Belum lama ini, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang yang berada di bawah Kementerian Agama RI merilis hasil survei yang menyatakan, Habib Riziek menjadi tokoh idola pelajar SMU di Jawa Tengah dan DIY. Meski masih bisa diperdebatkan, hasil penelitian itu setidaknya membuktikan bahwa sejumlah tokoh beraliran keras, cenderung populer di masyarakat.
Keluarga Besar Marhaenis (KBM), organisasi kaum nasionalis di Yogyakarta, merasa prihatin dengan kondisi itu. Tidak hanya soal radikalisme di kalangan pelajar, tetapi juga begitu masifnya paham tersebut masuk ke lingkungan sekolah dengan berbagai cara.
Dalam diskusi bersama sejumlah elemen masyarakat dan politisi lokal di Yogyakarta hari Senin siang (9/10), Agus Subagyo dari KBM mengajak masyarakat pendidikan dan pemerintah daerah, segera menyadari kondisi itu. Dalam beberapa tahun terakhir, kata Agus, Indonesia seolah tidak istirahat dari konflik horizontal, dengan agama menjadi salah satu faktor dominannya.
“Mereka tidak saja mengisi ruang publik dengan aksi-aksi di jalanan, sambil meluncurkan berbagai tuntutan, lebih dari itu dengan memanfaatkan angin demokratisasi, tidak sedikit dari aktor gerakan radikal ini yang bisa masuk ke dalam sistem negara dan pemerintahan. Kehadiran aktor tersebut tidak jarang menebar teror dan ancaman. Geliat para aktor kelompok kekerasan ini perlu diperhatikan. Akhir-akhir ini perannya seolah mengunci peran negara,” kata Agus Subagyo.
Kepada VOA, Agus menyatakan perang ideologi sudah terjadi. Anak muda, khususnya pelajar, adalah sasaran empuk karena dalam sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, merekalah yang akan mewarisi negara ini. Sayangnya, banyak yang belum memahami bahwa situasinya sudah cukup memprihatinkan. Indonesia membutuhkan sistem pendidikan yang mengajak pelajar lebih mengenal diri dan bangsanya sendiri, beserta keanekaragaman dan kekayaan yang dimilikinya, agar generasi muda justru tidak mengimpor paham dari bangsa lain.
Beberapa waktu lalu, Kapolda DIY Brigjen Pol Ahmad Dofiri mengungkapkan, ada sebuah sekolah di Yogyakarta di mana 30 siswanya telah dibaiat untuk tunduk dalam aliran tertentu. Aliran itu jelas mengarah ke radikalisme. Kepolisian, Dinas Pendidikan dan Majelis Ulama kini sedang melakukan pendampingan khusus, agar kejadian ini tidak melebar ke sekolah lain.
Dinas Pendidikan Yogyakarta telah melakukan sejumlah cara mencegah radikalisme di kalangan pelajar. Salah satunya adalah menerapkan pendidikan agama berbasis afeksi mulai SD hingga SMU/SMK. Dalam sistem ini, nilai agama tidak hanya didasarkan pada hafalan, tetapi juga penerapan ajaran agama. Termasuk di antaranya adalah kemampuan siswa untuk bersikap toleran dengan penganut agama lain.
Meski positif, sistem semacam ini tidak masuk dalam kurikulum nasional, karena pemerintah pusat yang menentukan setiap bagian dalam sistem pendidikan.
Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, Prof Wuryadi dalam diskusi menyatakan pentingnya pendidikan karakter. Presiden pertama RI Soekarno memahami betul pentingnya pembangunan karakter dan kebangsaan. Tetapi kemudian pemerintah Orde Baru lebih berkonsentrasi pada pembangunan negara. Akhirnya, generasi muda kini kehilangan orientasi kebangsaan.
Lebih buruk lagi, katanya, Indonesia menerapkan sistem kurikulum yang sentralistik. Padahal setiap daerah memiliki tantangan yang berbeda, termasuk dalam mendidik pelajar agar lebih memahami bangsanya yang kaya perbedaan. Wuryadi mendorong daerah untuk mengambil kebijakan yang berbeda, jika pemerintah pusat tidak memberikan perhatian yang cukup dalam isu ini.
“Sistem pendidikan itu mestinya tidak terlampau sentralistik, tetapi juga tidak terlalu desentralistik. Ada bagian-bagian yang diserahkan kepada daerah, untuk bisa diatur sendiri dengan baik. Meski ada juga bagian yang diatur secara lebih tersentral di tingkat provinsi. Kita kadang-kadang belum bisa melaksanakan ini karena, dinas pendidikan di daerah selalu melihat kalau keputusan itu berasal dari Kementerian maka apapun harus dilakukan,” kata Wuryadi.
Sugiyanto Semangun, Ketua Alumni Lemhanas DIY menilai, Indonesia memiliki tantangan besar dalam pembentukan karakter inklusif generasi muda. Pemerintah, menurut Sugiyanto, harus segera memberi perhatian terhadap pentingnya pendidikan multikultural. “Esensi pendidikan multikultural adalah pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan. Generasi muda diajari bagaimana memahami dan menerima keanekaragaman sebagai bagian eksistensi manusia,” kata Sugiyanto.
Sugiyanto juga menilai, Indonesia mengalami disorientasi nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, dasar negara ini sempat diabaikan karena merupakan produk Orde Baru dan ada pemahaman keliru bahwa apapun yang merupakan bagian dari Orde Baru harus ditinggalkan. Ia mengatakan, “Indonesia sangat membutuhkan Pancasila untuk menjawab ancaman perpecahan akibat generasi muda yang tidak memahami perbedaan suku dan agama milik bangsanya sendiri.” [ns/ab]