JAKARTA —
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, Kamis (2/1) bahwa harapan pemerintah untuk menekan inflasi sepanjang 2013 tidak berhasil, menyebabkan tingkat inflasi tahun kalender 2013 mencapai 8,38 persen dan mendorong angka kemiskinan.
Menurut BPS, pada awalnya pemerintah menargetkan inflasi 2013 sebesar 5,8 persen, namun karena gejolak ekonomi global yang berpangaruh negatif terhadap perekonomian Indonesia, angka tersebut direvisi menjadi 7,2 persen. Angka itu pun tidak dapat dicapai pemerintah.
Kepala BPS, Suryamin mengatakan, sejak Maret 2013 inflasi terus terjadi karena harga berbagai komoditas naik menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Juni. Kenaikan harga tidak terkendali terutama terjadi hingga September 2013. Kondisi tersebut, ujar Suryamin, menyebabkan angka kemiskinan periode Maret hingga September meningkat.
BPS mencatat angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua serta Kalimantan.
“Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen, dibandingkan Maret 2013 meningkat 480 ribu orang,” ujarnya.
“Beberapa sebab selama periode Maret ke September 2013 terjadi inflasi yang cukup tinggi disebabkan oleh kenaikan BBM hingga harga komoditas bahan makanan dan makanan naik. Secara nasional rata-rata harga beras mengalami peningkatan.”
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Jakarta, Wijayanto, sektor pertanian merupakan sektor yang dapat membantu pemerintah menurunkan angka kemiskinan. Jika pemerintah serius terhadap sektor pertanian, ujarnya, lapangan kerja akan terbuka dan otomatis tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan dapat ditekan.
“Karena sektor pertanian ini kantung-kantung dimana kemiskinan itu berada. Sektor pertanian ini mempekerjakan sekitar 40 persen tenaga kerja Indonesia,” ujarnya.
“Investasi dari luar ya ada impact-nya tetapi tergantung investasi itu kemana. Kalau misalnya investasi itu ke industri, tambang dan lain sebagainya akan meningkatkan GDP, tetapi tidak akan secara signifikan mengurangi kemiskinan, karena sektor-sektor itu kan sektor capital intensive ya, hanya mempekerjakan sedikit orang dan dananya sendiri kalau kita mengharapkan ada trickle down effect ke bawah itu agak sulit diharapkan, paling melalui mekanisme pajak.”
Menurut BPS, pada awalnya pemerintah menargetkan inflasi 2013 sebesar 5,8 persen, namun karena gejolak ekonomi global yang berpangaruh negatif terhadap perekonomian Indonesia, angka tersebut direvisi menjadi 7,2 persen. Angka itu pun tidak dapat dicapai pemerintah.
Kepala BPS, Suryamin mengatakan, sejak Maret 2013 inflasi terus terjadi karena harga berbagai komoditas naik menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Juni. Kenaikan harga tidak terkendali terutama terjadi hingga September 2013. Kondisi tersebut, ujar Suryamin, menyebabkan angka kemiskinan periode Maret hingga September meningkat.
BPS mencatat angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua serta Kalimantan.
“Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen, dibandingkan Maret 2013 meningkat 480 ribu orang,” ujarnya.
“Beberapa sebab selama periode Maret ke September 2013 terjadi inflasi yang cukup tinggi disebabkan oleh kenaikan BBM hingga harga komoditas bahan makanan dan makanan naik. Secara nasional rata-rata harga beras mengalami peningkatan.”
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Jakarta, Wijayanto, sektor pertanian merupakan sektor yang dapat membantu pemerintah menurunkan angka kemiskinan. Jika pemerintah serius terhadap sektor pertanian, ujarnya, lapangan kerja akan terbuka dan otomatis tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan dapat ditekan.
“Karena sektor pertanian ini kantung-kantung dimana kemiskinan itu berada. Sektor pertanian ini mempekerjakan sekitar 40 persen tenaga kerja Indonesia,” ujarnya.
“Investasi dari luar ya ada impact-nya tetapi tergantung investasi itu kemana. Kalau misalnya investasi itu ke industri, tambang dan lain sebagainya akan meningkatkan GDP, tetapi tidak akan secara signifikan mengurangi kemiskinan, karena sektor-sektor itu kan sektor capital intensive ya, hanya mempekerjakan sedikit orang dan dananya sendiri kalau kita mengharapkan ada trickle down effect ke bawah itu agak sulit diharapkan, paling melalui mekanisme pajak.”