Dalam beberapa tahun terakhir, China melakukan ekspansi luar biasa dalam upaya memengaruhi opini publik melalui media di berbagai negara. Indonesia tak luput dari upaya tersebut di mana pemerintah China melancarkan usahanya melalui berbagai cara seperti penyebaran propaganda, berita palsu bahkan pengancaman terhadap jurnalis.
Kesimpulan itu disampaikan Sarah Cook, direktur peneliti untuk isu China, Hong Kong, dan Taiwan di lembaga Freedom House. Lembaga tersebut melakukan penelitian terkait fenomena ekspansi pengaruh China di sektor media di 30 negara pada periode 2019-2021.
“Apa yang kami temukan. Tidak mengherankan, Partai Komunis China melakukan akselerasi dalam kampanye yang yang sangat mahal dan bernilai miliaran dolar, untuk membentuk opini publik,” kata Sarah.
“Dan apa yang kita lihat adalah, bukan hanya upaya itu semakin berkembang tetapi taktik yang digunakan semakin canggih, terselubung dan koersif,” tambahnya.
Sarah menyampaikan temuan tersebut dalam acara diskusi Beijing's Global Media Influence 2022: Authoritarian Expansion & the Power of Democratic Resilience. Diskusi diselenggarakan oleh Departemen Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, pada Kamis (1/12).
Setidaknya ada lima taktik yang diterapkan Beijing dalam melancarkan upayanya. Pertama adalah propaganda, yang disebut Sarah dijalankan dengan investasi besar dari Partai Komunis China.
“Propaganda yang diberi label dengan jelas bahwa itu konten dari media resmi negara itu tidak mengkhawatirkan, karena masyarakat bisa mengevaluasi apa itu dan mereka tahu dari siapa propaganda itu berasal. Menjadi jauh lebih rumit, ketika asal-usulnya tersembunyi,” tambah Sarah.
Taktik kedua adalah kampanye disinformasi, yang lebih banyak menimbulkan masalah karena munculnya berita palsu dan dampak yang lebih buruk lagi. Lalu, ada pula sensor dengan mengintimidasi jurnalis atau media, menutup laman berita dan mengancam jurnalis asing di China, atau melakukan serangan siber.
Taktik keempat adalah distribusi konten dengan mengontrol publikasi terutama di internal China, misalnya melalui aplikasi WeChat. Taktik kelima sendiri mencakup penyebaran model jurnalisme otoriter yang dikembangkan Partai Komunis China, melalui melalui pelatihan jurnalis. Upaya-upaya tersebut ditempuh dengan melatih sejumlah pejabat lokal di negara lain, untuk melakukan sensor terhadap media di negara mereka sendiri.
Variasi Pengaruh di 30 Negara
Dari 30 negara yang diteliti Freedom House, 18 negara menerima pengaruh intensif dari Beijing selama periode 2019 hingga 2021, lebih tinggi dibanding beberapa tahun sebelumnya. Sekurangnya 16 negara menghadapi pengaruh yang tinggi atau sangat tinggi, dan hanya 4 negara yang dinilai menghadapi ancaman yang cukup rendah.
Beberapa negara yang menerima pengaruh paling tinggi dengan taktik sangat agresif adalah Taiwan, Amerika Serikat, dan Inggris. Sementara Nigeria, Spanyol, Filipina, Indonesia, Argentina, Italia, dan Kenya menghadapi tingkat pengaruh di bawah ketiga negara tadi, tetapi tetap dalam skala yang yang tinggi.
Dalam penerapannya, pengaruh Beijing terhadap 130 media arus utama di 30 negara dapat ditemui dalam berbagai bentuk antara lain melalui pemberitaan yang tidak dilabeli dengan jelas yang menghasilkan sebuah narasi yang membingungkan apakah berita tersebut merupakan sebuah iklan resmi atau bukan.
Laporan yang muncul biasanya juga tidak memiliki identitas pemasang yang jelas seperti yang ditemukan di surat kabar The Hindu, India, di mana terbit sebuah laporan tanpa identitas yang jelas sepanjang satu halaman.
Beijing juga mengeluarkan investasi besar untuk memproduksi siaran radio, melalui China Radio International. Mereka bahkan menyediakan siaran dalam bahasa-bahasa yang kurang populer, seperti Sinhala, Rumania hingga bahasa Ibrani. Di sosial media, pihak Beijing melakukan ekspansi pengaruh melalui akun palsu dengan kampanye disinformasi, untuk keperluan propaganda.
