Presiden Joko Widodo, yang memegang presidensi G-20 pada tahun ini, menggarisbawahi dukungan negaranya pada Ukraina, tetapi tidak mengonfirmasi pernyataan Presiden Volodymyr Zelenskyy sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ia telah diundang untuk menghadiri pertemuan puncak forum ekonomi itu di Bali pada November mendatang.
“Saya menegaskan kembali dukungan Indonesia pada upaya apapun untuk mencapai perundingan damai agar berhasil, dan siap memberikan bantuan kemanusiaan,” cuit Jokowi pada Kamis (28/4) pagi.
Zelenskyy sendiri pada Rabu (27/4) mencuit bahwa ia telah berbicara dengan Presiden Indonesia Joko Widodo dan berterima kasih atas dukungannya pada “kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina, khususnya atas posisi yang tegas di PBB.”
Gedung Putih mengatakan masih belum menerima konfirmasi dari pemerintah Indonesia bahwa pihaknya telah mengundang Zelenskyy untuk menghadiri KTT G-20.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan sekutu-sekutu Barat lainnya telah mengungkapkan keinginannya untuk mengeluarkan Rusia dari kelompok tersebut pada bulan lalu.
“Kami telah melihat laporan bahwa Presiden Zelenskyy telah diundang ke KTT G20 dan tentu saja kami menyambut baik hal itu,” ujar juru bicara Gedung Putih Jen Psaki kepada wartawan pada Rabu (27/4).
“Sebagaimana Anda ketahui, Presiden Biden bulan lalu mengatakan Ukraina seharusnya ikut berpartisipasi (dalam pertemuan puncak G20). Tetapi kami belum memiliki konfirmasi lebih jauh selain apa yang sudah beredar di banyak laporan berita (mengenai hal itu), yang kami nilai merupakan hal yang positif.”
Indonesia pada bulan Maret lalu mendukung dua resolusi Majelis Umum PBB mengutuk invasi Rusia ke Ukraina, tetapi abstain pada resolusi ketiga – bersama 57 anggota PBB lainnya – untuk mengeluarkan Rusia dari Dewan HAM PBB.
Tugas Yang Mustahil
Beberapa analis mengatakan pemerintah Jokowi terjepit dengan tugas yang mustahil untuk berupaya mencapai konsensus atas masalah-masalah ekonomi paling mendesak di dunia, sambil menavigasi persaingan geopolitik baru yang dipicu oleh invasi yang dilakukan Putin.
Meskipun Rusia telah dikeluarkan dari Kelompok Delapan G-8 – sekarang dikenal sebagai Kelompok Tujuh G-7 – setelah mencaplok Krimea pada 2014, Kelompok G-20 adalah kelompok yang jauh lebih luas dengan lebih banyak persaingan kepentingan. Kelompok ini juga mencakup China, yang mendukung keterlibatan Rusia.
Gregory Poling, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang mengkaji kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, mengatakan “saya pikir Indonesia sedang berupaya membagi peran ini. Mereka (Indonesia.red) tidak ingin Amerika dan negara-negara anggota G7 lainnya tidak datang ke KTT di Bali itu, tetapi mereka juga tidak ingin ditempatkan pada posisi meremehkan Putin.”
Setelah bertemu dengan anggota-anggota NATO dan sekutu Eropa di Brussels bulan lalu, Presiden Joe Biden menyarankan agar Kyiv dapat menghadiri KTT G-20 sebagai pengamat, jika negara-negara anggota lainnya tidak setuju untuk tidak mengundang Rusia.
Biden, yang sedang membangun koalisi global di luar Eropa untuk melawan Putin, belum mengatakan apakah ia akan memboikot KTT G-20 jika pemimpin Rusia itu tetap hadir. Tetapi ia telah menegaskan bahwa forum itu tidak bisa “berjalan seperti biasanya.”
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga telah menyuarakan keprihatinan serupa tentang keikusertaan Putin dalam forum itu.
Awal bulan ini Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen melewatkan beberapa pertemuan tingkat menteri G-20 di Washington DC untuk memprotes kehadiran pejabat-pejabat Rusia. Beberapa pejabat negara Barat lainnya melakukan hal yang sama.
Jakarta–Moskow
Dilema Jakarta merupakan gejala dari pengaruh besar Rusia di seluruh belahan dunia, termasuk hubungannya dengan Indonesia di bidang militer dan sektor energi.
Bulan lalu, menyusul tekanan kuat Barat, Indonesia menangguhkan rencana perusahaan minyak dan gas negara untuk membeli minyak mentah Rusia yang murah di tengah melonjaknya harga energi global. Rusia memiliki banyak minyak yang ditawarkannya dengan diskon besar ke negara-negara yang bersedia menentang sanksi Barat, termasuk di antaranya China dan India.
Pejabat-pejabat senior Indonesia telah melawan tekanan Barat pada isu G20.
Dalam wawancara dengan VOA pada Jumat (22/4) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan negara-negara anggota G20 sedianya bekerjasama untuk menciptakan instabilitas dan kemakmuran bersama.
“Ini salah satu hal yang paling penting bagi kami – untuk mendukung ide kerjasama yang perlu dipertahankan dan tidak boleh disimpulkan dengan cara yang sangat biner dan sederhana,” tegasnya.
Sejauh ini Rusia belum mengumumkan perubahan rencana Putin untuk menghadiri KTT G-20 secara langsung.
Awal bulan ini pemerintah Biden mengisyaratkan pihaknya ingin agar G-20 membahas dampak ekonomi invasi Rusia dan potensi rekonstruksi Ukraina. Gagasan ini tampaknya akan menciptakan keretakan lebih jauh di forum ekonomi tersebut.
Awal pekan ini Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pada VOA bahwa pemerintahnya akan “melihat apa yang terjadi. “Saya kira yang terbaik adalah tidak ada satu orang pun yang kehilangan muka,” ujarnya. [em/rs]