Setiap kali menjelang puasa Ramadan, dokter dan pakar diet selalu dibanjiri pertanyaan mengenai dampak puasa bagi kesehatan, khususnya bagi pengidap diabetes. Namun, situasi itu dihadapi dua diaspora Indonesia di Amerika, seorang dokter ahli endokrinologi dan seorang pakar diet, dalam tugas sehari-hari.
Medha Satyarengga mengatakan, “Banyak. Banyak sekali karena pola makan di sini kurang sehat secara umum, terutama penduduk-penduduk yang berpenghasilan lebih rendah. Pola makan mereka cenderung apa adanya saja. Di sini, makanan yang murah justru fast food. Jadi banyak pasien-pasien saya di sini yang beratnya sampai 300 kg, 250 kg beratnya. Benar-benar parah obesitasnya.”
Dokter Medha Satyarengga adalah pakar endokrinologi pada Center for Diabetes and Endocrinology at Shore Regional Health, Maryland. Sehari-hari ia, antara lain, menangani pasien-pasien diabetes. Untuk membantu pasien menjaga kadar gula darah, ia menyarankan mereka menurunkan berat badan. Salah satu cara yang ia sarankan adalah berpuasa.
“Strategi saya itu. Jadi, saya tahu bahwa puasa sangat baik bagi diabetes,” ujar Medha.
Medha, yang juga banyak mendapat pertanyaan seputar Ramadan dan puasa bagi pengidap diabetes, mengatakan ketika pasiennya bertanya, seminggu berapa kali mereka harus berpuasa, spontan ia menjawab, “Dua kali cukup. Senin-Kamis, saya bilang. Karena yang ada di kepala saya, yang menempel, itu. Jadi, puasa Senin-Kamis.”
Pertanyaan seputar berpuasa bagi pengidap diabetes juga banyak diajukan kepada Mindasari Daniar, MPH. Minda adalah pakar diet klinis yang bekerja pada dua rumah sakit di Massachusetts: Boston Medical Center dan Whittier Rehabilitation.
Minda mengatakan, “Untuk orang-orang yang diabetes atau orang-orang yang mau menurunkan berat badan, saya akan sarankan selama bulan puasa, memilih sumber karbohidrat yang banyak mengandung serat. Itu sangat membantu.”
Kepada orang yang menjalankan puasa untuk mengurangi berat badan, Minda akan membeberkan sejumlah langkah agar diet mereka menunjang kesehatan. Tetapi ia juga mengingatkan agar melakukan itu setelah berkonsultasi dengan dokter dan pakar diet, ditunjang hasil laboratorium dan tidak ada perubahan metabolik yang membahayakan kesehatan.
“Sebagai dietitian, saya mengatakan, kalau berhasil, silakan. Karena, tiap diet itu belum tentu semua orang sama (hasilnya). Yang berhasil bagi seseorang melakukan intermittent fasting, belum tentu berhasil juga untuk orang lain,” tukas Minda.
Data statistik 2018 yang tertera pada situs Yayasan Diabetes Amerika menunjukkan satu dari 10 orang di Amerika atau lebih dari 34,2 juta, mengidap diabetes. Sedangkan laporan statistik diabetes nasional 2020 pada Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) menyebutkan satu dari tiga orang dewasa di Amerika atau 88 juta berada di ambang diabetes.
Namun, CDC mencatat kini semakin banyak peluang untuk memperbaiki kondisi dan mencegah komplikasi diabetes. Salah satu hal yang disarankan CDC adalah menjaga asupan makanan. Saran itu juga disampaikan Minda dan Medha kepada pasien-pasien mereka. Tetapi secara spesifik Medha menyarankan puasa.
“Orang Amerika kan tidak banyak yang agamanya Islam. Jadi, puasanya tentu bukan untuk alasan religious. Jadi, saya bilang, yang penting puasa makanan, kalori dan karbohidrat. Itu, mereka bisa,” pungkasnya. [ka/ab]