Dari marah hingga pasrah. Itu yang dirasakan Fadhla Junus ketika tunjangan hidup beasiswa sebesar sedikitnya $1.500 yang sangat dibutuhkannya, tak kunjung diterima sejak Agustus.
"Kaya kena PHP (pemberi harapan palsu -red) istilahnya," ujar mahasiswi PhD jurusan engineering education di Universitas Purdue ini. "Ini saya ini ke sini sekolah, awalnya dijanjikan dibiayai oleh negara. Kenyataannya kok seperti diterlantarkan," keluh penerima beasiswa 5000 Doktor Luar Negeri Kementerian Agama (Kemenag) ini kepada VOA.
Apalagi, kemacetan aliran dana itu terjadi di tengah inflasi, yang menyebabkan harga berbagai kebutuhan seperti telur dan susu meningkat tajam.
"Rasanya seperti dihantam sana-sini," ujar Fadhla, yang tinggal bersama suami dan tiga anaknya di sebuah apartemen dua kamar di West Lafayette. Ia membayar sewa $900 setiap bulan, dan tahun depan biayanya akan naik karena inflasi, katanya.
Rata-rata rumah tangga di negara bagian Indiana membayar 685 dolar lebih mahal untuk barang dan jasa yang sama dengan yang dibeli pada Januari 2021, menurut Laporan Inflasi Indiana yang dirilis oleh Komite Ekonomi Gabungan Kongres AS.
Untuk membiayai kebutuhan hidup, suaminya bekerja lembur menyetok barang di supermarket dari malam hingga pagi hari, sementara Fadhla bekerja paruh waktu sebagai asisten pengajar di kampus. Tak banyak waktu dan energi yang tersisa untuk belajar.
Birokrasi Lamban
Menurut berbagai laporan, kemacetan itu terjadi karena terdapat perubahan birokrasi.
“Jadi saat ini ada perubahan sumber anggaran yang semula dibiayai APBN (Kemenag) sekarang dibiayai LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan-Kementerian Keuangan)," kata Dirjen Pendidikan Islam Kemenag M Ali Ramdhani dalam keterangan di situs Kemenag (3/11)."Sistem pencairan anggaran juga berubah menggunakan sistem LPDP, mulai item persyaratan pencairan maupun mekanismenya.”
Perubahan skema ini melibatkan pemeriksaan dan verifikasi berkas lebih lanjut. Misalnya, mahasiswa diminta mengirimkan berkas lapor diri dan/atau bukti yang memperlihatkan bahwa anggota keluarga ikut mendampingi.
LPDP mengatakan pihaknya segera mencairkan dana apabila semua kelengkapan telah terpenuhi.
"Kalau untuk program kolaborasi, ada mata rantai birokrasi dari kementrian teknis (Kemenag -red) yang harus mengajukan dan disana sepanjang persyaratan sudah terpenuhi, kita salurkan (dananya)," kata Kepala Divisi Hukum dan Komunikasi LPDP Mohammad Lukmanul Hakim kepada VOA pada Senin (14/11).
Fadhla mengaku sudah mengetahui sejak awal tahun soal rencana kolaborasi kedua kementerian itu dalam penanganan beasiswa, namun tak menyangka prosesnya akan berlarut-larut dan berdampak pada kesejahteraan mahasiswa.
"Sejak Februari-Maret sudah diminta untuk melakukan pemberkasan," ujar Fadhla. "Kenyataannya 2022 sudah hampir berakhir. Berkali-kali diminta revisi berkas lagi," tambahnya.
Puluhan Mahasiswa Indonesia di Australia Protes
Sebelumnya, berbagai laporan menyebutkan lebih dari 80 mahasiswa Indonesia di Australia mengadukan nasib mereka ke kantor perwakilan pemerintah di negara itu. Mereka mengeluh karena tidak kunjung menerima tunjangan hidup. Sebagian bahkan tak terima sampai sembilan bulan sejak awal tahun.
Aksi pada 28 Oktober itu mendapat perhatian banyak media. Tempo melaporkan ada mahasiswa yang terpaksa jadi petugas kebersihan dan ada juga yang tidur di garasi untuk menekan biaya hidup.
Isu itu juga mendapat sorotan dari DPR. Anggota Komisi VIII DPR RI KH Maman Imanulhaq pada akhir Oktober menyerukan Kemenag untuk segera mencairkan beasiswa agar studi mahasiswa tidak terganggu dengan birokrasi.
Percepatan Pencairan Beasiswa
Setelah mendapat tekanan, lembaga pemberi beasiswa bergerak melakukan "percepatan pencairan beasiswa."
Ditjen Pendidikan Islam dan LPDP membentuk gugus tugas percepatan, menyediakan aplikasi khusus untuk proses verifikasi berkas dan bahkan membuat grup WhatsApp dengan para penerima beasiswa.
Kurang dari seminggu kemudian, sebagian beasiswa cair. Ramdhani mengatakan dalam keterangan awal November bahwa pencairan dilakukan secara bertahap dan sebanyak 136 orang sudah menerima pembayaran.
Perkembangan itu tentu menggembirakan bagi para mahasiswa, tapi "Apakah harus viral dulu, baru dikerjakan?" tanya Fadhla.
Ia sendiri belum menerima bagiannya.
Kepala Divisi Pelayanan LPDP Gendro Hartono mengatakan kepada VOA, "Kalau beberapa masih ada yang belum terima, itu berarti masih dalam proses." Ia tak menyebut berapa banyak mahasiswa yang masih diproses.
Sambil menunggu, Fadhla mengaku hanya bisa pasrah. "Sampai sekarang saya sudahlah terserah, kalau cair ya cair, sekarang sudah lebih ke pasrah," ujar perempuan yang akrab disapa Lala ini. Ia hanya ingin fokus pada tiga hal, katanya, yakni "keluarga, studi dan bertahan hidup." [vm/ab]
Forum