Ratusan pengungsi Rohingya tiba dengan perahu reyot di Indonesia bagian barat pada akhir tahun lalu setelah berlayar dari kamp-kamp kumuh di Bangladesh selama berminggu-minggu. Namun, saat mereka berlabuh di pantai, mereka ditolak dan diusir dari wilayah tersebut.
Kelompok minoritas Myanmar tersebut sebelumnya disambut baik di Aceh, dan banyak penduduk setempat yang bersimpati karena sejarah panjang perang mereka. Namun gelombang pengungsi yang mencapai lebih dari 1.500 orang dalam beberapa bulan terakhir mendapat perlakuan berbeda.
Serentetan informasi salah daring memicu apa yang menurut para pakar adalah meningkatnya sentimen anti-Rohingya yang mencapai titik puncaknya dengan penolakan, ujaran kebencian, dan serangan.
Pada Desember, ratusan mahasiswa merangsek gedung pertemuan milik pemerintah di Banda Aceh yang menampung 137 warga Rohingya. Mereka meneriakkan yel-yel, menendang barang-barang pengungsi dan menuntut mereka dideportasi. Para pengungsi tersebut kemudian direlokasi.
“Serangan ini bukan tindakan yang terjadi begitu saja, tetapi merupakan hasil dari kampanye online yang terkoordinasi yang berisi misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian,” kata Badan Pengungsi PBB (UNHCR).
Di media sosial, video anti-Rohingya menyebar sejak akhir tahun lalu, mencapai lebih dari 90 juta penayangan di TikTok saja pada November, menurut Hokky Situngkir, analis TikTok di Bandung Fe Institute.
Hal tersebut bermula setelah beberapa media lokal memberitakan kedatangan Rohingya dengan judul yang sensasional, kata Situngkir.
Pemberitaan tersebut menggambarkan sebagian besar Muslim Rohingya sebagai penjahat berperilaku buruk. Sejumlah tokoh masyarakat turut memperkuat narasi ini.
Beberapa pengguna TikTok menyebarkan ulang artikel-artikel dan video-video sensasional tersebut, untuk menghasilkan lebih banyak tayangan dan 'fulus.'
“Terkadang sensasinya terlalu besar, ternyata informasinya salah,” kata Situngkir kepada AFP.
Tampaknya Terkoordinasi
Presiden Joko Widodo memerintahkan penindakan tegas terhadap pelaku perdagangan manusia yang bertanggung jawab atas penyelundupan warga Rohingya. Ia mengatakan “bantuan kemanusiaan sementara akan diberikan” kepada para pengungsi dengan tetap memprioritaskan komunitas lokal.
Namun beberapa hari setelah penyerangan terhadap tempat penampungan pengungsi, TNI Angkatan Laut justru mengusir perahu Rohingya mendekati pantai Aceh.
Indonesia memang bukan negara penandatangan konvensi pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga pemerintah meminta negara-negara tetangga untuk berbuat lebih banyak dalam menerima pengungsi Rohingya.
Di TikTok, puluhan akun palsu UNHCR membanjiri video Rohingya dengan sejumlah komentar.
“Jika Anda tidak mau membantu, berikan saja mereka satu pulau kosong agar mereka bisa tinggal di sana,” salah satu tulisan yang disajikan seolah-olah ditulis oleh akun UNHCR yang sebenarnya.
Sebuah postingan memuat laporan bahwa Wakil Presiden Ma'ruf Amin sedang mempertimbangkan untuk memindahkan para pengungsi ke sebuah pulau dilihat tiga juta kali.
Sebuah akun terverifikasi menulis di bawahnya: "Tidak! Lebih baik mengusir mereka, tidak ada gunanya melindungi mereka."
Ismail Fahmi, analis monitor media sosial Drone Emprit, mengatakan kepada AFP bahwa narasi tersebut “tampaknya terkoordinasi” tetapi disajikan seolah-olah “itu organik”.
Kampanye tersebut dimulai dengan kiriman teks dari akun anonim, kemudian beberapa pengguna yang memiliki banyak pengikut membalas dengan pesan anti-Rohingya, membuat narasi tersebut menjadi trending, katanya.
Penduduk setempat mengatakan media sosial membuat sentimen anti-Rohingya menyebar luas. Namun hal ini tidak tercermin di Aceh sehari-hari.
“Tampaknya hal ini sangat besar jika kita mengamatinya di media sosial,” kata Sekretaris Jenderal Komunitas Nelayan Aceh Azwir Nazar, seraya mengakui bahwa para pembela Rohingya di dunia maya diperlakukan sebagai “musuh bersama”.
Namun, katanya, "Pada kenyataannya, dalam kehidupan kita sehari-hari, segala sesuatunya tampak normal."
Narasi Pemilu
Beberapa video yang paling banyak dilihat menjajakan informasi salah menunjukkan kapal-kapal yang penuh sesak mengaku sebagai kapal yang membawa warga Rohingya ke Indonesia.
Rekaman tersebut, yang ditonton jutaan kali di TikTok, sebenarnya menunjukkan penumpang feri di rute domestik Bangladesh, menurut investigasi AFP Fact Check.
Video lain mengklaim warga Rohingya merusak pusat pengungsi di Jawa Timur.
Investigasi AFP Fact Check membantah klaim tersebut melalui wawancara dengan pihak berwenang. Mereka mengatakan bahwa pelakunya bukan orang Rohingya.
Video-video tersebut diunggah di TikTok dan platform video Snack, kemudian dikirim ulang di situs media sosial lain seperti Facebook dan oleh media lokal dengan jutaan pengikut, sehingga meningkatkan jangkauan informasi yang salah, demikian temuan tim AFP Fact Check.
AFP, bersama dengan lebih dari 100 organisasi pengecekan fakta, dibayar oleh TikTok dan induk Facebook, Meta, untuk memverifikasi video yang berpotensi berisi informasi palsu.
Kedua organisasi tersebut menolak permintaan komentar AFP.
Beberapa video dan komentar juga terkait dengan pemilihan presiden pada bulan ini.
Beberapa orang mencemooh calon presiden Anies Baswedan, dengan mengatakan bahwa dia mendukung Rohingya karena dia merekomendasikan mereka untuk ditempatkan “di tempat terpisah” untuk menghindari konflik.
Yang lain memuji capres nomor 2 Prabowo Subianto, yang mengatakan Indonesia harus "memprioritaskan rakyat kita".
Namun dalam beberapa debat capres sejauh ini, para kandidat tidak menyebut migrasi Rohingya.
Bagi sebagian orang di Aceh, perasaan anti-Rohingya berasal dari rasa frustrasi atas kurangnya solusi pemerintah.
Namun postingan anti-pengungsi yang dibesar-besarkan membuat mereka bertanya-tanya apakah perasaan itu tulus.
“Hanya Allah yang tahu apakah (kiriman teks dan video) itu semua [dilakukan oleh] manusia,” kata Nazar.
"Atau mungkin, dengan teknologi sekarang, mungkin melibatkan AI (kecerdasan buatan -red) atau robot,” tukasnya. [ah/ft]
Forum