Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur, cukup unik karena dibelah oleh jalan nasional. Kawasan ini populer, karena wisatawan berkendaraan pribadi dari Jawa menuju Bali, menjadikannya pilihan untuk mampir.
Namun, kondisi itu juga menjadi salah satu kelemahan besar. Kepala Balai Taman Nasional Baluran, Pudjiadi, menyebutnya faktor tersebut menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sering terjadi.
“Taman Nasional Baluran salah satu Taman Nasional yang dilewati jalan nasional. Dari Banyuwangi menuju Surabaya dan sebaliknya, melewati TN Baluran lebih kurang 22 kilometer, yang mana kiri kanannya adalah hutan Jati yang kering sekali dan rawan terjadi kebakaran,” kata Pudjiadi.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat khususnya pengguna jalan belum cukup baik, sehingga salah satu upaya menekan potensi karhutla adalah memperbanyak patroli di sepanjang jalan nasional. TN Baluran terakhir mengalami Karhutla di tiga titik bersamaan pada 27 September 2020 lalu.
Pudjiadi menjadi salah satu pembicara dalam paparan media bertajuk "Antisipasi dan Pengedalian Karhutla di Pulau Jawa." Acara ini diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa (6/10).
Faktor Manusia Dominan
Brigade pemadaman hutan dan lahan harus mengawasi area TN Baluran seluas 29 ribu hektar. Sekitar 10 ribu hektar diantaranya merupakan ekosistem savana yang indah dan dikenal sebagai Afrika di ujung Timur Jawa. Kawasan TN Baluran juga sering mengalami kemarau sangat panjang. Pudjiadi menyebut, kawasan sekitar Baluran sudah sering hujan di awal Oktober ini, namun area taman nasional masih kering kerontang.
“Pada 2019 terjadi 49 kebakaran dengan luas 558 hektar, sedangkan 2020 ini sampai September, terjadi 28kali kebakaran dengan luas 307 hektar. Mudah-mudahan segera turun hujan sehingga grafik kebakarannya tidak naik,” tambah Pudjiadi.
Karhutla di TN Baluran didominasi oleh kesengajaan manusia. Motifnya, terutama oleh pelaku perburuan satwa yang ingin mengalihkan konsentrasi petugas. Selain itu ada pula masyarakat yang melakukan pembersihan area dari semak belukar untuk memudahkan mencari hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti kemiri dan gadung.
Tidak hanya di taman nasional di Jawa, karhutla juga sering terjadi di area yang dikelola Perhutani. Joko Sunarto, Wakil Kepala Divisi Regional Perhutani Jawa Timur menyebut, mayoritas karhutla di wilayahnya terjadi di area yang berbatasan dengan masyarakat.
“Penyebab kebakaran ini 95 persen lebih dilakukan oleh aktivitas manusia. Penyebab alam belum kami temukan,” kata Joko.
Di seluruh Jawa, kata Joko, ada 25 titik wilayah yang kerap mengalami karhutla. Semua berada di gunung-gunung yang berderet dari Gunung Pangrango di Cibodas, Jawa Barat, hingga Gunung Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur.
Salah satu tindak kesengajaan masyarakat membakar hutan adalah motif perburuan satwa. Strategi perburuan ini dilakukan karena pemburu meyakini, jika hutan dibakar satwa akan keluar dan lebih mudah ditangkap. Selain itu karhutla di area Perhutani juga sering terjadi karena aktivitas pendakian
Karena kurang hati-hati dalam melakukan pendakian, seperti pembuatan api unggun, kemudian ditinggalkan begitu saja dan menimbulkan kebakaran hutan,” tambah Joko.
Waspadai Karhutla dan Corona
Karhutla di Jawa memang relatif kecil dibandingkan kasus serupa di Sumatera atau Kalimantan. Namun, karena kepadatan penduduk yang tinggi, perhatian lebih harus diberikan, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi tahun ini yang ada di tengah pandemi. Asap akibat karhutla adalah musuh utama saluran pernafasan, sebagaimana serangan yang dilakukan oleh virus corona.
Karena itulah, menurut Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK Basar Manullang, pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap situasi ini.
“Kemenkes dan BNPB sudah menyiapkan protokol pencegahan dan pengendalian ISPA (infeksi saluran pernafasan akut -red) di wilayah terdampak asap karhutla di masa pandemi ini. KLHK memetakan wilayah rawan karhutla dan secara resmi, KLHK telah menetapkan proktokol pengendalian karhutla di masa pandemi,” kata Basar.
Indonesia mengalami penurunan karhutla cukup luar biasa dalam lima tahun terakhir. Merujuk pada data, pada tahun 2015 karhutla pernah terjadi dalam skala luar biasa, yaitu mencapai 2,6 juta hektar. Setahun kemudian angkanya sempat turun hingga sekitar 436 ribu hektar. Tahun lalu, angkanya kembali naik mencapai 1,6 juta hektar. Tahun ini, kata Basar, hingga September luas Karhutla tercatat 206.753 hektar, atau menurun hingga 76 persen dibanding tahun lalu.
“Kondisi seperti ini tidak boleh membuat kita lengah, karena juga didukung dengan kondisi cuaca yang bisa menekan karhutla, di samping upaya atau kerja lapangan yang dilakukan oleh teman-teman Satgas karhutla di provinsi maupun kabupaten,” kata Basar.
Cuaca Cukup Membantu
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BKMG) mencatat hingga akhir September, masih ada sejumlah kawasan yang mengalami hari tanpa hujan (HTH) selama 30 hari berturut-turut. Fachri Radjab, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, menjelaskan sejumlah daerah itu ada di Jawa Tengah bagian selatan, Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Timur.
“Ini perlu menjadi kewaspadaan kita kaitannya dengan potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan, apalagi jika daerah itu vegetasinya atau tutupannya mudah terbakar,” kata Fachri.
Kaitannya dengan potensi karhutla ke depan, Indonesia cukup diuntungkan saat ini. Menurut Fachri, hingga akhir September telah terpantau adanya anomali suhu muka laut di Samudera Pasifik yang mengindikasikan perkembangan La Nina. BMKG bersama pusat layanan iklim lain, seperti NOAA Amerika Serikat, BoM Australia dan JMA Jepang, memperkirakan La Nina dapat terus berkembang. Kondisi akan terus naik hingga mencapai intensitas moderat pada akhir tahun 2020 dan diperkirakan mulai meluruh pada periode Januari-Februari 2021.
”Kondisi La Nina ini berpotensi meningkatkan akumulasi curah hujan yang terjadi di Indonesia,” lanjut Fachri.
Namun, sebagai konsekuensi dari kondisi baik yang menekan potensi karhutla ini kata Fachri, kewaspadaan harus ditingkatkan untuk bentuk bencana lain. Terkait tingginya curah hujan, Indonesia harus mewaspadai banjir dan tanah longsor dalam beberapa bulan ke depan. [ns/ab]