Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan kesepakatan menyetop ekspor biji nikel per 1 Januari 2020 muncul setelah berunding dengan 47 perusahaan yang terdiri dari pengusaha smelter dan penambang nikel. Salah satu poinnya, harga nikel yang harus mengikuti harga internasional yaitu kurang lebih 30 USD per metrik ton Free on Board (FOB). Harga tersebut merupakan harga untuk kadar di bawah 1,7 persen dipotong biaya ekspor dan pengapalan.
"Bahwa kami sudah tidak mau ekspor ore mulai 1 Januari 2020. Sampaikan kepada dunia, jadi kami punya negara tidak mau dibodoh-bodohi lagi sama orang lain. Karena kami semua sudah kompak," jelas Bahlil saat menggelar konferensi pers di kantor BKPM, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Bahlil menjelaskan dari 47 perusahaan yang hadir hanya ada 37 perusahaan yang memiliki hak ekspor. Dari 37 perusahaan tersebut, 26 di antaranya bersedia menjual biji nikel ke perusahaan smelter dengan harga 30 USD per metrik FOB. Sementara 9 perusahaan lainnya akan tetap melakukan ekspor dan 2 lainnya masih menunggu verifikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Poin kesepakatan lainnya yaitu akan ditunjuknya perwakilan dari pembeli dan penjual sebagai surveyor untuk memastikan kualitas nikel. Ini untuk menjembatani antara penjual dan pembeli yang kerap tidak percaya terhadap penilaian surveyor.
"Karena mereka biasa berkelahi karena hasil surveyor. Saya sudah tidak tahu mana yang benar. Kata pembeli, surveyor dalam negeri sudah tidak terjaga independensinya. Bagi penjual juga begitu," tambahnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin mengatakan telah menerima kesepakatan bersama tersebut. Ia menyebut hingga akhir 2019 ini masih ada sekitar 7-8 juta ton kuota ekspor.
"Nah pertanyaannya smelter akan menyerap. Sebenarnya APNI sedang berkoordinasi dengan daerah, dimana daerah mendata berapa total kebutuhan input ore smelter. Yang itu akan dibandingkan dengan berapa persetujuan Kementerian ESDM Provinsi," tutur Meidy.
Sementara Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Haykal Hubeis mengatakan akan menjalankan kesepakatan bersama dengan pemerintah dan penambang nikel. Menurutnya, kebutuhan total bijih mentah atau ore nikel untuk pihaknya berkisar antara 12-15 juta ton. Ia memperkirakan kebutuhan tersebut akan terpenuhi dari dalam negeri.
"Jadi kami setuju dengan apa yang disampaikan. Dan kami akan melaksanakan sesuai dengan yang disepakati," jelas Haykal.
Sebelumnya, APNI meminta pemerintah membuat aturan tata niaga nikel di dalam negeri yang jelas. Ini menyusul percepatan larangan ekspor bijih nikel dari seharusnya pada 2022 menjadi 1 Januari 2020 dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Beberapa regulasi yang diminta antara lain soal harga jual nikel di dalam negeri dan kepastian smelter menyerap ore dengan kadar di bawah 1,7 persen. (sm/ii)