Tingkat kehadiran para pemilih diperkirakan akan tinggi pada pemilu hari Minggu mendatang di bagian selatan Thailand, di mana sentimen anti-militer marak berkembang. Namun banyak pemilih dan politisi oposisi khawatir usaha pemerintah untuk membungkam para pembangkang akan membuahkan masa jabatan baru bagi pemerintahan militer.
Di bagian selatan Thailand, oposisi politik terhadap kekuasaan militer meningkat dalam beberapa tahun terakhir, atau tepatnya sejak kudeta tahun 2014.
Namun itu tidak menghentikan mantan jenderal yang memimpin kudeta tersebut, dan saat ini menjabat sebagai perdana menteri, Prayut Chan-och-a, untuk berkampanye.
Meski ia melakukan pendekatan lebih lunak untuk menggalang dukungan, warga setempat tampaknya setia mendukung partai-partai politik yang akrab dengan isu-isu yang berkembang di wilayah mereka.
“Perdana menteri tahu bagaimana awalnya ia bisa memegang jabatannya sekarang. Ia bukan pilihan rakyat. Saya kira ia tidak akan terpilih untuk memegang kembali jabatan itu. Saat kampanye, para kandidat sering menggembar-gemborkan kebijakan-kebijakan yang bagus. Namun setelah terpilih, mereka tidak memenuhi janji mereka,” ungkap Picha Kai-Kitchaeron, pemilik toko di kota Krabi.
Jumlah kandidat pada pemilu kali ini lebih dari tiga kali lipat dibanding pada pemilu tahun 2011, termasuk anggota parlemen dari Partai Demokrat asal Krabi Sakorn Kiew-kong, yang optimistis bahwa ia akan kembali terpilih.
Namun Kiew-kong tidak yakin dengan hasil secara keseluruhan. Ia menghkhawatirkan perubahan konstitusi yang telah dilakukan akan menempatkan partai yang didukung militer kembali ke kekuasaan.
“Saya kira pemilu kali ini tidak akan adil. Mereka telah merancang konstitusi yang mendukung mereka. Mereka menginginkan kehadiran banyak partai agar suara pemilih terpecah sehingga mereka akan memiliki kekuasaan lebih besar di parlemen,” ujarnya.
Kekuasaan militer semakin terasa kental di bagian selatan Thailand, seiring meningkatnya konflik antara separatis Muslim dan pasukan Thailand dalam beberapa pekan terakhir.
Para pengamat, termasuk Srisompob Jitpiromsri, Direktur Deep South Watch, mengatakan, resolusi perdamaian tidak akan terwujud jika militer mempertahankan pendekatan keras di kawasan itu.
"Kondisinya tidak begitu bagus bagi masyarakat umum. Undang-undang khusus juga masih diberlakukan, termasuk undang-undang militer dan undang-undang negara dalam keadaan darurat,” jelasnya.
Dengan semakin mendekatnya pelaksanaan pemilu, para pengamat berharap demokrasi yang sesungguhnya akan bisa dihasilkan dalam proses pemilihan para pemimpin rakyat ini di Thailand. [ab]