SRINAGAR, INDIA —
Band rock pertama yang semua anggotanya perempuan di wilayah Kashmir yang dikuasai India memutuskan untuk bubar setelah tampil hanya dalam satu konser, karena adanya ancaman untuk para anggota yang masih remaja itu di media sosial dan permintaan dari ulama terpandang.
Nasib band Pragaash, yang artinya “Cahaya Pertama” dalam bahasa Kashmir, menyoroti ketegangan antara modernitas dan tradisi di wilayah dengan mayoritas penduduk Muslim tersebut, di mana perlawanan terhadap kekuasaan India dan pemberantasan oleh pasukan pemerintah telah menewaskan lebih dari 68.000 orang sejak 1989. Kelompok separatis mengkritik band tersebut sebagai “keliaran gaya budaya Barat.”
Adnan Mattoo, guru musik dan manajer kelompok tersebut, mengatakan bahwa tiga siswa sekolah menengah yang membentuk Pragaash – penabuh drum Farah Deeba, pemain gitar bass Aneeqa Khalid dan penyanyi/gitaris Noma Nazir – tidak mau menyebutkan alasan pembubaran band mereka.
"Mereka merasa sangat takut dan ingin segera mengakhiri kontroversi ini,” ujar Mattoo pada Selasa (5/2).
“Tadinya mereka memutuskan tidak akan tampil dalam pertunjukkan karena kampanye kebencian di Internet dan akan berkonsentrasi membuat album. Namun setelah adanya fatwa dari ulama pemerintah, gadis-gadis ini memutuskan meninggalkan musik.”
Namun, dalam wawancara lewat telepon dengan stasiun televisi India CNN-IBN pada Selasa, salah satu anggota band mengatakan pembubaran itu karena adanya fatwa dari ulama terpandang, bukan dari tekanan di Internet.
Gadis yang menolak menyebutkan namanya itu mengatakan mereka menghormati keputusan ulama itu karena ia “lebih paham agama” dan ia meminta media untuk berhenti memberitakan kasus ini.
“Semuanya baik-baik saja sampai penerbitan fatwa tersebut,” ujarnya.
Pragaash tampil di depan publik untuk pertama kalinya pada Desember di Srinagar, kota utama di Kashmir. Mereka memenangkan acara rock tahunan “Pertempuran Band” yang diadakan oleh pasukan paramiliter India sebagai bagian dari kampanye untuk merebut hati penduduk wilayah tersebut.
Segera setelah pertunjukan tersebut, situs-situs media sosial seperti Facebook ramai dengan debat mengenai band itu. Beberapa mempertanyakan apakah pertunjukan mereka pantas di tengah masyarakat mayoritas Muslim seperti Kashmir, sementara yang lainnya membahas lebih luas mengenai pendekatan Islam terhadap musik dan peran perempuan dalam masyarakat.
Banyak komentator yang berpihak pada gadis-gadis tersebut, namun yang lainnya kasar, menyebut mereka “murahan” dan “pelacur” dan mendesak mereka dan keluarganya diusir dari Kashmir.
Kontroversi meningkat pada Sabtu ketika Omar Abdullah, salah seorang pejabat tinggi negara, berjanji akan meminta polisi menyelidiki ancaman-ancaman tersebut dan menulis di Twitter bahwa “remaja-remaja berbakat seharusnya tidak dibungkam oleh sekelompok orang bodoh.”
Gadis-gadis itu kemudian menjadi alat politik bagi setiap pihak yang berkonflik.
Mufti Bashiruddin Ahmad, ulama yang disponsori pemerintah, mengeluarkan fatwa pada hari Minggu, menyuruh para gadis tersebut “menghentikan semua aktivitas ini dan tidak terpengaruh dukungan kepemimpinan politik.”
Aliansi separatis utama Kashmir, Konferensi Hurriyat Semua Partai, mengkritik Abdullah karena selektif dalam mendukung kebebasan berekspresi dan mengatakan bahwa konser band tersebut “selangkah membawa gadis-gadis muda ke arah Westernisasi.”
Namun aliansi tersebut menjauhkan diri dari fatwa ulama dan menyangkal bahwa para anggota band telah mendapat ancaman.
“Media India membesar-besarkan isu kecil ini dengan tujuan memfitnah perjuangan kemerdekaan Kashmir,” ujar aliansi tersebut.
Para ahli mengatakan bahwa bagi sebagian besar penduduk Kashmir, musik atau musisi perempuan bukanlah persoalan. “Ini menjadi masalah karena dimanfaatkan untuk menumbangkan realitas politik yang dominan,” ujar sosiolog Kashmir Wasim Bhat.
