Permasalahan lingkungan itu terjadi akibat regulasi yang dianggap lebih berpihak pada kepentingan investasi, dan mengabaikan kepentingan masyarakat dan keselamatan lingkungan.
Maraknya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang terjadi di Indonesia termasuk di Jawa Timur, tidak terlepas dari ulah manusia yang tidak memperdulikan lingkungan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto menilai kerusakan lingkungan yang berakibat pada munculnya bencana di berbagai tempat, merupakan dampak dari regulasi pemerintah yang tidak memperhatikan faktor lingkungan.
Selama 2016, Walhi Jawa Timur mencatat adanya 69 regulasi yang termasuk dalam kategori ancaman terhadap ekologi di Jawa timur.
“Kita harus melihat bahwa kejadian bencana itu buka melulu faktor alam, tapi ada campur tangan manusia dalam hal ini urusan bagaimana regulasi yang dikeluarkan pemerintah tidak bisa kemudian melindungi keselamatan lingkungan, bahkan cenderung untuk mendorong kerusakan yang lebih luas. Salah satunya adalah semakin berkurangnya kawasan-kawasan hutan lindung, itu kemudian diubah menjadi hutan produksi, hutan produksi pun kadang kemudian diubah fungsinya menjadi hutan produksi terbatas yang kemudian bisa dipakai sebagi pertambangan," kata Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.
"Pelepasan-pelepasan alih fungsi lahan, kawasan-kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung ke industri inilah yang kemudian mendorong kenaikan resiko bencana ekologis di berbagai daerah, salah satunya banjir, kekeringan, tanah longsor,” lanjutnya.
Data yang dihimpun melalui Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK) untuk Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebutkan adanya penurunan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Jawa Timur dari 378 pada tahun 2012 menjadi 347 sepanjang tahun 2016 hingga Agustus lalu.
Namun Rere menyebut penurunan jumlah UIP itu berbanding terbalik dengan luasan lahan pertambangan di Jawa Timur, yang tercatat mengalami peningkatan dari 86.904 hektar pada 2012 menjadi 551.649 hektar pada 2016, atau naik hingga 535 persen. Kondisi ini dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial di masyarakat yang hidup bergantung pada lahan dan air.
“Kalau misalnya kita lihat saja dari jumlah luasan lahan pertambangan yang muncul di 2016, kita bisa melihat bahwa lonjakannya tinggi sekali, dari 2012 ke 2016 itu meningkatnya sampai 535 persen hanya dalam empat tahun, dan itu wilayah-wilayah yang menurut kami juga penting secara ekologis," kata Rere Christanto.
"Ini wilayah-wilayah kelola rakyat yang sudah dikelola baik melalui persawahan, ladang maupun area tangkap nelayan, yang mengakibatkan munculnya konflik sosial antara investasi itu sendiri, perusahaan-perusahaan ekstraktif pertambangan dan masyarakat yang sudah mengelola,” lanjutnya.
Selain persoalan kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan regulasi yang tidak berpihak pada lingkungan, Jawa Timur juga mengalami ancaman bahaya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Menurut Direktur Eksekutif Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Prigi Arisandi, persoalan pembuangan limbah B3 secara sembarangan disebabkan ketidakmampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam mengawasi pengelolaan limbah yang dilakukan perusahaan. Sementara itu pemerintah daerah dianggap mengabaikan kesehatan masyarakat yang terdampak limbah B3.
“Masalah B3 itu adalah kewenangan pusat, kewenangan KLHK. Jadi kewenangan perijinan, pengawasan, level-level industri itu ke Jakarta. Kemudian teman-teman atau pejabat di provinsi itu merasa enggan, provinsinya merasa itu bukan kewenangan mereka," jelas Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton.
"Tetapi ada semacam penistaan terhadap hak asasi masyarakat, karena masyarakat yang tinggal di wilayah Jawa Timur merasa mereka tidak terlayani, negara tahu kemudian ada pelanggaran dan itu ada dampak terhadap kesehatan, tapi pemerintah provinsi dan kabupaten itu membiarkan itu. Mereka bicaranya kewenangan tapi tidak bicara tentang bagaimana keselamatanwarga negaranya,” jelasnya.
Rere Christanto mendesak pemerintah menghormati hak masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lingkungan tempat tinggalnya, tanpa harus memaksakan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada lingkungan dan masyarakat.
“Menguatkan kapasitas rakyat untuk kemudian bisa mengambil pilihan sendiri tentang pengolahan wilayahnya. Jadi rakyat harusnya punya hak untuk menentukan apa yang boleh terjadi di dekat wilayahnya, apakah investasi itu bisa masuk atau bagaimana itu harusnya ada di tangan masyarakat. Peran serta yang lebih besar, hak veto yang harusnya dipunyai oleh masyarakat. Yang kedua, menekan pemerintah untuk me-review ulang atau bahkan membatalkan regulasi-regulasi yang kami anggap mengancam keselamatan lingkungan,” imbuhnya. [pr/ab]