Erupsi Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (4/12) membuat perhatian banyak pihak terfokus pada mitigasi bencana dan peringatan dini kebencanaan di kawasan rawan bencana. Sistem peringatan dini seharusnya menjadi salah satu upaya mengurangi risiko bencana, termasuk mencegah jatuhnya korban dan meminimalkan kerugian materi.
Guguran lava yang disertai awan panas Gunung Semeru, pada Sabtu (4/12), di Kabupeten Lumajang, Jawa Timur, mengakibatkan kepanikan hingga banyak orang tidak sempat mengevakuasi diri. Ketua DPD Koalisi Kawali Indonesia Lestari Jawa Timur, Suwignyo, mengatakan keberadaan sistem peringatan dini kebencanaan menjadi pertanyaan besar karena warga yang berada di titik terdekat dari lokasi rawan bencana mengaku tidak mendapatkan peringatan.
Keterangan relawan Kawali di Lumajang, kata Suwignyo, menyebut tidak terdengar sirene atau bunyi peringatan saat awan panas meluncur di desa sekitar Semeru. Menurutnya, sistem peringatan dini harusnya ada di setiap desa, bukan hanya di sekitar area penambangan pasir.
“Ketika memang daerah kita ini rawan terjadinya tsunami, akhirnya dipasang sirene-sirene di sekitar kawasan sepanjang pantai yang rawan terjadi tsunami. Nah, kenapa di daerah gunung berapi semacam Semeru yang aktif ini, tidak terpasang alat yang serupa untuk adanya peringatan dini terhadap terjadinya bencana itu,” jelasnya.
Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amien Widodo, menyebut kondisi Semeru saat terjadi guguran lava dan awan panas berada pada level 2 atau waspada, sehingga tidak ada erupsi yang terdeteksi dari pos pantau.
Amien mengatakan, perlu adanya peralatan lain yang mengamati pergerakan di puncak gunung berapi, sehingga aktivitas seperti longsoran dapat terdekteksi dan diketahui oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya.
“Gunung berapi itu ancamannya salah satunya memang ada longsor, longsor ukuran besar. Nah itu tidak disiapkan alat early warning system di tempat yang longsor. Mereka memang mempunyai alat namanya deformasi, jadi kalau ada perubahan di atas sana itu akan kelihatan, ada sesuatu perubahan, entah naik atau entah turun itu tahu dia. Cuma ini karena gelap jadi kan tidak kelihatan,” jelas Amien Widodo.
Suwignyo menambahkan, peningkatan aktivitas di Gunung Semeru masih mungkin terjadi, sehingga perlu ada evakuasi dan relokasi permukiman penduduk di lokasi rawan bencana. Saat ini evakuasi masih berlangsung karena sejumlah desa tertimbun material gunung berapi.
“Dengan peningkatan Semeru yang seperti itu ya tidak menutup kemungkinan untuk melakukan relokasi di titik terdekat, karena guguran itu kan juga lumayan tinggi untuk dipulihkan. Berapa meter itu sudah nutup rumah dan segala macam. Nah, material itu kan bukan material yang mudah untuk kita bersihkan,” terangnya.
Meski relokasi permukiman dari kawasan rawan bencana harus dilakukan, Amien menilai langkah itu bukan hal yang mudah dilakukan. Ini terkait dengan mata pencaharian atau perekonomian warga, yang menggantungkan hidup dari Semeru.
“Problemnya kan masyarakat ternyata banyak yang menempati di daerah kawasan rawan tadi, kan repot kalau begitu. Jadi mereka disuruh pindah tidak mau. Sepertinya itu ada aktivitas penambangan pasir di sungai, sama pasir batu. Biasanya itu aktivitas truk yang banyak, lalu ada orang membuat rumah di situ dan lain sebagainya,” imbuh Amien Widodo.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, memastikan sistem peringatah dini bencana gunung berapi di Semeru telah berjalan dengan baik. Ia mengungkapkan upaya evakuasi dan pencarian warga yang masih hilang terus dilakukan. Ia berharap semua pihak meningkatkan kewaspadaan karena masih mungkin terjadi guguran lava dan awan panas susulan.
“Early warning systemnya sebetulnya sudah berjalan. Jadi, dari PVMBG di Gunung Sawur juga sudah terkonfirmasi, dari koordinator penambang juga sudah terkonfirmasi. Dan kalau teman-teman melihat beberapa meter dari sini, itu juga sudah ada papan bagaimana mereka mengetahui ini adalah jalur evakuasi, artinya pada tataran mitigasi dan early warning system, relatif ini sudah jalan,” kata Gubernur Khofifah.
Hingga Senin (6/12), Basarnas Surabaya. mencatat 17 orang meninggal dunia, lima di antaranya di rumah sakit terkait bencana Semeru kali ini. Proses pencarian warga yang hilang masih dilakukan oleh tim SAR bersama sejumlah petugas dari TNI/Polri dan BPBD setempat, di wilayah Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro. [pr/ab]