Kementerian Sosial memperkirakan setidaknya ada 11 ribu anak yatim, piatu atau yatim piatu sampai saat ini setelah orang tuanya meninggal akibat COVID-19. Kemensos mengaku sedang memverifikasi data tersebut.
Di tingkat bawah, pendataan anak yang kehilangan orang tuanya selama pandemi juga terus dilakukan. Kelurahan Panggungharjo, Kabupaten Bantul, misalnya, sampai saat ini sudah tercatat 38 anak yang masuk dalam kategori itu. Menurut lurah setempat, Wahyudi Anggoro Hadi, wilayahnya mencatatkan total 2.434 kasus COVID-19 dengan 85 kematian. Dari jumlah itu, 20 korban meninggalkan total 38 anak yatim, piatu atau yatim piatu.
“Kita baru mencoba menyusun skema perlindungan anak berbasis masyarakat dengan memanfaatkan keberdayaan sosial maupun skema perlindungan sosial,” kata Wahyudi.
Program lama yang telah ada, seperti beasiswa pendidikan, kesehatan maupun bantuan sosial, sementara ini diarahkan ke anak-anak dalam kelompok tersebut. Pihak kelurahan telah memberikan santunan dan melakukan pendataan anak-anak tersebut secara lebih lengkap.
Di skala wilayah lebih luas, pendataan juga terus berjalan. Panewu, Kepanewonan (Kecamatan) Banguntapan, Kabupaten Bantul, Fauzan Muarifin mencatat terdapat 288 orang meninggal akibat COVID-19 di wilayahnya.
“Ada fenomena yang meninggal statusnya masih orang tua dan meninggalkan anak-anak mereka,” kata Fauzan.
Pemerintah setempat telah melakukan pendataan. Sejauh ini terdapat lebih dari seratus data anak yang orang tuanya meninggal akibat COVID-19 yang masuk. Namun, Fauzan memastikan verifikasi masih akan dilakukan untuk memunculkan data lebih sahih.
Beban Berat yang Mendadak
Psikolog yang juga Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, meyakini proses ini sangat berat bagi anak-anak. Setiap anak memiliki sistem mikro, terkait bagaimana dia dan sekolahnya, bagaimana dengan kehidupan di rumah, dan seterusnya. Karena itulah, kata Alissa, jika berbicara tentang lebih 11 ribu anak yang kehilangan orang tua, maka yang dibicarakan adalah 11 ribu sistem mikro tersebut.
“Kehilangan orang tua di masa pandemi itu, secara natural, bagi anak adalah stressor (penyebab stres -red) terbesar,” kata Alissa dalam diskusi Sambatan Jogja (SONJO) Minggu, (22/8) malam.
Anak-anak cenderung memiliki ketergantungan kepada orang tua mereka. Alissa memberi contoh kasus keuangan keluarga. Ia meyakini anak tidak tahu jumlah yang diperlukan setiap bulan untuk makan dan kebutuhan lain. Kehilangan orang tua, katanya, secara natural menjadi penyebab stres terbesar dan dampaknya lebih terasa di masa pandemi.
“Dalam konteks pandemi ini lebih berat lagi, karena prosesnya sangat tanpa kesiapan dan sangat pendek. Yang terjadi adalah kasus-kasus ketika orang tuanya mulai sakit, dibawa ke rumah sakit dan tidak pernah kembali. Dan mereka juga bahkan tidak bisa mengantar orang tua ke liang lahat,” kata Alissa.
Dalam sejumlah kasus, anak-anak bahkan kehilangan kedua orang tuanya, sehingga tiba-tiba harus hidup sendiri di dalam rumah. Tetangga sekitarnya menjadi pendukung utama keberlangsungan hidup, tetapi tetap tidak mungkin maksimal karena berbagai faktor. Anak-anak ini mungkin akan kehilangan bayangan keberlangsungan masa depannya. Mereka, kata Alissa, tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Jadi, ini shock-nya bertingkat-tingkat, bukan hanya seperti orang dewasa yang kehilangan orang dewasa yang disayangi, tetapi karena pada dasarnya anak ini kehilangan sistem pendukung utamanya. Jadi, benar-benar blocking. Benar-benar gelap,” tambah puteri sulung mendiang Gus Dur ini.
Gusdurian pun, kata Alissa, telah turun tangan dengan memberikan bantuan bagi anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Dalam program berkeliling memberi bantuan ini, mayoritas anak tersebut telah diasuh oleh keluarga besar mereka. Dalam banyak kasus, keluarga besar itu masih tinggal di desa yang sama. Namun, tetap ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
“Kita tahu, tidak semua keluarga besar itu bisa menjalankan peran atau fungsi pengasuhan secara utuh,” tambah Aliisa.
