Kabupaten Garut, Jawa Barat mengalami bencana banjir bandang hebat pada Rabu dini hari, 21 September 2016. Garut sebenarnya merupakan salah satu penyangga penting bagi kelestarian lingkungan di Jawa Barat.
Sepuluh tahun yang lalu, hampir 40 persen luas kabupaten ini masih berupa hutan. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, ekspansi sektor pariwisata, tambang dan pertanian mengubah luasnya hutan itu.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mencatat, bencana banjir kecil di Garut sebenarnya sudah terjadi beberapa kali sebelum ini. Banjir ini seharusnya menjadi tanda bagi pemerintah daerah setempat, bahwa ada kesalahan pengelolaan lingkungan yang terjadi. Namun, keinginan untuk memperbesar pendapatan daerah melalui pengembangan wisata dan pertambangan, membuat peringatan itu tidak terbaca.
Direktur Walhi Jawa Barat, Dadan Ramdan kepada VOA menceritakan, kota Garut yang mengalami bencana banjir bandang kali ini, berada di sebuah cekungan. Sungai Cimanuk berada tepat di pusat cekungan itu, dengan puluhan sungai kecil yang memasok airnya. Sungai-sungai kecil ini berhulu di gunung-gunung yang mengelilingi Garut, di mana hutan sudah rusak dan tanah tidak mampu lagi menahan air.
“Memang daerah tangkapan air inilah yang sudah berubah fungsi, sekarang sedang tren apa yang disebut sebagai TWA atau Taman Wisata Alam. Dimana sebuah perusahaan bisa bekerja sama dengan pemerintah, membangun sarana wisata di hutan konservasi, yang seharusnya berfungsi sebagai hutan. Hutan konservasi, kenapa dijadikan sarana wisata? Dimana sepuluh persen wilayahnya bisa dibangun, dibeton. Jadi pasti, semua itu akan memberikan pengaruh pada bencana ini,” kata Dadan Ramdan.
Dadan mengatakan, kerusakan lingkungan dengan pola yang sama terjadi merata di Jawa Barat. Walhi mencatat, sejak Januari hingga sekarang, sudah ada lebih dari 100 korban meninggal dari berbagai bencana akibat kesalahan pengelolaan lingkungan.
Peneliti ekologi dan aktivis pecinta alam di Jawa Barat, Agung Ganthar Kusumanto menilai, dari material banjir bandang di Garut sudah jelas terlihat bahwa bencana ini terkait dengan tutupan lahan.
Lumpur mengalir karena minimnya pohon atau tegakan terutama di bagian hulu dan sempadan sungai. Tidak ada yang secara efektif menahan debit air dan menahan tanah sehingga kemudian tererosi dan terbawa arus.
Secara khusus, Agung menyoroti hilangnya hutan lindung Perhutani dari kawasan itu. Menurut Agung, hutan lindung sudah jelas fungsinya yaitu memberikan perlindungan, terutama dari ancaman bencana semacam ini.
“Kita lihat sekarang yang tersisa hanya hutan di wilayah Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Kemana hutan lindung Perhutani? Jika kita lihat lebih dekat, kawasan yang semestinya menjadi hutan lindung kini sudah menjadi kebun sayur,” kata Agung yang ketika dihubungi, sedang berada di Gunung Papandayan, Garut.
Agung juga menilai, pengembangan wisata alam harus dilakukan dengan mengedepankan kelestarian alam itu sendiri. Pemerintah juga tidak boleh membiarkan terus terjadinya pembalakan liar dan pembangunan wisata yang merusak lingkungan. Tidak kalah penting, adalah mengembalikan keberadaan hutan lindung di kawasan itu.
Dihubungi terpisah, Dedy Kurniawan, Ketua Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia, kepada VOA mengatakan, bencana di Garut tidak terlepas dari pelanggaran Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Rencana ini disusun oleh pemerintah untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan pengembangan wilayah. Sayangnya, pemerintah jugalah yang biasanya melakukan pelanggaran. Sementara lembaga yang semestinya mengawasi pelaksanaannya, seperti Badan Lingkungan Hidup, tidak cukup mampu menegakkan aturan.
Pelanggaran yang jelas terjadi di Garut adalah karena kawasan konservasi telah dibangun sedemikian rupa menjadi area wisata. Pembangunan sarana dan prasarana wisata, seperti pembukaan jalan, pembangunan hotel dan sarana lain, dilakukan tanpa mengutamakan kelestarian lingkungan. Dalam banyak kasus, kata Dedy, aturan yang dibuat pemerintah provinsi tidak sejalan dengan program pemerintah kabupaten, dan lembaga milik pemerintah pusat yang mengelola kawasan semacam ini, seperti Perhutani.
“Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Garut harus menyesuaikan dengan kebijakan provinsi. Kemudian, keputusan ini juga harus disinkronkan dengan para pemegang kawasan yang ada di sana. Contohnya Perum Perhutani, apakah mereka juga mengikuti atau mengacu RTRW ini, baik untuk Garut maupun Jawa Barat secara umum,” kata Dedy Kurniawan.
Aktivis lingkungan sepakat, kerusakan alam memberikan sumbangan terhadap bencana banjir bandang yang terjadi di Garut. Pembenahan harus dilakukan menyeluruh, khususnya di kawasan hulu sebagai area penangkap air.
Sektor pariwisata yang mengubah kawasan konservasi menjadi hotel dan sarana penunjang wisata lain harus memahami, bahwa jika lingkungan telah rusak, sebenarnya tidak ada lagi daya tarik wisata di kawasan itu. [ns/lt]