Ini adalah hari-hari sibuk bagi mereka yang peduli pada nasib gajah Sumatra di Bengkulu, seperti Sofian Rafflesia. Dia aktif berkampanye di media sosial, membuat petisi online dan tentu saja mengajak berbagai pihak terlibat langsung di lapangan.
“Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat yang ada di Bengkulu Utara, khususnya penduduk lokal di kawasan bentang alam Seblat untuk menolak kehadiran tambang batubara serta melindungi bentang alam Seblat beserta isinya,” kata Sofian Rafflesia, seorang pegiat lingkungan di Bengkulu.
“Hampir setiap hari, aksi masyarakat ada terus di TWA Seblat mulai dari pelajar sekolah, Pramuka, kelompok penggiat konservasi, sampai ibu-ibu PKK,” kata Sofian Rafflesia menambahkan.
Bengkulu kini sedang bergerak menyelamatkan salah satu satwa kebanggaan mereka, gajah Sumatra. Sebuah perusahaan pertambangan, PT Inmas Abadi menerima izin operasi produksi dari gubernur setempat.
Masalahnya, izin itu juga memberi kesempatan perusahaan tersebut menambang batubara di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat. Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor I.315.DESDM Tahun 2017 itu seperti meriam yang akan menghancurkan benteng terakhir rumah para gajah Sumatra.
Perusahaan itu menerima izin produksi di lahan seluas 4.051 hektar. Berdasarkan kajian, 735 hektar konsesi itu tumpang tindih dengan kawasan TWA Seblat. Lalu, 1.915 hektar tumpang tindih dengan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis Register 69 dan seluas 540 hektar tumpang tindih dengan Hutan Produksi Konversi (HPK).
Kampanye Upaya Penyelamatan
Koalisi Penyelamat Bentang Seblat Bengkulu, gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada isu ini, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berpihak pada mereka. Sebuah surat sudah dikirim, namun menurut Dede Frastien dari koalisi tersebut, belum ada respons yang mereka terima dari Menteri LHK Siti Nurbaya.
“Dalam kondisi saat ini, keputusan menteri itu sangat penting. Karena yang diinginkan perusahaan tersebut adalah pelepasan kawasan TWA menjadi areal peruntukan lain, HPT atau HP yang fungsinya bisa untuk budidaya,” kata Dede Frastien.
“Namun harus kita pahami, seandainya kawasan ini dilepas oleh KLHK, ini akan berimplikasi besar terhadap masyarakat. Keputusan itu sangat berpengaruh untuk mempertahankan fungsi kawasan tersebut,” ujar Dede.
Jika KLHK tidak mengeluarkan izin, status TWA sebagai kawasan konservasi terlindungi. Dengan demikian, kegiatan tambang tidak dapat dilakukan disana.
Dede, yang aktif di Walhi Bengkulu, menambahkan aktivis lingkungan di provinsi tersebut mendorong adanya moratorium tambang di kawasan hutan. Tidak hanya di kawasan TWA Seblat saja, tetapi juga di kawasan lain. Kementerian Lingkungan Hidup diharapkan memberikan rekomendasi kepada Gubernur Bengkulu untuk menyelamatkan lingkungan dari ekspansi tambang dan perkebunan.
“Ini akan berpengaruh besar pada masyarakat dan generasi yang akan datang. Jika KLHK melepaskan kawasan tersebut, maka itu adalah sebuah kesalahan besar,” kata Dede menegaskan.
“Daerah penyangga TWA beberapa tahun lalu pernah banjir besar, jalan keluarnya bukan pelepasan. Tetapi mari perbaiki kawasan ini. Jika langkahnya keliru, penyesalan besar akan terjadi di masa depan,” kata Dede menambahkan.
TWA Seblat merupakan Kawasan Ekosistem Esensial Koridor gajah Sumatra Lansekap Seblat Bengkulu dan rumah terakhir bagi gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus). Sebagai hutan dengan status konservasi, kawasan ini berperan besar bagi kehidupan masyarakat di daerah Putri Hijau dan Marga Sakti Seblat, serta Bengkulu Utara secara umum.
Bisnis vs Pelestarian
Menurut Martian dari Yayasan Ulayat, Seblat adalah bentang kawasan yang menghubungkan Taman Nasional Kerinci Seblat di utara dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kawasan ini penting karena di dalamnya hidup kawanan gajah Sumatra. Mereka membutuhkan area yang luas, dan sering bermigrasi baik ke utara maupun selatan melewati kawasan Seblat.
Belakangan ini, habitat gajah Sumatra makin sempit karena terdesak perkebunan. Untuk membatasi ekspansi ini, Yayasan Ulayat mendorong masyarakat setempat mengambil manfaat hutan secara ramah, dengan komitmen pelestarian.
“Kampanye kita bagaimana kawasan ini tetap lestari, masyarakatnya sejahtera. Desa-desa penyangga di Seblat ini coba kita organisir jangan sampai kawasan Seblat menjadi onggokan, ada manfaat yang bisa diterima masyarakat tetapi mereka juga punya kepedulian dalam bentuk menjaga keberlangsungannya,” kata Martian.
Martian menambahkan, daya tampung Seblat sebagai sebuah kawasan sebenarnya cukup untuk populasi gajah yang ada. Tetapi tidak cukup dengan luasan, gajah juga membutuhkan area pendukung untuk keberlangsungan hidup, seperti kawasan sumber makanan dan tempat reproduksi. Dalam konteks inilah, bentang Seblat harus diselamatkan dari upaya pemerintah daerah yang melakukan perusakan atas dalih pembangunan.
“Dihadapkan kepada konteks pembangunan, konservasi itu menjadi sandungan. Secara pribadi, saya melihat investasi yang masuk abai terhadap pelestarian, baik itu sebagai kawasan dan vegetasinya maupun populasi satwa. Tentu karena ini diboncengi pemerintah daerah, kampanyenya itu kesejahteraan, tenaga kerja, pembangunan dan lainnya,” ujar Martian.
Koalisi ini dengan tegas meminta KLHK untuk menolak usulan pelepasan TWA Seblat dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Hutan Produksi Lebong Kandis untuk aktivitas pertambangan perusahaan manapun.
Mereka juga meminta Siti Nurbaya merekomendasikan pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi Bengkulu kepada PT. Inmas Abadi. Proses penerbitan izin itu terindikasi melanggar peraturan sektoral yang berlaku. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 jelas tertera bahwa kawasan konservasi bukan wilayah pertambangan. [ns/uh]