Sebuah pintu gerbang Sasano Putro, atau tempat tinggal Raja Pakubuwono XIII di kompleks Keraton Kasunanan Solo yang rusak ditutup selembar kain hijau Jumat pagi (30/8). Serpihan kayu masih terlihat berserakan di sekitar pintu gerbang bangunan tua tersebut.
Awal minggu ini terjadi bentrokan antara dua pihak yang bertikai di dalam keraton, yang berujung pada penjebolan pintu gerbang tersebut oleh sebuah mobil. Sejumlah barang di dalam Keraton juga dirusak, dan pihak-pihak yang berseteru saling serang dan lempar batu di dalam kompleks Keraton.
Juru bicara Kepolisian Resort Solo, AKP Sis Raniwati mengatakan, polisi masih mengusut kasus pengrusakan bangunan cagar budaya tersebut. Menurut Sis, polisi sedang mengumpulkan keterangan saksi dan berbagai barang bukti pengrusakan yang akan menjerat pelaku dengan Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya.
“Pada saat kejadian ada polisi yang bertugas mengamankan di Keraton. Mereka menyaksikan secara langsung dan utuh bagaimana pengrusakan itu terjadi. Saat ini kami sedang memeriksa para saksi dan petugas polisi. Kami juga sudah menyita berbagai barang bukti pengrusakan aset bangunan cagar budaya Keraton Kasunanan Surakarta ini,” ujarnya.
Juru bicara bidang perlindungan cagar budaya Pemkot Solo, Mufti Raharjo menyayangkan aksi pengrusakan tersebut.
“Kalau melihat berbagai kerajaan yang ada di luar negeri, kawasan Asia maupun Eropa, mereka memiliki konstitusi yang mengatur tentang kerajaan, bagaimana peran raja, suksesi raja, apa saja fasilitas dan hak kewajiban seorang. Negara hanya menfasilitasi penulisan aturan adat kerajaan. Selama ini di Indonesia, aturan itu tidak tertulis sehingga timbul persepsi yang salah antar keluarga keraton, raja, dan sebagainya,” ujarnya.
Seorang warga Solo, Hadi, berharap konflik internal tersebut segera diakhiri dan ia mendorong adanya penegakan hukum dalam pengrusakan bangunan cagar budaya Keraton Solo ini.
“Saya berharap aparat mengusut pengrusakan bangunan cagar budaya di Keraton Kasunanan ini. Entah itu pelakunya warga atau keluarga Kraton sendiri. Kraton Surakarta kan termasuk cagar budaya, dilindungi Undang-Undang, ya pelanggar aturan itu harus ditindak tegas. Padahal selama ini pemkot gembar-gembor Solo kota Budaya, melindungi cagar budaya, pasang label ke berbagai bangunan cagar budaya,” ujarnya.
UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya menyatakan pelaku perusakan Cagar budaya akan dipidana penjara enam bulan hingga 10 tahun, dan/atau didenda Rp 250 juta hingga Rp 2,5 miliar.
Konflik Keraton Kasunanan tersebut berawal setelah meninggalnya Raja Pakubuwono XII pada 2004. Raja tersebut tidak memiliki permaisuri, sementara adat dan tradisi Keraton Kasunanan menyebutkan yang berhak menjadi raja adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri.
Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua anak dari mendiang Raja, Hangabehi dan Tedjowulan. Keduanya menobatkan diri menjadi Pakubuwono XIII. Konflik berlangsung lama dan sempat didamaikan Walikota Solo saat itu, Joko Widodo, namun salah satu pendukung dari dua kelompok ini tetap menolak berdamai.
Awal minggu ini terjadi bentrokan antara dua pihak yang bertikai di dalam keraton, yang berujung pada penjebolan pintu gerbang tersebut oleh sebuah mobil. Sejumlah barang di dalam Keraton juga dirusak, dan pihak-pihak yang berseteru saling serang dan lempar batu di dalam kompleks Keraton.
Juru bicara Kepolisian Resort Solo, AKP Sis Raniwati mengatakan, polisi masih mengusut kasus pengrusakan bangunan cagar budaya tersebut. Menurut Sis, polisi sedang mengumpulkan keterangan saksi dan berbagai barang bukti pengrusakan yang akan menjerat pelaku dengan Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya.
“Pada saat kejadian ada polisi yang bertugas mengamankan di Keraton. Mereka menyaksikan secara langsung dan utuh bagaimana pengrusakan itu terjadi. Saat ini kami sedang memeriksa para saksi dan petugas polisi. Kami juga sudah menyita berbagai barang bukti pengrusakan aset bangunan cagar budaya Keraton Kasunanan Surakarta ini,” ujarnya.
Juru bicara bidang perlindungan cagar budaya Pemkot Solo, Mufti Raharjo menyayangkan aksi pengrusakan tersebut.
“Kalau melihat berbagai kerajaan yang ada di luar negeri, kawasan Asia maupun Eropa, mereka memiliki konstitusi yang mengatur tentang kerajaan, bagaimana peran raja, suksesi raja, apa saja fasilitas dan hak kewajiban seorang. Negara hanya menfasilitasi penulisan aturan adat kerajaan. Selama ini di Indonesia, aturan itu tidak tertulis sehingga timbul persepsi yang salah antar keluarga keraton, raja, dan sebagainya,” ujarnya.
Seorang warga Solo, Hadi, berharap konflik internal tersebut segera diakhiri dan ia mendorong adanya penegakan hukum dalam pengrusakan bangunan cagar budaya Keraton Solo ini.
“Saya berharap aparat mengusut pengrusakan bangunan cagar budaya di Keraton Kasunanan ini. Entah itu pelakunya warga atau keluarga Kraton sendiri. Kraton Surakarta kan termasuk cagar budaya, dilindungi Undang-Undang, ya pelanggar aturan itu harus ditindak tegas. Padahal selama ini pemkot gembar-gembor Solo kota Budaya, melindungi cagar budaya, pasang label ke berbagai bangunan cagar budaya,” ujarnya.
UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya menyatakan pelaku perusakan Cagar budaya akan dipidana penjara enam bulan hingga 10 tahun, dan/atau didenda Rp 250 juta hingga Rp 2,5 miliar.
Konflik Keraton Kasunanan tersebut berawal setelah meninggalnya Raja Pakubuwono XII pada 2004. Raja tersebut tidak memiliki permaisuri, sementara adat dan tradisi Keraton Kasunanan menyebutkan yang berhak menjadi raja adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri.
Hal ini menyebabkan perseteruan antara dua anak dari mendiang Raja, Hangabehi dan Tedjowulan. Keduanya menobatkan diri menjadi Pakubuwono XIII. Konflik berlangsung lama dan sempat didamaikan Walikota Solo saat itu, Joko Widodo, namun salah satu pendukung dari dua kelompok ini tetap menolak berdamai.