Perekonomian mulai kembali bergairah seiring melonggarnya banyak pembatasan terkait pandemi COVID-19. Namun, rupanya, itu tidak memicu banyak perempuan AS untuk kembali mengejar karier.
Fakta tersebut, setidaknya, tergambar jelas di kalangan perempuan pekerja kerah putih – istilah yang merujuk pada pekerjaan administratif, manajerial atau profesional untuk sebuah organisasi dan bergaji tetap.
Debra Lancaster, Direktur Eksekutif, Pusat Kajian Perempuan dan Pekerjaan di Universitas Rutgers, New Jersey, membenarkan itu."Saya kira banyak perempuan memang memikirkan kembali prioritas hidup mereka. Saya kira bahkan sebagian besar pekerja di negara ini melakukan itu."
Menurut Lancaster banyak hal yang mempengaruhi keputusan itu, termasuk tidak tersedianya cuti yang ditanggung perusahaan dalam urusan anak dan keluarga; belum tersedianya prasarana perawatan anak yang andal dan terjangkau, dan adanya kesenjangan gaji berdasarkan gender.
Menurut analisis Biro Sensus AS. sewaktu pandemi mulai melanda pada musim semi 2020, sekitar 3,5 juta ibu dengan anak usia sekolah kehilangan pekerjaan, mengambil cuti atau meninggalkan pasar tenaga kerja sama sekali. Pada September tahun ini jumlah itu hanya sedikit berubah. Biro itu mengungkapkan, dibandingkan dengan dua tahun lalu atau masa sebelum pandemi, sekitar 3,1 juta masih belum kembali bekerja.
Laporan terbaru tentang "Wanita di Tempat Kerja" dari perusahaan konsultan McKinsey & Co. ikut menunjukkan betapa banyak perempuan mengubah prioritas mereka terkait pekerjaan.
Menurut laporan itu, satu dari tiga perempuan selama setahun terakhir telah berpikir untuk meninggalkan pekerjaan mereka atau menurunkan ambisi karier mereka.
Keryn Francisco, mantan perancang proyek untuk perusahaan konstruksi North Face, adalah satu di antaranya. Sewaktu pandemi merebak, ia harus memutuskan apakah akan pindah bersama perusahaannya ke Denver dan meninggalkan keluarganya. Ia memilih untuk tidak melakukannya karena tidak bisa meninggalkan keluarganya.
Dan ketika virus COVID-19 kian mengamuk, ia menjadi lebih nyaman dengan keputusannya tersebut, bahkan jika itu berarti menganggur dan terpaksa menggunakan uang pesangonnya. Ia merasa lega bisa fokus merawat putranya dan orang tuanya yang lanjut usia di San Francisco Bay Area.
"Saya pikir pandemi adalah katalisatornya. Rasanya sedikit klise karena saya pernah mendengar ini sebelumnya, tapi saya percaya itu adalah hal yang benar-benar membuat semua orang merenungkan hidup. Dulunya, saya berpikir bahwa keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di luar kantor adalah sebuah fantasi. Tetapi, begitu Anda meninggalkan perusahaan dan Anda benar-benar dapat mengatur napas, sesuatu berubah di dalam diri Anda,” jelas Francisco.
Fransisco sendiri mengaku, ia masih ingin bekerja. Tapi ia juga mengatakan, kepentingan keluarganya menjadi pertimbangan utama.
Banyak pakar dunia kerja mengatakan, fakta perubahan prioritas itu tidak ditemukan di kalangan perempuan pekerja kerah biru, terutama mereka yang berupah rendah dan berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. [ab/uh]