Kashmir memiliki tradisi puisi dan musik yang panjang, dan telah menghasilkan penyanyi-penyanyi perempuan yang melegenda, seperti Raj Begum, Kailash Mehra, Naseem Begum dan Shamima Azad, istri Menteri Kesehatan India, Ghulam Nabi Azad.
Warisan budaya tersebut menderita ketika militan Muslim memulai kampanye bersenjata mereka dua dekade lalu untuk meraih kemerdekaan dari India atau menggabungkan diri dengan Pakistan.
Para pemberontak memerintahkan penutupan bioskop dan toko minuman, menyebut mereka “tidak Islami” dan kendaraan agresi budaya India. Militer India menanggapi pemberontakan ini dengan razia yang termasuk penyiksaan, penculikan, pemerasan dan pembunuhan.
Sejak kekerasan bersenjata berkurang pada tahun-tahun terakhir, pertunjukan musik dan teater muncul kembali, namun dengan pembatsan yang diberlakukan sejak konflik terjadi.
Pada 1996, sebuah kelompok beranggotakan empat orang gadis mendobrak aturan yang berlaku berabad-abad dengan mempelajari musik Sufiyana, aliran musik Persia klasik yang diadopsi oleh orang Kashmir setelah para sufi Persia mulai mendatangi wilayah tersebut.
Sebuah sekolah musik yang dinamai sesuai maestro Sufiyana Ustad Ghulam Mohammed Qaleenbaf mulai melatih gadis-gadis ini pada waktu tembakan senjata bergemuruh di setiap pojok wilayah tersebut.
“Meski ada kekacauan yang tidak pernah ada sebelumnya, saya menerima dukungan dari setiap orang yang mengetahui inisiatif saya,” ujar Sheikh Mohammed Yaqoob, cucu Qaleenbaf.
Bhat sang sosiolog mengatakan tidak ada yang keberatan dengan inisiatif tersebut “karena mungkin mereka masih berjalan dalam lingkup tradisi dan tidak melawan realitas politik yang ada saat ini di sini.”
“Ketegangan antara modernitas dan tradisi ada di setiap masyarakat. Tapi yang menonjol dalam situasi konflik seperti di Kashmir adalah motivasi untuk mempolitisasinya,” ujarnya. (AP/Aijaz Hussain)
Nasib band Pragaash, yang artinya “Cahaya Pertama” dalam bahasa Kashmir, menyoroti ketegangan antara modernitas dan tradisi di wilayah dengan mayoritas penduduk Muslim tersebut, di mana perlawanan terhadap kekuasaan India dan pemberantasan oleh pasukan pemerintah telah menewaskan lebih dari 68.000 orang sejak 1989. Kelompok separatis mengkritik band tersebut sebagai “keliaran gaya budaya Barat.”
Adnan Mattoo, guru musik dan manajer kelompok tersebut, mengatakan bahwa tiga siswa sekolah menengah yang membentuk Pragaash – penabuh drum Farah Deeba, pemain gitar bass Aneeqa Khalid dan penyanyi/gitaris Noma Nazir – tidak mau menyebutkan alasan pembubaran band mereka.
"Mereka merasa sangat takut dan ingin segera mengakhiri kontroversi ini,” ujar Mattoo pada Selasa (5/2).
“Tadinya mereka memutuskan tidak akan tampil dalam pertunjukkan karena kampanye kebencian di Internet dan akan berkonsentrasi membuat album. Namun setelah adanya fatwa dari ulama pemerintah, gadis-gadis ini memutuskan meninggalkan musik.”
Namun, dalam wawancara lewat telepon dengan stasiun televisi India CNN-IBN pada Selasa, salah satu anggota band mengatakan pembubaran itu karena adanya fatwa dari ulama terpandang, bukan dari tekanan di Internet.
Gadis yang menolak menyebutkan namanya itu mengatakan mereka menghormati keputusan ulama itu karena ia “lebih paham agama” dan ia meminta media untuk berhenti memberitakan kasus ini.
“Semuanya baik-baik saja sampai penerbitan fatwa tersebut,” ujarnya.
Pragaash tampil di depan publik untuk pertama kalinya pada Desember di Srinagar, kota utama di Kashmir. Mereka memenangkan acara rock tahunan “Pertempuran Band” yang diadakan oleh pasukan paramiliter India sebagai bagian dari kampanye untuk merebut hati penduduk wilayah tersebut.
