius pada tanaman hutan ini. Salah satunya dengan mengubah status bambu, dari hasil hutan non-kayu menjadi hasil kayu. Dengan demikian, Dudi berharap, bambu bisa menjadi bahan baku yang digunakan masyarakat luas.
“Antara masyarakat pelaku usaha bambu dan pemerintah. Bambu itu seperti apa? Sepakat nggak bambu itu dikembangkan? Kalau sepakat dikembangkan, peran pemerintah itu ada dua: yang pertama regulasi, yang kedua anggaran,” tambah Dudi. [rt/em]