Rencana diskusi sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Constitutional Law Society di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) pada Jumat (29/5) berujung ancaman pembunuhan. Panitia penyelenggara diskusi –dan anggota keluarga mereka- dikirimi pesan melalui aplikasi percakapan.
Tidak mau mengambil resiko, Dekan FH UGM Sigit Riyanto memutuskan untuk melindungi mahasiswa itu di satu rumah aman sejak Jumat.
“Kalau yang merasa terancam kita beri rumah tinggal yang aman. Kita siapkan satu tempat agar mereka cukup aman dan dijaga, agar tidak mengalami teror terus menerus. Mudah-mudahan suasana menjadi tenang lagi,” ujar Sigit kepada VOA.
Kasus ini berawal dari beredarnya poster diskusi berjudul “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. Karena dianggap multitafsir, panitia kemudian mengubah judul diskusi menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.
Menurut panduannya, diskusi ini akan mengkaji aturan pemberhentian presiden di tengah pandemi, merespon banyak wacana yang muncul terkait itu. Jika dibaca jeli, diskusi ini bahkan cenderung akan menyimpulkan bahwa upaya menurunkan Presiden bukan sesuatu yang mudah.
Namun, seorang dosen di Fakultas Teknik UGM menyimpulkan poster itu sebagai upaya makar. Dia kemudian membuat tulisan yang kemudian tersebar luas pada Jumat.
“Inikah demokrasi, pada saat bangsanya sibuk bergotong-royong mengatasi pandemi Covid-19, kelompok sampah ini justru malah mewacanakan pemecatan presiden. Ini jelas makar dan harus ditindak jelas,” kata Bagas dalam tulisan itu.
Sigit Riyanto menyebut tulisan ini yang menjadi awal kegaduhan. Diskusi ketatanegaraan adalah hal yang sangat biasa di lingkungan mahasiswa hukum. Sigit menyayangkan, Bagas yang juga dosen UGM tidak berupaya melakukan klarifikasi, misalnya dengan menelepon untuk meminta penjelasan terkait tema itu.
“Disitu masalahnya. Karena penulis ini, dia tidak punya pengetahuan, kompetensi tentang substansi yang akan didiskusikan oleh mahasiswa. Lalu tidak pernah melakukan konfirmasi, tidak pernah melakukan pengecekan ke mahasiswa," katanya.
"Tidak pernah ikut diskusi juga, lalu menyatakan disitu ada makar. Berarti sudah sangat jelas disitu, yang bersangkutan melakukan tindakan penyebaran berita bohong,” tambah Sigit.
Sigit meminta polisi proaktif mengusut masalah ini. Kasus semacam itu bukan delik aduan, sehingga penegak hukum tidak perlu menunggu laporan. Sebuah surat terbuka yang menuduh adanya tindakan makar di sebuah kampus perguruan tinggi, bisa menjadi awal dari upaya mencari kebenaran oleh polisi. Sigit menilai, dalam tulisan itu ada informasi yang menyesatkan karena tidak pernah ada upaya makar.
Pemerintah Tegaskan Tak Ada Larangan Diskusi
Yang mungkin tidak dipahami oleh Bagas adalah mendiskusikan pemberhentian presiden adalah kegiatan biasa bagi mahasiswa hukum. Apalagi bagi mereka yang memilih Hukum Tata Negara, tema-tema semacam itu merupakan bahasan wajib. Diskusi mengeni pemecatan atau pemberhentian presiden, tidak bermakna ada keinginan melakukan pemakzulan.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bahkan menyayangkan diskusi di FH UGM batal digelar. Mahfud mengatakan mengenal baik Ni’matul Huda sebagai calon pembicaranya. Selain mengajar di fakultas yang sama, Ni’matul meraih gelar doktor, Mahfud menjadi salah satu promotor.
“Prof Ni’ma itu orangnya enggak aneh-aneh. Dia ahli hukum tata negara dan sebelum ini ribut saya sudah beritahu, berdiskusi tentang pemecatan Presiden itu boleh,” kata Mahfud dalam diskusi daring bersama Forum Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), Sabtu (30/5).
Mahfud menjelaskan, sesuai Undang-Undang Dasar, pemecatan presiden bisa dilakukan kapan saja asal memenuhi salah satu dari lima syarat. Kelimanya adalah terlibat korupsi, terlibat penyuapan, teribat pengkhianatan terhadap negara atau terhadap ideologi negara, melakukan kejahatan yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun dan melakukan perbuatan tercela, serta yang terakhir kalau terjadi keadaan dimana tidak memenuhi syarat lagi.