Segera setelah pertunjukan tersebut, situs-situs media sosial seperti Facebook ramai dengan debat mengenai band itu. Beberapa mempertanyakan apakah pertunjukan mereka pantas di tengah masyarakat mayoritas Muslim seperti Kashmir, sementara yang lainnya membahas lebih luas mengenai pendekatan Islam terhadap musik dan peran perempuan dalam masyarakat.
Banyak komentator yang berpihak pada gadis-gadis tersebut, namun yang lainnya kasar, menyebut mereka “murahan” dan “pelacur” dan mendesak mereka dan keluarganya diusir dari Kashmir.
Kontroversi meningkat pada Sabtu ketika Omar Abdullah, salah seorang pejabat tinggi negara, berjanji akan meminta polisi menyelidiki ancaman-ancaman tersebut dan menulis di Twitter bahwa “remaja-remaja berbakat seharusnya tidak dibungkam oleh sekelompok orang bodoh.”
Gadis-gadis itu kemudian menjadi alat politik bagi setiap pihak yang berkonflik.
Mufti Bashiruddin Ahmad, ulama yang disponsori pemerintah, mengeluarkan fatwa pada hari Minggu, menyuruh para gadis tersebut “menghentikan semua aktivitas ini dan tidak terpengaruh dukungan kepemimpinan politik.”
Aliansi separatis utama Kashmir, Konferensi Hurriyat Semua Partai, mengkritik Abdullah karena selektif dalam mendukung kebebasan berekspresi dan mengatakan bahwa konser band tersebut “selangkah membawa gadis-gadis muda ke arah Westernisasi.”
Namun aliansi tersebut menjauhkan diri dari fatwa ulama dan menyangkal bahwa para anggota band telah mendapat ancaman.
“Media India membesar-besarkan isu kecil ini dengan tujuan memfitnah perjuangan kemerdekaan Kashmir,” ujar aliansi tersebut.
Para ahli mengatakan bahwa bagi sebagian besar penduduk Kashmir, musik atau musisi perempuan bukanlah persoalan. “Ini menjadi masalah karena dimanfaatkan untuk menumbangkan realitas politik yang dominan,” ujar sosiolog Kashmir Wasim Bhat.
Kashmir memiliki tradisi puisi dan musik yang panjang, dan telah menghasilkan penyanyi-penyanyi perempuan yang melegenda, seperti Raj Begum, Kailash Mehra, Naseem Begum dan Shamima Azad, istri Menteri Kesehatan India, Ghulam Nabi Azad.
Warisan budaya tersebut menderita ketika militan Muslim memulai kampanye bersenjata mereka dua dekade lalu untuk meraih kemerdekaan dari India atau menggabungkan diri dengan Pakistan.
Para pemberontak memerintahkan penutupan bioskop dan toko minuman, menyebut mereka “tidak Islami” dan kendaraan agresi budaya India. Militer India menanggapi pemberontakan ini dengan razia yang termasuk penyiksaan, penculikan, pemerasan dan pembunuhan.
Sejak kekerasan bersenjata berkurang pada tahun-tahun terakhir, pertunjukan musik dan teater muncul kembali, namun dengan pembatsan yang diberlakukan sejak konflik terjadi.
Pada 1996, sebuah kelompok beranggotakan empat orang gadis mendobrak aturan yang berlaku berabad-abad dengan mempelajari musik Sufiyana, aliran musik Persia klasik yang diadopsi oleh orang Kashmir setelah para sufi Persia mulai mendatangi wilayah tersebut.
Sebuah sekolah musik yang dinamai sesuai maestro Sufiyana Ustad Ghulam Mohammed Qaleenbaf mulai melatih gadis-gadis ini pada waktu tembakan senjata bergemuruh di setiap pojok wilayah tersebut.
“Meski ada kekacauan yang tidak pernah ada sebelumnya, saya menerima dukungan dari setiap orang yang mengetahui inisiatif saya,” ujar Sheikh Mohammed Yaqoob, cucu Qaleenbaf.
Bhat sang sosiolog mengatakan tidak ada yang keberatan dengan inisiatif tersebut “karena mungkin mereka masih berjalan dalam lingkup tradisi dan tidak melawan realitas politik yang ada saat ini di sini.”
“Ketegangan antara modernitas dan tradisi ada di setiap masyarakat. Tapi yang menonjol dalam situasi konflik seperti di Kashmir adalah motivasi untuk mempolitisasinya,” ujarnya. (AP/Aijaz Hussain)