Media pemerintah Laos menyatakan beberapa orang tewas dan ratusan lainnya hilang setelah sebuah bendungan yang sedang dibangun menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) runtuh.
CEO Ratchaburi Electricity Generating Holding Company, Kijja Sripatthangkura mengatakan bendungan itu “retak dan air mengalir ke bagian hilir hingga ke Sungai Xe-Pian, yang terletak sekitar lima kilometer dari bendungan itu.”
Insiden itu terjadi di Attapeu, provinsi di bagian tenggara, pada Senin malam (23/7). Runtuhnya bendungan Xepian-Xe Nam Noy itu melepaskan hingga 5 miliar meter kubik air yang menyapu kawasan di sana, menghanyutkan ratusan rumah dan membuat banyak warga kehilangan rumah mereka.
Hanya beberapa jam sebelum terjadinya bencana itu, konsorsiun yang membangun proyek itu memperingatkan lewat surat bahwa jutaan ton air akan meningkatkan ketinggian Sungai Xe-Pian jika bendungan yang tidak aman itu jebol.
“Dan dalam waktu beberapa jam setelah surat itu disampaikan Senin malam, bendungan itu benar-benar ambruk. Jadi jelas bahwa sistem peringatan yang ada tampaknya tidak memadai dan sudah terlambat bagi banyak orang,” ujar Maureen Harris, Direktur Internasional Rivers Untuk Asia Tenggara kepada VOA.
Upaya-upaya penyelamatan telah dilakukan untuk membantu warga yang terimbas bencana itu.
Bendungan ini adalah proyek bersama yang melibatkan perusahaan-perusahaan Laos, Korea Selatan dan Thailand. Pembangunan bendungan tersebut dijadwalkan tuntas tahun ini.
Proyek 410 megawatt yang direncanakan akan selesai tahun depan itu dibangun oleh Xe-Pian Xe-Namnoy Power Company PNPC, dengan biaya sekitar satu miliar dolar.
Laos, salah satu negara paling tertutup di Asia Tenggara, telah membangun beberapa bendungan PLTA di jaringan sungai-sungainya yang luas sebagai sarana untuk menghasilkan pendapatan dengan menjual tenaga listrik ke negara-negara tetangganya, terutama Thailand.
Bendungan-bendungan itu telah menimbulkan keprihatinan mengenai kerusakan lingkungan dan dampak ekonominya terhadap mayarakat pedesaan. [uh/ab]