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah China adalah melakukan penyensoran. Penelitian Freedom House menemukan contoh penyensoran atau intimidasi di 24 dari 30 negara yang diteliti. Taktik utama yang sangat umum dijalankan dalam praktik tersebut adalah pejabat pemerintah China seperti perwakilan kedutaan besar menelepon dan mencoba mengintimidasi jurnalis lokal atau editor lokal. Selain itu, ada pula pejabat pemerintah daerah atau editor media lokal, yang memiliki kepentingan terkait China, melakukan sensor mandiri untuk liputan mereka.
Penelitian tersebut juga menemukan, bahwa undang-undang kebebasan pers, aktivis anti China, hingga pemutusan kerja sama konten media, cukup mampu menahan laju upaya Beijing memengaruhi opini publik di negara lain.
Pengaruh Besar di Indonesia
Dosen di Departemen Hubungan Internasional, UII Yogyakarta, Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat secara khusus meneropong strategi China dalam memperluas upayanya memengaruhi opini publik Indonesia. Tujuan upaya ini, kata Rakhmat, adalah mengamplifikasi narasi Beijing di Indonesia, dengan isu utama yang digarap adalah soal Xinjiang atau Uighur dan dampak program Belt and Road Initiative di dalam negeri.
Rahmat menjelaskan bahwa sejumlah cara ditempuh oleh pemerintah China dalam menjalankan misi tersebut.
“Yang pertama adalah memperluas kehadiran fisik. Sejumlah media China telah membuka kantor di Indonesia, seperti Hi Indo dan Xinhua, dan mereka merekrut jurnalis serta staf lokal,” kata Rakhmat dalam diskusi ini.
Kantor media itu juga cukup aktif dalam penyebaran informasi. Xinhua, misalnya, memiliki akun twitter berbahasa Indonesia dengan sekitar 70 ribu pengikut. Narasi yang sering disampaikan adalah pidato Presiden China Xi Jinping, keuntungan Belt and Road Initiative bagi Indonesia, penyatuan Taiwan dengan China, hingga berita kunjungan politisi Indonesia ke Xinjiang.
Selain itu, China juga memiliki kesepakatan dengan sejumlah media di Indonesia, dimana media-media lokal akan memuat ulang berita-berita terkait China. Dampak buruknya, media Indonesia yang memiliki kesepakatan semacam ini, cenderung menghindari publikasi berita negatif tentang pemerintah China.
Selain memperkuat kehadiran di Indonesia, China juga rutin mengundang jurnalis Indonesia datang ke negara tersebut. Pada 2019 misalnya, China mengundang sejumlah jurnalis untuk hadir dari konferensi mengenai Belt and Road Initiative. Selain itu ada pula pelatihan yang dilakukan oleh China Communication University dan China International Radio bagi jurnalis Indonesia.
Bentuk ketiga adalah melalui sensor. China menekan aplikasi seperti Tik Tok untuk menghapus konten yang mengkritik Beijing, termasuk meminta perusahan ByteDance, untuk menyensor berita dalam aplikasi berita BaBe atau Baca Berita yang beroperasi di Indonesia.
“Pada 2019-2020, Tik Tok telah menghapus sejumlah konten yang terkait dengan Xinjiang dan sengketa Laut China Selatan,” ujar Rakhmat.
Strategi Berbeda di Malaysia
Tidak seperti di Indonesia, dimana China menerapkan pendekatan langsung, di Malaysia strategi yang diterapkan pihak Beijing sedikit berbeda. Benjamin YH Loh, dosen di School of Media and Communication, Taylor's University, Malaysia dalam acara diskusi tersebut memaparkan bagaimana Beijing memanfaatkan media lokal berbahasa China untuk mencapai tujuannya.
Malaysia memiliki sekitar 22 persen warga keturunan China. Karena jumlah yang cukup besar, komunitas ini memiliki media sendiri, dengan menggunakan bahasa China. Pemilik media tersebut, dinilai memiliki kedekatan dengan Beijing.
“Jadi tujuan utama mereka, adalah untuk menjadi semacam media independen berbahasa China yang lebih bersimpati terhadap narasi yang dibangun China. Jadi ini benar-benar sebuah pendekatan yang tidak langsung,” ujar Benjamin.
Pilihan strategi ini dilakukan, karena pada umumnya masyarakat Malaysia cenderung skeptis terhadap media-media, terutama yang didukung pemerintah.
Langkah serupa dilakukan oleh Kedutaaan Besar China di Malaysia, yang cenderung melakukan pendekatan lebih lunak. Misalnya mereka sering mengundang para jurnalis mengikuti acara makan siang, dimana salah satu acara di dalamnya adalah penjelasan resmi pemerintah China dalam sejumlah isu yang sedang hangat.
“Jadi dalam banyak hal, jika kita kesampingkan peran China Radio International, media resmi China memiliki kaitan yang relatif kecil dengan media-media di Malaysia,” tambah Benjamin. [ns/rs]
Forum