​Kemandirian ekonomi suatu negara, terkait erat dengan pemerintahan yang bersih bebas dari praktek korupsi. Demikian tema orasi ilmiah dari mantan Perdana Menteri Malaysia DR. Mahathir Mohamad dalam rangka Dies Natalis ke-17 Universitas Bung Karno yang berlangsung di Balai Kartini Jakarta Senin (25/7).
Mahathir Mohamad menekankan perlu ada kesadaran bersama dari rakyat suatu negara akan bahaya korupsi. Sehingga dengan demikian rakyat dapat melakukan pengawasan bersama terhadap penyelenggara negara. Namun sebaliknya jika rakyat melihat korupsi adalah perkara biasa, maka otomatis rakyat akan mendapat pemimpin yang korup.
"Jika budaya sesuatu masyarakat itu mengizinkan rasuah [korupsi], menganggap rasuah itu sebagai perkara biasa, maka sudah tentu masyarakat itu akan memiliki pemimpin yang juga terlibat dalam rasuah," ujar Mahathir. "Dengan itu negara tidak dapat ditampil dengan baik, dan tidak akan mencapai kemajuan."
Mahathir Mohamad menambahkan, terkadang kampanye anti korupsi hanya sebatas slogan. Budaya sogok menyogok terlihat secara jelas baik di lingkungan penyelenggara negara hingga rakyat sipil.
"Ini semua jelas, diketahui dan diakui oleh kita. Tetapi namun demikian kita tidak berusaha untuk menghapuskan nilai-nilai yang tidak baik ini, dan menggantikan dengan nilai-nilai yang baik. Rasuah adalah satu-satunya amalan yang tidak baik bagi mana-mana masyarakat manusia. Semua daripada kita berkata bahwa rasuah itu tidak baik, tetapi apabila kita disogok walaupun dengan sedikit saja kita masih sanggup menerima," katanya.
Perdana Menteri Malaysia periode 1981 – 2003 ini mengingatkan bahwa setiap orang mempuyai hak untuk menentukan pendapat dan memilih siapa pemimpinnya. Jika hak sipil rakyat itu dengan mudah diperjualbelikan dalam memilih seorang pemimpin, maka di kemudian hari rakyat sipil akan menjadi korban dari para pemimpin yang korup.
"Dalam Negara demokrasi umpamanya, mengundi adalah suatu kuasa bagi rakyat, kalau rakyat sanggup menjual kuasa itu dengan harga yang murah, maka sudah tentu masyarakat itu akan mendapat pemimpin yang juga terlibat dengan rasuah," ujar Mahathir. "Dengan gitu akhirnya rakyat juga yang menjadi korban. Sebab itu amat penting sekali kita sadari kesalahan-kesalahan yang ada pada kita dan menggantikannya dengan nilai-nilai hidup yang lebih mulia yang lebih baik, yang boleh menjaminkan kejayaan bagi kita."
Untuk kedepannya menurut Mahathir Mohamad, perlu ada kesadaran bersama dari penyelenggara negara dan rakyat sipil untuk saling bersinergi dalam memerangi korupsi. Kesadaran bersama itu harus muncul dari orang per orang untuk menolak segala praktek suap khususnya dari penyelenggara negara. Mahathir meyakini, jika kesadaran bersama ini berjalan, kehidupan perekonomian suatu negara akan jauh lebih baik dan rakyat akan sejahtera.
"Dan saya percaya kalau kuasa yang ada sedikit pada mereka tidak dipengaruhi oleh sogokan, mereka boleh menentukan kepemimpinan pemerintahan negara mereka akan terdiri dari pemerintahan yang baik, yang akan memajukan Negara. Sedikit banyak kita akan dapat nikmat daripada pemerintahan yang tidak terlibat di dalam rasuah," ujarnya.
Sementara itu, Rachmawati Soekarnoputri mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden menekankan ancaman terbesar dari pencegahan praktek korupsi, biasanya justru muncul dari penyelenggara negara. Putri Proklamator mantan Presiden Pertama Soekarno ini berpandangan, jika penyelenggara negara melindungi koruptor, bisa jadi ada kekuatan pemilik modal besar yang pernah berjasa dalam suksesi pemerintahan.
"Dalam bidang Pemerintahan, para pemilik modal perusahaan-perusahaan besar, melakukan penetrasi dan infiltrasi dalam rangka suksesi kepemimpinan negara pada semua level dengan menggunakan kekuatan kapital (modal) yang dimilikinya. Pola suksesi yang bersifat transaksional, melalui kekuatan kapital inilah yang kemudian melahirkan dan menyuburkan perilaku korupsi," kata Rachmawati.