Di luar syarat itu, lanjut Mahfud, presiden tidak bisa diberhentikan sebelum waktunya dengan menggunakan kebijakan yang dibuatnya sebagai alasan. Karena itulah, tidak ada alasan takut dengan diskusi terkait pemberhentian Presiden. Kegaduhan ini justru merugikan pemerintahan Jokowi.
“Seakan-akan tidak jadi diskusi itu merupakan tindakan dari pemerintah. Saya cek ke polisi, tidak ada polisi melarang. Saya telepon rektor UGM, mengapa itu dilarang. Eggak Pak, mereka diantara mereka sendiri, di antara masyarakat sipil sendiri saling teror. Siapa yang mendatangi meneror di rumahnya Bu Ni’ma, saya bilang laporkan. Kalau ada orangnya, laporkan ke saya,” tegas Mahfud.
UII Ambil Langkah Hukum
Pembicara yang rencananya hadir dalam diskusi daring ini adalah Prof Ni’matul Huda, ahli hukum tata negara senior dari Universitas Islam Indonesia. Ni’matul juga menerima teror sejak Jumat hingga tengah malam. Ada ancaman pembunuhan melalui telepon dan sejumlah orang juga diketahui hilir mudik di rumah kolega Menkopolhukam, Mahfud MD itu.
Fakultan Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) memastikan akan mengambil langkah hukum terkait teror ini. Dekan FH UII, Abdul Jamil kepada VOA mengatakan, mereka tidak mau dosen seniornya menerima tindakan tidak beradab.
“Kami dari fakultas tidak mau dosen kami dilecehkan orang. Salah satu bentuknya kan kita harus melindungi, karena Prof Ni’ma itukan enggak salah, harus kita lindungi. Jangan sampai orang seenaknya saja memfitnah orang, meneror orang. Kita akan memidanakan, akan memproses pidana hukum, melalui LKBH UII dan sejumlah alumni FH UII,” ujar Jamil.
Sejak Jumat, sejumlah mahasiswa bergantian berjaga di rumah Ni’matul Huda. Mulai Sabtu, bantuan pengamanan juga sudah diberikan agar orang-orang yang tidak dikenal tidak kembali melakukan teror di rumahnya.
Sebagai korban, Ni’matul Huda kata Jamil juga sudah setuju tindak lanjut pelaporan kasus pidana. Dalam hal ini, polisi diminta menindaklanjuti ancaman yang disampaikan melalui aplikasi pesan. Selain itu, orang-orang yang melakukan ancaman dengan datang ke rumah juga harus diselidiki. FH UII juga meminta polisi mempertimbangkan asal-usul kegaduhan ini, yaitu tulisan yang menyebut ada upaya makar dalam sebuah diskusi mahasiswa.
“Yang membikin ada masalah kan ada oknum yang diduga, kalau dilihat dari tulisannya itu kan kita enggak tahu arahnya siapa. Dia mengatakan kelompok sampah dan dia mengatakan si mulut besar. Itu nanti yang akan kita bidik, akan kita laporkan pidananya,” tambah Jamil.
Detil Ancaman Pembunuhan
Dari peryataan FH UGM, teror juga dikirimkan ke orang tua mahasiswa yang menjadi panitia diskusi tersebut. Teror tersebut antara lain berbunyi: “Jangan main-main Pak. Bilangin ke anaknya. Suruh datang ke Polres Sleman. Kalo gak apa mau dijemput aja? Atau gimana? Saya akan bunuh keluarga bapak semuanya kalo ga bisa bilangin anaknya.” Teks ini dikirimkan oleh nomor +6283849304820 pada tanggal 29 Mei 2020 pukul 13.17-13.19 WIB.
Selain itu, ada pula pesan ke orang tua lain yang berbunyi : “Bisa bilangin anaknya ga ya Bu? Atau didik anaknya Bu biar jadi orang yg bener. Kuliah tinggi tinggi sok-sokan ngurus negara bu. Kuliah mahal mahal Bu ilmu anaknya masih cetek. Bisa didik ga Bu? Saya akan cari *****. ***** kena pasal atas tindakan makar. Tolong serahin diri aja. Saya akan bunuh satu keluarga *****.”
Teks ini dikirimkan oleh nomor +6282155356472 pada Tanggal 29 Mei 2020 pukul 13.24-13.27 WIB.
FH UGM juga menyatakan, selain mendapat teror, nomor telepon serta akun media-sosial perorangan dan kelompok Constitutional Law Society (CLS) diretas pada 29 Mei lalu. Peretas juga menyalahgunakan akun medis sosial yang diretas, untuk menyatakan pembatalan kegiatan diskusi, sekaligus mengeluarkan semua peserta diskusi yang telah masuk ke dalam grup diskusi. Selain itu, akun instagram Constitutional Law Society (CLS) sudah tidak dapat diakses lagi. [ns/em]