Secara ringkas, proses yang dibutuhkan anak-anak yang orang tuanya meninggal selama pandemi adalah pendampingan awal dalam proses berduka. Kemudian ada pendampingan psikologi sosial jangka pajang, sistem pendukung untuk keberlangsungan hidup dan perlindungan sosial jangka panjang. Gusdurian sendiri tengah membangun platform khusus yang memungkinkan mereka membantu dalam jangka panjang.
Kepedulian yang sama juga dimunculkan banyak lembaga lain. Di Yogyakarta misalnya, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) membuat program khusus yang disebut sebagai ICMI Ngrumat yang bermakna merawat.
Akhmad Akbar Susamto dari ICMI DI Yogyakarta mengatakan ide program ini adalah ketika anak-anak kehilangan orang tua, harus ada yang memastikan bahwa masa depan mereka tetap terjamin.
“Maka kami kemudian membuat sebuah konsep, ICMI akan membantu merawat anak-anak ini untuk pendidikan mereka, minimal sampai mereka lulus SMA,” ujar Akbar dalam diskusi yang sama.
Dalam data ICMI DIY, anak-anak yang orang tuanya meninggal akibat COVID-19, berada dalam rentang usia beragam. Mereka ada di setiap jenjang pendidikan seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau di bawah 6 tahun, Taman Kanak-Kanak, SD, SMP hingga SMA.
Pemerintah memang telah mengucurkan anggaran sektor pendidikan yang memungkinkan sekolah tanpa biaya. Namun faktanya, dalam proses pendidikan setiap hari, siswa tetap membutuhkan biaya pendidikan.
“Ada kebutuhan lain di luar itu yang dibutuhkan untuk menunjang pendidkan mereka sehingga bisa berjalan dengan baik,” tambah Akbar.
Lebih dari itu, ICMI DIY juga memandang anak-anak itu membutuhkan mentor atau pendamping. Setidaknya seseorang yang bisa diajak berbicara, membangun mimpi dan cita cita. Dalam hal seperti inilah, ICMI DIY berharap bisa mengambil peran.
Sebagai tahap awal, ICMI DIY akan memberikan bantuan dan pendampingan bagi 100 anak yang kehilangan orang tua akibat COVID-19.
Pandemi yang Tersembunyi
COVID-19 adalah sebuah pandemi, tetapi dalam skala lebih dalam, munculnya belasan ribu anak yang kehilangan orang tuanya adalah juga pandemi tersendiri. Kondisi ini disebut sebagai pandemi yang tersembunyi.
Wahyu Kustiningsih, dari Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta bahkan mengatakan, bukan tidak mungkin akan muncul pandemi lain, di luar soal anak kehilangan orang tua.
“Kita tidak pernah menyangka akan ada jumlah anak yatim piatu yang cukup banyak, di mana orang tuanya meninggal akibat COVID-19. Akhirnya kita sebut mereka sebagai korban yang tersembunyi. Karena itu, kita berharap tidak akan lagi ada hidden pendemic lain dari COVID-19 ini,” ujar Wahyu.
Wahyu menilai, anak-anak ini membutuhkan dukungan setidaknya dari tiga sumber. Dukungan pertama adalah dari teman sebaya, berupa dukungan sosial dalam melewati masa krisis atau masa transisi. Kedua, dukungan juga dibutuhkan pada skala keluarga inti atau keluarga besar. Mereka harus mampu membangun komunikasi dengan anak yang kehilangan orang tua. Selain itu, juga dukungan masyarakat luas, khususnya untuk turut memberikan pengawasan bagi anak itu dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
Namun, wahyu mengingatkan peran keluarga besar dan masyarakat, sebenarnya bisa dilakukan sejak upaya pencegahan. Di lingkup keluarga misalnya, jika ada anggota keluarga yang positif COVID-19, penelusuran dan karantina segera dilakukan. Semakin sedikit anggota keluarga tertular, semakin kecil kemungkinan sakit atau meninggal. Otomatis, kata Wahyu, semakin kecil pula kemungkinan anak kehilangan orang tuanya.
Di tingkat masyarakat, upaya mencegah lebih banyak anak kehilangan orang tua bisa dilakukan dengan segera melakukan vaksinasi dan kontrol mobilitas. Prinsipnya, semakin sedikit penularan, semakin kecil kemungkinan anak kehilangan orang tua.
Tidak kalah penting, kata Wahyu, orang tua mulai tidak tabu membicarakan langkah apa yang diambil jika sesuatu yang buruk terjadi. Dia mengakui, pembicaraan seperti ini masih tabu di masyarakat Indonesia. Namun, ternyata ini penting untuk memetakan risiko.
“Pandemi ini, tentu risiko di sekitar kita semakin bertambah. Penting untuk setiap keluarga mulai membangun diskusi, bisa mengantisipasi ke depan apabila terjadi sesuatu yang buruk,” ujar Wahyu. [ns/ah]