DR. Gail Stern dikenal sebagai seorang yang lucu. Dia menggunakan kemampuan tersebut untuk mengajar mahasiswa, anggota militer dan pebisnis dalam mencegah aksi pelecehan seksual.
DR. Stern mengungkapkan dia telah melakukan Standup Comedy atau Lawakan Tunggal sejak remaja. Dengan menggunakan humor, dia dapat membuka percakapan tentang topik-topik yang sulit dibicarakan. “Ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar membuat orang tertawa,” ungkap dia.
Bersama rekan kreatifnya, Christian Murphy, DR. Stern telah menghabiskan 20 tahun untuk mengembangkan Chatarsis Productions, sebuah acara live yang menyajikan video-video yang edukatif dan membuat penontonnya mempertanyakan kebenaran asumsi-asumsi mereka tentang pelecehan seksual dan perilaku normatif.
Menurutnya, program tersebut dapat menyentuh berbagai kalangan karena bisa membantu orang-orang untuk memahami situasi sulit dengan humor. Dan dengan tertawa, imbuhnya, penonton bisa ikut terlibat berdialog tanpa merasa tertekan.
Stern mengatakan, skandal seksual yang sedang mewarnai industri Hollywood, politik dan media tidak begitu mempengaruhi bagaimana penyajian program Chatarsis.
Menurut catatannya, ada skandal seksual yang melibatkan tokoh-tokoh lainnya seperti bintang bola basket Kobe Bryant, komedian Bill Cosby, dan beberapa calon presiden. “Ketika hal tersebut sedang ramai diperbincangkan, kami akan bahas,” katan
Salah satu hal yang positif tentang banjir tuduhan skandal seksual akhir-akhir ini adalah terbukanya ruang publik untuk berdialog. Baik atau buruk, kata Stern, “Orang-orang di berbagai negara tertarik dengan apa yang telah kami perbincangan selama bertahun-tahun.”
Sesi Pelatihan
Ketika Stern dan 28 tenaga pendidik lainnya mengadakan sebuah sesi pelatihan berjudul “Sex Signals,” mereka juga menyertakan sesi wawancara.
“Sebelumnya dalam versi lama program tersebut, para pendidik mewawancarai pelaku pelecehan seksual,” kata Stern. “Penonton selalu menyalahkan korban. Kemudian kami mewawancarai para saksi, seluruh penonton bisa memaklumi kalau mereka saksi.”
Dalam sebuah video yang merangkum tentang sebuah sesi berjudul Beat The Blame Game, seorang instruktur bertanya pada seorang penonton, “ketika seseorang mengatakan dia dilecehkan secara seksual, bagaimana mereka diperlakukan?”
Dia menjawab, “biasanya diperlakukan sangat buruk.”
Sang instruktur membawa acara dengan sangat menarik. Para penontonnya yang masih muda aktif berpartisipasi, menjawab dan tertawa setiap leluconnya.
Sesi tersebut menjelaskan bagaimana penuduhan terhadap korban terjadi, menggunakan analogi seperti kasus pencurian sepeda.
Perilaku yang menyalahkan si korban adalah kecenderungan untuk memecahkan sebuah masalah setelah sebuah persitiwa terjadi,” seorang instruktur lainnya mengatakan dalam video yang sama. “Jadi ketika sepeda anda dicuri, ada kecenderungan seorang teman mengatakan kepada anda, ‘ya, apa kamu mengunci sepedanya dengan baik? Apa kamu menaruhnya di tempat yang aman?’ Dan ketika mereka menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mereka bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah menuduh anda terlibat kejahatan itu, padahal anda sebenarnya korban.”
Tujuan utama dari acara ini adalah untuk menciptakan sebuah komunitas, di mana seorang korban dapat membela dirinya tanpa merasa takut ketika dia mengalami pelecehan seksual. “Siapa yang sebenarnya si korban takuti?” instruktur pertama bertanya kepada penontonnya. “Kami. Mereka takut kepada kami.” [ma/fw]