Ruang pertemuan University Center di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta penuh sesak, Selasa malam (10/10). Ratusan orang, mayoritas mahasiswa, berkumpul untuk mendengarkan kisah dua mantan milisi perang Nigeria. Imam Muhammad Nurayn Ashafa dan Pendeta James Movel Wuye datang untuk berbagi cerita tentang bagaimana perubahan mereka dari seorang pemimpin milisi yang terlibat peperangan, menjadi seorang yang memperjuangkan perdamaian.
Awal tahun 1990-an, keduanya terlibat dalam konflik. Ratusan gereja dan masjid dibakar selama konflik yang berlangsung beberapa tahun dengan jumlah korban yang diperkirakan lebih dari 2.000 orang. Tangan James Wuye dipotong oleh seorang milisi Muslim. Guru mengaji Ashafa dibunuh milisi Kristen.
James Wuye dan Ashafa berjanji berperang sampai mati mempertahankan kehormatan agama masing-masing sampai keduanya sadar setelah melihat bagaimana konflik menghancurkan kehidupan masyarakat negara bagian Kaduna, di Nigeria. Mereka hadir di Indonesia untuk berbagi pengalaman tentang penyelesaian konflik agama berbasis ajaran agama itu sendiri.
Sejumlah pihak terlibat dalam kegiatan tersebut, seperti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Lembaga Antar-Iman Maluku, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM, Tanenbaum Foundation, dan Yayasan Tifa.
Putri almarhum Gus Dur, Alissa Wahid memandu kuliah publik ini. Saat memperkenalkan kedua tamu, Alissa melontarkan guyonan tentang apa yang terjadi di Indonesia. “Kedua tokoh ini adalah mantan pemimpin milisi. Mereka sebelumnya saling berperang dan sekarang menjadi tokoh agama. Sepertinya, di Indonesia justru yang terjadi sebaliknya, ada tokoh agama yang kemudian beralih menjadi milisi,” kata Alissa, yang disambut tawa peserta.
Resolusi Konflik Agama
Pendeta James Wuye banyak berbicara tentang konflik dan penanganannya. Menurut Pendeta James, konflik kadang bukan masalah yang mendasar, namun persoalannya adalah bagaimana cara masyarakat menangani konflik itu.
Dia mengaku pernah melakukan kesalahan besar ketika menangani konflik dengan konfrontasi. Langkah ini melahirkan ketakutan, pengelompokan dalam masyarakat dan situasi panas.
“Anda hidup dalam sebuah negara yang sejahtera dan aman. Jangan pernah sekalipun membayangkan Anda terlibat dalam pertikaian seperti kami,” kata James Wuye.
Sebagai penganut Kristen, James Wuye kemudian menemukan bahwa agama tidak dapat dijadikan alasan untuk berperang karena agama justru penuh dengan pesan perdamaian, terutama dengan tetangga terdekat dan saudara. Jika timbul konflik, umat beragama harus kembali ke kitab suci masing-masing karena di sana perdamaian dituliskan, kata James Wuye.
“Melihat kembali apa yang saya lakukan di masa muda, saya sudah terlibat dalam cara-cara negatif dalam menangani konflik yang membuat saya kehilangan tangan, dalam upaya saya mempertahankan gereja melawan serangan musuh saya, kaum Muslim,” kata Wuye. “Saya menyesali masa lalu saya. Saya berharap bahwa itu tidak terjadi. Saya berharap tidak kehilangan tangan dan tidak jatuh begitu banyak korban dalam perang itu,” kata Wuye menambahkan.
Agama Tidak Bisa Dibanding-bandingkan
Imam Muhammad Ashafa menyatakan, agama bukan sesuatu yang bisa dibanding-bandingkan seperti dalam sebuah prinsip Islam yang menyatakan: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Islam juga agama yang menyerukan perdamaian. Nabi Muhammad sendiri memberikan contoh yang nyata, salah satunya dengan mengeluarkan sebuah dekrit untuk melindungi biara St. Catherine di Sinai, Mesir. Nabi Muhammad dengan tegas menyatakan, umat Islam harus melindungi umat Kristen dan tempat ibadah mereka.
Hubungan baik antar kedua agama sebenarnya sudah terjalin jauh sebelum itu. Misalnya, ketika Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk berlindung ke Kerajaan Kristen Abyssinia atau yang kini dikenal sebagai Ethiopia untuk menghindari perlakuan kejam di Mekah. Nabi Muhammad yakin umatnya akan terlindungi dan diberi kebebasan beribadah disana.
“Pergilah ke Abyssinia, di sana ada seorang raja Kristen yang hatinya penuh dengan keadilan dan kebijaksanaan. Dan kemudian umat Islam ke sana, berdialog dengan sang raja. Jadi, Afrika sudah memberikan perlindungan kepada komunitas Muslim pertama. Afrika sudah memberikan banyak kepada komunitas Muslim dan Kristen sejak awal sekali,” kata Ashafa menjelaskan.
Ashafa mengajak semua untuk merenungkan tentang fakta bahwa agama saat ini terlibat dalam banyak konflik umat manusia di seluruh dunia. Setiap agama memiliki penganut yang melakukan kekerasan atas nama agama dan Tuhan mereka. Dalam kondisi ini, umat harus melihat seperti apa tokoh yang memimpin mereka.
Pemimpin agama yang baik, menurut Ashafa, adalah pemimpin yang melihat setiap kehidupan itu berharga dan "kita melihat Tuhan dalam setiap yang dia lakukan."
“Pemimpin kedua adalah yang buruk. Dia tidak tahu agama dan tidak punya kapabilitas. Mereka ini membuat fatwa lewat media sosial dan meminta orang mengikutinya," kata Ashafa menambahkan. "Terakhir, pemimpin jahat. Mereka membolak-balikkan hukum agama untuk kepentingan mereka sendiri. Ini adalah jenis pemimpin yang harus kita hindari,” ujar Ashafa.
Kedua pemimpin agama ini berbagi tips untuk menjaga perdamaian antar agama, antara lain menghindari pemisahan wilayah bedasar agama dan umat beragama harus memiliki ingatan kolektif tentang kehidupan damai.
Saran lainnya adalah sebaiknya tidak membandingkan agama karena masing-masing mengaku paling benar. Umat beragama harus saling belajar dengan tetap meyakini kebenaran agama masing-masing. Solidaritas negatif seperti membela kejahatan hanya karena dilakukan oleh umat yang beragama sama, adalah tindakan yang dilarang.