Menjelang dimulainya Piala Dunia pada 12 Juni, banyak warga Brazil yang tidak merasakan kemeriahan itu. Ledakan ekonomi yang mengentaskan 40 juta orang dari kemiskinan pada dekade terakhir, dan memotivasi negara itu untuk menjadi tuan rumah acara olahraga paling populer di dunia itu, telah menyurut.
Dengan meningkatnya inflasi, kemacetan di perkotaan dan lonjakan angka kejahatan, sejumlah warga pada setahun terakhir berdemonstrasi melawan pengeluaran US$11 miliar untuk Piala Dunia dan dugaan korupsi yang membuat naiknya biaya pembuatan stadion dan proyek-proyek infrastruktur lainnya, dimana beberapa tidak pernah terwujud.
Selain laporan olahraga, tayangan di televisi juga menampilkan tentara dan polisi yang dikerahkan di 12 kota tuan rumah untuk menjamin pemogokan buruh, demonstrasi dan kejahatan tidak mengganggu turnamen.
Kurangnya antusiasme tampak jelas di pinggir jalan, alun-alun dan kafe-kafe. Biasanya setiap empat tahun setiap sudut kota dipenuhi warna kuning dan hijau, tapi kali ini tidak.
"Orang-orang merasa jijik," ujar Mariana Faria, pemilik toko barang-barang pesta di pusat kota Rio de Janeiro, dimana penjualannya 40 persen lebih rendah dibandingkan empat tahun lalu ketika Piala Dunia diadakan di Afrika Selatan empat tahun lalu.
"Tidak ada yang ingin menghabiskan uang untuk sesuatu yang sekarang terkait dengan pemborosan dan korupsi."
Mantan Presiden Luiz InĂ¡cio Lula da Silva, menanggapi pertanyaan kurangnya layanan kereta ke stadion dan masalah dengan infrastruktur lainnya yang jauh dari yang dijanjikan, mengatakan warga Brazil harus berusaha dengan fasilitas yang ada.
"Kita tidak pernah bermasalah dengan berjalan kaki," ujar Lula, menambahkan bahwa penonton dapat pergi ke pertandingan dengan "berjalan kaki, naik sepeda, naik keledai."
Presiden Dilma Rousseff, pengganti Lula sekaligus penerusnya, telah mendesak rakyat Brazil untuk mengesampingkan rasa frustrasinya dan dengan damai menyambut lebih dari 800.000 pengunjung asing.
Survei dari Pew Research Center yang berbasis di Washington pekan ini menunjukkan bahwa 72 persen warga Brazil merasa tidak puas dengan keadaan di negaranya, dibandingkan dengan 55 persen setahun lalu. Sebanyak 61 persen dari responden tidak setuju menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Untuk banyak orang, Piala Dunia melambangkan kesenjangan antara janji pemimpin dan apa yang mereka hasilkan, baik itu sekolah dan rumah sakit atau ladang minyak yang ditemukan sebelum Brazil memenangkan hak menyelenggarakan turnamen, yang gagal berkembang karena biaya tinggi dan birokrasi.
Persiapan Piala Dunia sangat lambat, termasuk kursi-kursi yang masih dipasang di stadion untuk pembukaan, sampai sekretaris jenderal FIFA, lembaga pengelolaan sepakbola, pernah mengatakan bahwa Brazil perlu "ditendang dari belakang." (Reuters)
Dengan meningkatnya inflasi, kemacetan di perkotaan dan lonjakan angka kejahatan, sejumlah warga pada setahun terakhir berdemonstrasi melawan pengeluaran US$11 miliar untuk Piala Dunia dan dugaan korupsi yang membuat naiknya biaya pembuatan stadion dan proyek-proyek infrastruktur lainnya, dimana beberapa tidak pernah terwujud.
Selain laporan olahraga, tayangan di televisi juga menampilkan tentara dan polisi yang dikerahkan di 12 kota tuan rumah untuk menjamin pemogokan buruh, demonstrasi dan kejahatan tidak mengganggu turnamen.
Kurangnya antusiasme tampak jelas di pinggir jalan, alun-alun dan kafe-kafe. Biasanya setiap empat tahun setiap sudut kota dipenuhi warna kuning dan hijau, tapi kali ini tidak.
"Orang-orang merasa jijik," ujar Mariana Faria, pemilik toko barang-barang pesta di pusat kota Rio de Janeiro, dimana penjualannya 40 persen lebih rendah dibandingkan empat tahun lalu ketika Piala Dunia diadakan di Afrika Selatan empat tahun lalu.
"Tidak ada yang ingin menghabiskan uang untuk sesuatu yang sekarang terkait dengan pemborosan dan korupsi."
Mantan Presiden Luiz InĂ¡cio Lula da Silva, menanggapi pertanyaan kurangnya layanan kereta ke stadion dan masalah dengan infrastruktur lainnya yang jauh dari yang dijanjikan, mengatakan warga Brazil harus berusaha dengan fasilitas yang ada.
"Kita tidak pernah bermasalah dengan berjalan kaki," ujar Lula, menambahkan bahwa penonton dapat pergi ke pertandingan dengan "berjalan kaki, naik sepeda, naik keledai."
Presiden Dilma Rousseff, pengganti Lula sekaligus penerusnya, telah mendesak rakyat Brazil untuk mengesampingkan rasa frustrasinya dan dengan damai menyambut lebih dari 800.000 pengunjung asing.
Survei dari Pew Research Center yang berbasis di Washington pekan ini menunjukkan bahwa 72 persen warga Brazil merasa tidak puas dengan keadaan di negaranya, dibandingkan dengan 55 persen setahun lalu. Sebanyak 61 persen dari responden tidak setuju menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Untuk banyak orang, Piala Dunia melambangkan kesenjangan antara janji pemimpin dan apa yang mereka hasilkan, baik itu sekolah dan rumah sakit atau ladang minyak yang ditemukan sebelum Brazil memenangkan hak menyelenggarakan turnamen, yang gagal berkembang karena biaya tinggi dan birokrasi.
Persiapan Piala Dunia sangat lambat, termasuk kursi-kursi yang masih dipasang di stadion untuk pembukaan, sampai sekretaris jenderal FIFA, lembaga pengelolaan sepakbola, pernah mengatakan bahwa Brazil perlu "ditendang dari belakang." (Reuters)