Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019 meningkat tipis di angka 74,92 poin atau masuk dalam kategori sedang dari tahun sebelumnya 72,39 poin. Pencapaian IDI diukur melalui tiga aspek yakni kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi. Adapun penilaiannya di bawah 60 poin buruk, 60-80 poin sedang dan lebih dari 80 poin bagus.
Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengatakan ada tujuh provinsi yang Indeks Demokrasinya masuk dalam kategori baik. Antara lain DKI Jakarta, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau dan Bali. Sedangkan Papua Barat tercatat sebagai provinsi yang Indeks Demokrasinya paling buruk yakni 57,62 poin atau kategori buruk.
"Demokrasi di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan. Dan pada 2019, IDI tertinggi 74,92 poin, hanya sedikit di bawah target RPJMN yang ditetapkan 75,00 poin," jelas Suhariyanto dalam konferensi pers online, Senin (3/8).
Kecuk menambahkan peningkatan IDI tersebut didorong oleh peningkatan aspek lembaga demokrasi dan hak-hak politik. Dari aspek lembaga misalnya terkait penghentian penyidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi dan meningkatnya upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah. Sedangkan dari aspek hak politik ada peningkatan penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019.
Kendati demikian, BPS juga mencatat enam indikator dengan kategori buruk pada tahun 2019. Beberapa di antaranya adalah ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat dan masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, demonstrasi yang bersifat kekerasan dan persentase perempuan dalam DPRD provinsi.
"Untuk transparansi informasi APBD oleh Pemda, meskipun mengalami perbaikan 12,01 persen tetapi nilainya masih di bawah 60 persen (baca: kategori buruk)," tambah Suhariyanto.
Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam, Purnomo Sidi mengatakan, laporan ini merupakan sinyal positif bagi pemerintah untuk memperkuat stabilitas politik dalam negeri sehingga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi yang sedang lesuh karena pandemi corona.
"Mengingat tahun 2019 kemarin merupakan tahun politik, capaian angka IDI ini merupakan cerminan dinamika politik nasional dan lokal yang tetap kondusif," jelas Purnomo.
Purnomo menambahkan pemerintah juga akan memperhatikan enam indikator IDI yang masih dalam kategori buruk dengan mensinergikan dengan kegiatan-kegiatan Kemenko Polhukam. Selain itu, Kemenko Polhukam juga akan menerbitkan buku IDI untuk dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah.
Menanggapi itu, peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elizabeth berpendapat indikator Indeks Demokrasi di Papua Barat dan Papua semestinya tidak disamakan dengan provinsi lainnya. Ia beralasan kedua provinsi tersebut masih kerap mengalami konflik yang tak kunjung selesai.
"Agak susah kalau saya membayangkannya. Sama juga ketika kita berbicara soal keberhasilan atau kegagalan pembangunan. Sebab membangun di daerah konflik berbeda dengan daerah lain," jelas Adriana Elizabeth kepada VOA, Senin (3/8).
Adriana menambahkan pemerintah perlu menjamin kebebasan berekspresi dan menuntaskan persoalan rasisme di Papua Barat dan Papua untuk memperbaiki Indeks Demokrasi di Bumi Cendrawasih tersebut. Tidak seperti sekarang dengan menerapkan pasal makar kepada orang-orang Papua yang menyampaikan ekspresi.
Selain itu, ia juga mempertanyakan Indeks Kebebasan Provinsi Papua di angka 65,25 poin atau kategori sedang yang lebih baik ketimbang Provinsi Papua Barat . Sebab, berdasarkan pengamatannya, konflik dan kerusuhan di wilayah Papua masih lebih banyak ketimbang di wilayah Papua Barat.
"Kalau bicara kasus pelanggaran HAM itu juga hampir di Papua dan Papua Barat juga ada. Kasus Wasior di Papua Barat, di Paniai tahun 2014 dan terbaru di Nduga," tambahnya. [sm/em]